Bab 9 : Kanz Ariq Agam - Rencana Sang Mama

1051 Kata
Setengah jam kemudian mamanya tiba. Wanita bersepatu tinggi menapak bumi dengan sombongnya. Kacamata hitam yang ia kenakan sedari tadi dilepasnya untuk melihat kondisi kafe anaknya. Jadi ini kafenya si Kanz? Huft, sangat sederhana. Bagaimana bisa dia menyombongkan diri di atas bisnis rendah ini? gumamnya dalam hati. Tas bermerek seharga mobil itu juga ditenteng sembari jalan ke arah pintu. Gaun pendek coklat muda se-lutut berbahan tebal itu membuat tubuhnya yang masih cantik sangat terlihat menawan. Pelayan membuka pintu, menyapa wanita tersebut dengan ramah. "Selamat sore, Bu. Silakan masuk, untuk berapa orang, Bu?" "Saya mau ketemu dengan Kanz,” ucap Syifa sambil menaikkan rahangnya. "Baik, tunggu sebentar biar saya panggilkan. Silakan duduk dulu," pintanya mengantarkan Syifa ke meja yang kosong. Karyawan tadi menaiki tangga lalu mengetuk pintu ruangan bosnya. Kanz membuka pintu lalu wanita itu menyampaikan pesan dari tamu yang datang. “Maaf, Pak. Ada yang datang mencari bapak, seorang wanita di lantai satu.” “Baiklah, terima kasih. Bawakan aku dua teh untuk mereka.” “Siap, Pak.” Kanz menuruni anak tangga bersama pelayan tadi dan melihat mamanya duduk dengan pandangan menatap ke arah taman. Suara langkah anaknya menggerakkan pandangan wanita tersebut ke kiri dan segera berdiri untuk menyambut putranya. "Kanz." Syifa merentangkan tangan dan memeluk anaknya. "Mama.” Kanz menyambutnya. “Mama, apa kabar?" tanyanya. "Seperti yang terlihat, Mama selalu sehat.” Syifa tersenyum manis. Ia melihat putranya sedikit lebih kurus dari biasanya. “Sesibuk apa sih, sampai kau tidak sempat pulang ke rumah?" tanya Syifa. "Maaf, Ma. Aku benar-benar sibuk,” jawab Kanz. Syifa tersenyum. Mereka duduk dan melanjutkan perbincangan. "Mama mau duduk di dalam atau di luar?" tawar Kanz. "Di sini aja." "Oke. Mama mau minum apa? Mau makan?" Syifa tertawa kecil. "Bawakan menu spesial untuk Mama." Kanz mengangguk. Cukup tangan kanannya meninggi, sontak seorang pria mendatanginya. "Buatkan dua teh mangga leci dan menu favorit kita. Jangan terlalu lama." "Baik, Pak!" Syifa menatap seluruh kafe. "Kau memilih menghabiskan waktu untuk mengurus kafe ini ketimbang meneruskan perusahaan papamu?" "Ma, jangan dibahas lagi tentang ini. Aku butuh usaha sendiri tanpa latar belakang papa." "Haha, kau sombong sekali. Lihat adikmu? Dia tidak diijinkan bekerja di sana karena dia seorang perempuan. Papamu tegas, dia hanya akan memberikan perusahaan itu padamu saja." Kanz menunduk, kelima ujung jari kirinya ia bentur pelan ke atas meja. "Selagi papa masih sehat, biarlah dia yang mengurusnya." Syifa menghela napas dan tersenyum miring. “Kau keras kepala!” Kanz tersenyum. “Sepertimu pastinya,” sahutnya membalas senyuman. “Hahaha, astaga! Kau sangat keterlaluan.” Kanz hanya bisa meninggikan sudut bibirnya agar wanita di depannya tidak marah. Tidak berapa lama kemudian menu yang diminta Kanz pun tiba. Pelayan menatanya lalu mempersilahkan mereka menikmatinya. Syifa tidak merespon ucapan pelayan itu dan segera menyesap teh yang menyegarkan tersebut. "Karyawanmu sangat ramah, berbanding terbalik dengan pemiliknya." Syifa tertawa kecil. "Mama bahkan lupa, sifat ini juga Mama yang menurunkannya." Kanz tersenyum tipis. Mamanya tersenyum simpul. “Tampaknya aku begitu unggul di dalam gen-mu.” “Mmh, begitulah. Silahkan dicicipi, Ma,” pinta Kanz. Syifa mencicipi makanan di hadapannya. Kanz ikut menyuap sedikit agar mamanya tidak merasa makan sendirian. "Pemilihan kerang yang bagus. Masih segar, manisnya terasa." "Ya, kualitas bahan memang aku prioritaskan. Bukan sekadar murah, tapi rasanya amburadul." Syifa mengangguk. “Minggu depan, kau ada waktu?" tanya mamanya. "Ada apa?" tanya Kanz curiga. "Aku sudah mengatur perjodohanmu dengan anak seorang pengusaha dari Hongkong." Kanz meletakkan sendok garpunya. Sontak selera makannya hilang. Mulutnya yang masih mengunyah sedikit mengerut. Kanz tidak pernah suka ketika mamanya cerita jodoh. "Aku menolaknya." "Alasan? Apa Kau masih memikirkan Risna?" "Ma, bukan itu,” sanggahnya. "Jadi karena apa? Umurmu sudah 31 tahun. Aku semakin tua dan ingin melihatmu menikahi wanita kaya lalu menggendong cucu." 'Ck.' Decak Kanz terdengar samar. Embel-embel kaya yang terlontar membuat Kanz muak. Mamanya hanya memandang harta sejak dulu. Kanz mencar alasan lain agar dirinya tidak lagi diganggu dengan alasan perjodohan. "Aku sudah punya kekasih,” ujarnya. Syifa terbelalak. "Kau sudah menjalin hubungan? Dengan siapa? Dia kerja di mana? Kenapa aku tidak tau?" Syifa memborong pertanyaan pada putranya. "Nanti juga mama akan tau,” jawab Kanz santai. "Semoga dia seorang direktur atau pengusaha juga,” harap Syifa. Kanz merasa bosan dengan obsesi mamanya yang selalu bercerita harta. Patokan ciri wanita yang diinginkannya pastilah kaya raya. "Aku akan menunggumu hari minggu ini, bawa dia ke rumah. Jika kau bohong maka kau tidak akan bisa menolak perjodohan dariku." Syifa menyelesaikan makanannya yang hanya tersentuh sedikit. Meneguk teh kemudian pergi meninggalkan Kanz yang masih berpikir mengenai ancaman mamanya. Kanz melihat mamanya berjalan hingga ke area parkir dan naik ke dalam mobilnya. Pria itu menghembuskan napas panjang, menggaruk ujung alisnya kemudian menghubungi Deni sekarang juga. Setelah menghubungi Deni, mereka pun akhirnya bertemu di salah satu bar yang biasa mereka datangi. Kanz menceritakan rencana mamanya dan membuat Deni tercengang. "APA?" Deni terkejut mendengar pengakuan Kanz bahwa dirinya telah memiliki pacar. Nyatanya, TIDAK ADA! "Stress Kau ya. Termakan cakap Kau jadinya. Empat hari lagi Kau mau mencari pacar sempurna kayak yang Kau mau, di mana adanya? Sakit kepala Aku gara-gara kau." Kanz meneguk minuman dan minta tambah lagi pada bartender. Deni pun ikut menghabiskan vodka yang baru saja diberikan. Malam ini Kanz benar-benar stres. "Kalau Kau mau, tinggal sewa saja deh salah satu wanita di bar ini. Kau kan banyak kenal tuh sama mereka." "Tidak bisa," sahut Kanz. "Kenapa?" "Mama Aku pasti menyelidiki latar belakangnya nanti. Dia harus anak baik-baik." Deni geleng-geleng kepala. "Nih ya, Aku bilang samamu; Anak baik banyak, tapi yang sesuai kriteria Kau, tinggi, putih, pintar, dan berani itu susah! Apalagi harus kaya sesuai keinginan mama Kau." "Bantu Aku, Den. Setidaknya untuk menolak perjodohan itu aja." "Ada sih sepupu Aku, tapi ogah Aku kenalkan sama Kau. Dia matre, nanti Kau dijebaknya." Usulan Deni sesat. Kanz tertawa renyah. "Hmm, Kau ini, sepupu sendiri pun Kau gituin. Haha.” Deni ketawa cekikikan. "Benar, kalau ada istilah Pakboy, ini sepupu Aku ya si PakGirl." "Hahaha." "Kanz, Kau kan banyak kenalan cewek. Kau bayar saja salah satunya," sahut Deni. "Tidak bener semua, tidak mau Aku." "Hahaha, bener juga. Mau harta Kau semua ya." Mereka tidak menemukan jalan keluarnya sampai malam hari. Sudah berusaha keras, tetap buntu. Sampai keesokan harinya pun Kanz terus berpikir untuk menemukan wanita tepat agar mamanya tidak merasa curiga. Deni juga mencari akal supaya sahabatnya bisa keluar dari jerat perjodohan mamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN