BAB 5 : Kanz Ariq Agam - Menunggu Sampai Jamuran

1307 Kata
Di Rumah Kanz. Seorang pria membunyikan bel dan menggedor pintu rumahnya. Berpakaian rapi, lengkap dengan kemeja, dasi, dan jasnya. Pintu yang tak kunjung terbuka itu menjadi sasaran kemarahan sahabat dari pria yang sedang melakukan kegiatan rutinnya, yaitu berenang setiap hari. "Ke mana nih, si Zariq? Dihubungi gak angkat, pesanku gak dibalasnya," gerutunya. Jelas Kanz tidak dengar! Kanz berenang di bagian belakang rumahnya. "Duh, si Zariq katanya mau ke Bandung siang ini, entar dia telat lagi,” ocehnya terus sambil menghubungi nomor Kanz. Sementara pemilik rumah sedang menikmati kegiatannya siang ini. BYUR. Kanz melompat ke dalam air, pria itu tidak mendengar panggilan dari sahabatnya. Pelayan yang mengawasinya melihat layar ponselnya menyala, tapi dia tidak berani menghentikan kegiatan majikannya. "Huah!" bunyi suaranya yang hampir kehilangan oksigen kian terasa menggebu. Setelah tiga kali putaran, ia pun memunculkan dirinya ke permukaan air. Pria itu menyibak rambutnya dan menggelengkan kepala cepat agar airnya segera menyingkir dari sela-sela rambutnya. Kedua tangannya ia tumpukan di tepian kolam untuk mengangkat tubuhnya. Tenaga ekstra yang dikeluarkannya membuat otot-otot bisepnya mengeras, bidangnya yang berbentuk tegas menyegarkan penglihatan para pelayannya yang bertugas menyediakan handuk dan minumannya di dekat kursi santai tempat biasa dia duduk. Kanz berjalan dengan tubuh masih sangat basah, air-air yang meluncur dari kulitnya berjatuhan ke lantai. Bagaikan minum es, mata wanita-wanita di sana sontak merasa segar melihatnya. Wanita mana yang tak akan tergoda jika melihat pria tampan seperti Kanz berjalan tanpa busana dan hanya menggunakan celana renangnya saja. Begitu seksi! "Silahkan, Tuan Kanz." Pelayan wanitanya memberikan handuk padanya, mukanya menahan malu rona merah karena menyukai majikannya sendiri. "Terima kasih." Kanz memakai handuk kimono hitamnya lalu mengikat tali, mengeringkan kepalanya dengan handuk lain dari tangannya. "Tuan, ponsel Anda berdering terus dari tadi." "Oke, Makasih! Pergilah, letakkan minumanku di meja." "Baik, Tuan." Pelayan-pelayan itu segera mundur lalu pergi sesuai permintaannya. Kanz mengusap layar gawainya dan menghubungi balik temannya yang sudah empat puluh tiga kali menelepon. Begitu ia jawab, bukannya disahut dengan baik malah marah-marah. "Woi, Zariq bleduk! Asem ini anak, buat aku nunggu sampai jamuran. Di mana kau, Riq?" tanyanya. "Gue di rumah. Lagi berenang tadi, maaf ya." "Asem! Janjinya jam 2 kita udah sampai sana, lah ini jam setengah dua belas kau masih berenang!" "Haha, sabar, Den. Pertemuannya di undur ke jam 4, jadi masih bisa santai Lu." "Apanya yang santai? Aku di depan rumah kau ini dari tadi. Cepat buka pintu, udah gosong kena panggang matahari aku. Pelayanmu pada ke mana?" Deni merepet terus tanpa henti. “Mereka ngeliatin aku berenang.” “Buset, apa tak tumbuh bintil tu matanya?” “Mana Gue tau, serah mereka lah.” Kanz menutup panggilan dan menyuruh pelayannya membuka pintu. Kanz beranjak ke arah anak tangga untuk menuju ke kamarnya. Kanz masuk ke kamar, berjalan menuju lemari lalu melihat pakaian yang akan dikenakannya hari ini, ia mengambilnya kemudian menggantung salah satunya di tiang gantungan. Kanz mengeringkan tubuhnya lalu menuju kamar mandi untuk mengenakan pakaian dalam dan kemejanya. Setelah itu ia keluar untuk menggunakan celana serta jasnya. Deni, sahabatnya main nyelonong aja masuk ke kamar Kanz tanpa mengetuk pintu. Kanz yang sedang menggunakan celana panjangnya sontak kaget dan hampir terjatuh lalu buru-buru berbalik agar Deni tidak melihatnya. ‘Ck.’ Decak kesal Kanz terdengar. "Lain kali ketuk dulu, dong!" pinta Kanz. Deni tidak menggubrisnya dan langsung merebahkan tubuh di tempat tidurnya. "HEI, CUCI KAKI DAN TANGANMU DULU!" jerit Kanz karena tidak suka ada orang lain yang menyentuh barangnya sebelum membersihkan diri. Kanz menariknya sampai ke kamar mandi. Deni sengaja memberat-beratkan badan agar sahabatnya emosi. Kanz tetap menariknya sampai jatuh ke lantai. "Aduh!” Deni melihat Kanz dengan mulut manyun. “Dasar manusia pembersih debu! liat saja nanti, pasti kau dapat perempuan terjorok se-Indonesia Raya sebagai balasannya ya." Deni tertawa miring lalu masuk ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian. Kanz sudah siap dengan gaya rapi ala kantoran. Tinggal memakai jas cokelat mudanya bermotif salur dan sedikit semprotan parfum khas miliknya maka pria itu sudah selesai dengan tampilannya hari ini. Deni keluar dari kamar mandi dan mencium aroma semerbak dari parfum mahalnya. “Duh, wangi amat!” sahutnya sambil menggosok hidung sendiri. Apalah daya aku yang cuman make minyak wangi sepuluh ribuan. Itu pun belinya di depan masjid sama kakek-kakek pake sorban. Seribu bunga katanya, tapi lama-lama bau keti juga aromanya kurasa, batin Deni sambil mencium lipatan tangan dekat bahunya itu. Deni mendekati Kanz dan menarik parfumnya. Kanz mengambilnya balik. “Kalau kau mau pakai parfum yang di deretan rak nomor dua. Itu parfum umum. Kalau ini eksklusif milik aku.” “Yee, dasar pelit!” “Bukan pelit, aroma itu jati diri. Ke mana pun kau pergi yang diingat sama orang itu adalah aroma tubuh.” Kanz paling benci dengan orang yang menyentuh barangnya tanpa ijin seperti yang dilakukan Deni tadi. “Iya, menang kau, Riq.” Deni menyemprot parfum Jessica Parker ke tubuhnya, Kanz tertawa kecil. “Kenapa ketawa kau, Zariq?” lanjutnya heran. Kanz menggeleng, tersenyum tipis karena Deni sedang menggunakan parfum cewek milik adiknya yang tertinggal saat perempuan itu mengunjunginya bulan lalu. “Enak wanginya?” tanya Kanz. “Enak lah, parfum kau kan tidak ada yang murah.” Kanz mengambil tas kerjanya dan segera pergi dari kamarnya. Dua pria itu berjalan lagaknya seperti pengusaha papan atas. Kalau yang satu sih, bener, tapi yang satunya lagi. Hmm! Nama lengkapnya Kanz Ariq Agam, pria tampan dengan penampilan supel dan enak dipandang. Dalam kesehariannya, Kanz lebih menyukai pakaian kaos dan celana ngepas berbahan apa pun asalkan nyaman di pakai ketimbang menggunakan jas bergaya ala pengusaha kelas atas. Demi menjalankan bisnis, ia harus menyamankan dirinya dalam setelan jas dan celananya yang super licin, senada dengan licinnya sepatu kulit ular yang selalu dipesannya dari Amerika. Tubuhnya tinggi, tegap, rahangnya tegas dan hidungnya mancung. Mata beriris coklat tua dan alis yang tebal membuat wanita tergoda meski hanya dengan tatapannya. Rambut matanya juga lentik, aura timur tengahnya sangat kentara. Lahir dalam keluarga kaya raya yang hartanya tidak akan habis lebih dari tujuh turunan. Papanya berasal dari timur tengah, lebih tepatnya raja minyak dari arab. Menikah dengan wanita yang berasal dari Sulawesi. Mamanya adalah istri ketiga dari papanya. Rambutnya tebal, hitam dan lurus. Kanz selalu pakai minyak rambut supaya tertata rapi. Rambut belah kirinya akan menggiring rambut lain ke sisi kanan. Tampilan sangat macho, mau dengan gaya apa pun. Untuk lebih lengkapnya mengenai Kanz, silahkan ikuti kelanjutan ceritanya. Kanz sedang berjalan menuju garasi mobilnya, merapikan dasi lalu menenteng tasnya di bahu. Membuat semua mata perempuan akan berbinar terang kala memandangnya. Jangan tanya bagaimana penampilannya ketika berpakaian ala eksekutif muda, cicak pun akan terpesona. Terbukti ketika para pelayan menatapnya lewat, maka lutut mereka spontan lemas dan tak kuat menahan diri. Untuk cara berpakaian, Kanz nomor satu. Baiklah, lanjut pada pria yang berada di sampingnya. Deni Al-Faruq, berusaha selalu mengikuti gaya dari Kanz. Seperti sekarang, dia memakai kacamata dan tas tenteng KW menyerupai milik Kanz. Motto hidupnya adalah Barang tiruan asal mirip asli juga gak masalah, yang penting gaya aku kayak Zariq. Deni merupakan teman dari kecilnya Kanz. Dulu tinggal bertetanggaan saat masih berada di Jakarta Selatan. Sebelum mama dan papa Kanz pindah ke Bogor mereka selalu bersama. Sempat terpisah selama tujuh tahun, hingga akhirnya bertemu lagi waktu SMA dan bertahan pertemanannya hingga sekarang. Zariq adalah panggilan kecil dari Deni untuk Kanz. Diambilnya dari huruf belakang Kanz dan disambungnya dengan Ariq. Kreatif dikit lah. Deni sedikit tidak suka memanggil nama aslinya karena dia tau arti nama Kanz menurut buku bahasa arab yang dulu pernah dia pelajari adalah 'Harta yang tersimpan. Tak sedikit wanita yang menyukai dan tergila-gila padanya, tetapi Kanz tidak peduli sama sekali. Normal? jelas normal! hanya saja dia menyimpan rahasia tentang isi hatinya. Termasuk mamanya yang berusaha berulang kali mengenalkannya pada wanita, tetapi Kanz menolaknya terus menerus. Dia sukses dari usahanya sendiri, bukan dari pengaruh orang tua. Hal itu yang patut ditiru dari seorang Kanz. Dan, Deni selalu ingin mengikuti, hanya saja tak pernah mampu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN