Keesokan harinya setelah peristiwa jatuhnya pot ke atas jendela mobil Kanz. Terjadi perang dingin antara Maira dengannya. Kanz tidak ingin melihat wajah Maira sementara waktu. Karyawan lain menelan ludah saat melihat Kanz dingin bagaikan musim salju di daerah tropis. Bekunya hanya sementara saja ketika di depan Maira.
Berbeda halnya dengan keadaan ketika teman-teman Kanz mengunjungi kafenya sore ini. Kanz bersikap ramah dan baik. Petikan jari Kanz terdengar oleh Maira, dengan maksud memanggil salah satu karyawannya.
Tentu bukan dirinya yang dipanggil karena Kanz sedang marah pada Maira. Namun, tak satu pun yang melihat kecuali dirinya. Ada rasa takut dalam diri Maira ketika ingin mendatangi pria yang duduk membelakanginya, tapi sebagai seorang pekerja ia merasa terpanggil untuk menjalankan tugasnya.
Maira terpaksa memenuhi panggilan Kanz. Berjalan ke arahnya lalu berdiri di samping meja para pria yang duduk sambil ngobrol seru.
Kanz kaget dengan kedatangan Maira di sampingnya. "Kenapa kau yang kemari?" tanya Kanz mendelik. Semua temannya menoleh akibat bentakan kecil Kanz.
"Maaf, Pak. Mereka semua sedang sibuk."
"Ada apa, Kanz?" tanya temannya.
"Oh, nggak. Oya, kalian mau pesan apa?" tanyanya pada teman-teman untuk mengalihkan perhatian.
Masing-masing dari pria itu menyebutkan keinginannya. Kanz segera menyuruh Maira membuatkan semua pesanan tersebut sebagai hukuman awalnya. Harus dari tangannya sendiri yang membuat, tidak boleh chef yang sedang bertugas.
"Sa-Saya yang buat semuanya, Pak?"
Kanz melotot, pandangan itu membuat Maira segera mundur dari posisinya kemudian memenuhi permintaan bosnya. “Baik, Pak.” Maira segera membawa catatan tersebut ke dapur.
"Kanz, cewek cantik gitu masa kau bentak?" tanya salah seorang dari mereka pada Kanz.
"Haha, biar tidak manja," jawab Kanz tersenyum simpul.
"Hem, kau ini ya, ada cewek cantik dimarahin, bagaimana mau dapat pengganti Risna, kalau kau begini?" sindir temannya.
"Haha, udah deh, jangan bahas dia. Kasihan. Oya, bagaimana grup musikmu, San?" Kanz mengalihkan pembicaraan.
"Ops, maaf ya. Band aku lancar jaya, mau manggung nih bulan depan."
"Uhuk-uhuk. Gayamu sudah kayak Ariel Noah saja." Mereka semua tertawa terbahak-bahak. Perbincangan ringan itu berlangsung hingga pesanan mereka tiba sekitar setengah jam kemudian. Maira membawakannya bersama pekerja lain karena tidak bisa membawanya semua sekaligus.
"Maaf menunggu lama," ucap Maira tersenyum.
"Iya, tidak masalah, Nona cantik." Ihsan menggoda Maira.
Kanz meminta temannya mencicipi menu dari kafenya. Maira di suruh menunggu hingga mendapat respon dari mereka. Berharap masakannya tidak enak serta minumannya kurang sedap agar punya alasan untuk memarahinya lagi.
Namun, kenyataannya berbeda. Mereka memuji makanannya hingga Kanz tidak percaya akan ucapan temannya.
'Bagaimana bisa seenak ini?' Kanz mencicipi makanan di piringnya dan matanya terbelalak. Kerongkongan yang sensitif itu tampak aman-aman saja dari rasa serta teksturnya.
"Wah, pantesan kafemu laris, Kanz. Kau punya koki cantik yang profesional,” ucap temannya dan melirik ke arah Maira dengan senyuman manis.
Kanz tersenyum palsu lalu menyuruh Maira pergi dengan isyarat kepalanya aja yang bergerak. Maira yang menyadari kode tersebut sontak kabur ke dalam kafe dan segera di tarik oleh temannya yang sudah mengintip dari tadi.
Kanz melahap habis makanan di hadapannya sama seperti teman-temannya yang lain.
"Lain kali kalau aku ke mari minta dimasakin sama karyawan yang itu tadi ah, mantap masakannya. Lezat."
"Lebay kau, San. Semua koki di sini profesional, dong!" Kanz tertawa kecil.
“Tapi koki yang tadi cantik, haha!"
Satu jam kemudian semua teman Kanz pulang. Pria itu akan kembali ke ruangannya, ia tidak sengaja melihat Maira sedang mengepel lantai dekat meja bar, rencananya sedikit berubah karena melihatnya.
"Maira," panggilnya.
"Ya, Pak?" jawab gadis itu menghentikan kegiatannya dan berlari mendekati Kanz.
"Naik sebentar,” perintahnya.
"Baik, Pak."
"Bawakan saya teh."
"Iya, Pak."
Kanz duduk di kursi kesayangannya. Mengecek pendapatan hari ini, kegiatan rutin yang dilakukan Kanz sebelum mengurus hal lainnya seperti bahan atau properti yang tidak layak pakai di kafenya.
Tok Tok.
Maira mengetuk pintu lalu masuk setelah diberi perintah oleh Kanz.
"Permisi, Assalamualaikum," kata Maira sambil meletakkan teh pesanan Kanz.
"Duduklah." Kanz memintanya duduk dengan nada datar, tidak menjawab salamnya.
Maira meletakkan tehnya lalu duduk di kursi depan meja bosnya itu dan menunduk. Tidak berani menatap ke arahnya.
"Mobil sudah saya masukkan ke bengkel, mengenai biaya saya akan rincikan secara berkala."
Maira menelan saliva. "Baik, Pak." Ternyata tujuannya untuk biaya perbaikan. Maira berdoa semoga biayanya tidak mahal.
Kanz melepas kacamata bacanya. "Kau tidak bermaksud melarikan diri kan?" tanyanya menatap Maira.
Wanita itu menggelengkan kepala. "Meskipun saya akan mencicil biayanya, InsyaAllah akan saya bayar semua."
"Baguslah. Bagaimana hidungmu?" tanya Kanz yang tanpa disadari terus mengingat Maira semalaman.
"Sudah diobati, tidak apa-apa, Pak. Saya yang salah."
Kanz mengerutkan keningnya sedikit. Padahal Kanz yang salah, tapi Maira menarik kesalahannya dan mengambil beban tersebut.
"Ini uang pengobatanmu." Kanz menarik dua helai dari balik bukunya lalu mendorongnya ke arah Maira.
"Enggak, Pak. Tidak apa-apa." Maira merasa tidak enak hati karena kejadian mobilnya semalam.
“Ambillah, aku yang salah karena terlalu emosi sampai membuatmu seperti itu.” Kanz tetap memaksa Maira untuk mengambil uang pengobatan itu.
Maira tidak mau menerimanya karena merasa segan. Hanya mimisan karena benturan, biayanya juga tidak mahal. “Maaf, Pak, saya tidak bisa menerimanya.”
Kanz sedikit mengernyit, tampaknya ia berhadapan dengan wanita yang tidak mata duitan. “Baiklah. Kalau begitu, kembalilah bekerja, aku hanya mengingatkanmu agar tidak lari dari tanggung jawab.”
“InsyaAllah, Pak.” Maira kemudian permisi dan mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum.”
"Wa'alaikumsalam." Kanz menjawabnya juga. Dalam batin Kanz, terselip rasa penyesalan saat ia mendorong Maira dengan kasar kemarin.
'Tapi kenapa dia menolak uang pengobatan ini? Apa dia anak orang kaya? Atau gengsinya yang terlalu tinggi?' ujarnya dalam hati tersenyum miring.
Drrtt.
Ponsel Kanz bergetar. Panggilan dari mamanya.
"Kanz, kau masih di Kafe?"
"Ya, Ma. Ada apa?"
"Mama akan ke sana. Ini udah mau dekat.”
"Oke." Kanz sedikit terkejut mendengarnya. Mamanya tidak pernah mengunjungi kafe ini semenjak berdiri dan terkenal seperti sekarang ini.
Kanz berhak punya firasat buruk akan niat mamanya mengunjungi tempat ini. Kanz segera turun untuk meminta karyawannya mengosongkan beberapa meja di lantai atas. Tujuannya untuk menjamu sang ibunda.
Kanz melihat ke sekeliling dan tidak menemukan Maira. Ia pun bertanya pada salah satu karyawannya.
"Di mana Maira?" Kanz berniat ingin meminta Maira untuk membuatkan makanan seperti yang dibuatnya tadi agar mamanya tidak merasa kecewa pada kualitas rasa makanan di kafenya.
"Maaf, Pak. Jam kerjanya hari ini selesai,” jawab wanita yang diajaknya bicara.
"Bukannya dia masuk sore pulang malam?"
"Dia menggantikan jadwal si Omen, Pak."
"Baiklah.” Kanz mengangguk. “Tolong kosongkan sisi luar kafe sekarang juga," pinta Kanz.
"Ta-Tapi ada tamu di sana, Pak?"
"Hanya satu orang kan?"
"Iya, Pak."
“Bisa gak ngurusnya? kalau gak bisa - biar aku yang turun tangan,” sindirnya dengan nada ketus. Wanita itu segera mengangguk dan langsung menunaikan tugasnya.
"Jika ada yang mencariku, segera kabari ke ruangan."
“Iya, Pak.”
Kanz duduk di kursi bar sembari melihat ke sekeliling. Kafenya ramai pengunjung, sekilas dirinya teringat pada Maira yang menolak uang pengobatan tadi.
“Anak itu, kenapa menolaknya? buat penasaran saja,” ucapnya pelan lalu menggeleng dan meraup napas panjang.