BAB 11 : Kanz Ariq Agam – Ide Konyol

1489 Kata
Kanz duduk di meja bar kafenya sembari memikirkan jalan keluar pada masalah yang ditimbulkan mamanya semalam tentang perjodohan. Kanz menulis beberapa nama perempuan yang menurutnya bisa dibayar dan diajak untuk bekerja sama. 'Sari, Dona, Vivi, Sinta, Rina,' ejanya satu persatu kemudian dia mencoret semua nama itu lalu meremuk kertasnya dan melemparnya ke tong. Pekerjanya di kafe menyadari kegundahan hati Kanz, mereka tidak berani mengganggunya karena takut kena sembur. Biasanya saat Kanz banyak pikiran, emosinya akan terlampiaskan ke segala arah. Bahkan pada orang yang tidak bersalah. "Assalamu'alaikum!" sapa Maira baru masuk ke kafe dengan ramah. Dia tidak tahu kalau Kanz sedang duduk di dekat meja bar. Maira sontak menarik senyum lebarnya dan hanya meninggalkan separuhnya. Kanz melirik sedikit lalu mengayun lemah, membuang jauh tatapan itu dari Maira. Sapanya ia jawab dalam hati, Kanz tidak tertarik melihatnya lama-lama karena hanya bikin pusing. "Selamat sore, Pak!" sapanya sebelum masuk ke ruangan ganti. "Sore,” jawabnya singkat tanpa melihat, hanya menunduk ke arah kertas di meja. Dring! Ponselnya berbunyi, Kanz mendapat telepon dari Deni dan langsung menjawabnya. "Bagaimana? Kau punya solusi? tanya Kanz. "Aku udah buat sayembara untuk Kau," jawab Deni merasa senang dengan idenya. "HAH?" Suara Kanz sangat keras. "Masa pakai jalan begituan?" lanjutnya langsung mencari tempat sepi, Kanz akan malu jika orang lain tau tentang permasalahannya. Sontak semua karyawan melihatnya dan menelan saliva. Mereka saling melirik dengan pertanyaan yang sama dalam pikirannya. ‘Kenapa tu, Pak Kanz?’ Maira yang hendak membuka pintu, menahan diri dan menoleh ke arah pintu, suaranya sampai masuk ke ruangan ganti. ‘Ada apa ya?’ tanyanya penasaran, tapi masih sibuk ganti baju. Kanz meninggalkan ruangan saat itu juga untuk menemui Deni si pembuat onar hari ini. Deni membagikan lokasinya pada Kanz. Deni menyusun rencana untuk menemui 5 orang di hari pertamanya menyebar informasi sayembara jasa tenaga wanita. “Pria Mapan Cari Pasangan” Dibutuhkan seorang wanita baik, berparas cantik untuk menjadi pasangan seorang pria tampan yang mapan. Jika berminat, hubungi nomor di bawah ini. Setelah Kanz membaca tulisan ada di halaman daring yang telah disebarkan si Deni. Kanz memukul kepala temannya dengan majalah yang ada di meja. Gedebuk! “Aduh,” jerit Deni. “Eh, Kau ya. Sudah dibantuin malah memukul,” erangnya. “Siapa suruh buat cara beginian?” “Habisnya Aku hilang akal buat bantu Kau.” “tidak begini juga kali, Den!” Kanz ingin menghabisi temannya ini, dia menarik kemejanya dan mengacak rambutnya. Kelakuan yang menarik perhatian itu sontak terhenti karena ada seorang perempuan yang datang menghampiri mereka. Kanz melepaskan cengkramannya dan segera menjauhi Deni. “Kau urus sendiri, Aku tidak mau ikut.” Ia duduk di meja belakang, memantau acara yang dibuat Deni sendiri. Kanz geleng-geleng kepala, bersandar di kursi lalu mengeluarkan gawainya dan mengotak-atik benda tersebut. “Hai, maaf mau tanya, benarkah Kamu Deni?” tanya wanita berkemeja putih itu. “Eh, iya, Nona. Silakan duduk.” Deni mengerutkan keningnya. Wanita itu pun mengikuti permintaannya, merapikan rambut lalu mengambil sesuatu di tasnya. “Perasaan Aku minta cewek cantik, kenapa yang datang kudanil?” tanya Deni sendiri pelan sambil melirik ke arah Kanz yang tidak memperhatikannya. Kanz menyibukkan diri menatap layar gawainya. “Ini biodata saya, saya sangat tertarik pada sayembara yang telah anda bagikan. Oya, apa pria yang dimaksud, anda sendiri ya?” tanyanya. “Ehehe, bukan saya, tapi teman saya. Nah kalau Mbanya lolos ni ya, bakalan ketemu kok sama dia.” “Oh, teman Mas yang dimaksud yang di belakang itu bukan ya?” tanyanya. “Oh, bukan. Itu mah saya tidak kenal.” Deni menyelamatkan Kanz juga akhirnya. Kanz, menggunakan masker yang ada di saku jaketnya, memantau dalam diam. Setelah beberapa menit berlalu, Deni menyudahi sesi tanya bincang-bincang dengannya. Tampaknya tidak bisa di lama-lamain karena perut Deni mulai seperti mau muntah. Kanz melirik ke Deni yang berlari menuju kamar mandi sambil tertawa skeptis. Hoek! Deni mengeluarkan isi perutnya yang hanya berisi cairan saja. “Hmm, tuh cewek, badannya bau bawang!” gerutunya sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Aroma tubuh yang menyiksa hidung membuat Deni mual sejauh tujuh lapisan bumi. Ingin rasanya ia menguras isi perut untuk melegakan kembali lambungnya. Bau badannya menyebar ke segala arah, bahkan Kanz yang duduk di belakang mereka saja bisa merasakannya, tapi Kanz bersikap biasa karena jaraknya lumayan jauh, samar-samar menyentuh saraf olfaktorinya. Lima menit kemudian Deni kembali dengan muka yang sedikit pucat. Kanz tersenyum dan memanggil pelayan untuk memesan minuman. Saat Deni ingin ngobrol dengan kanz pasca merespon wanita tadi, seorang perempuan masuk lagi untuk yang kedua, ketiga, keempat hingga kelima, hingga tidak ada waktu untuk Deni mengutarakan penyesalannya pada Kanz. Hasilnya tidak ada yang memenuhi kriterianya. Deni meminta maaf pada Kanz dan segera menghapus selebaran daring tersebut dari media. “Zariq, menurut Aku ini ya. Kau cari yang dekat-dekat saja deh. Karyawan Kau kan banyak tuh cewek, ajak kerja sama saja satu. Kau bisa kasih bonus gitu sama dia.” “Siapa lagi? tidak ada yang menarik di sana.” “Hmm, si Maria itu kan ada.” “Maira.” Kanz membenarkannya. “Nah, cakep. Maaf Aku salah sebut. Iya, dia tuh cakep lho. Putih, tinggi, rambutnya panjang, terus-“ “Kayak kunti dong?” tanya Kanz tersenyum. “Haha, Kau nyambungnya kebangetan. Masa Maira Kau samain dengan kunti? Jelas cakepan Maira, dong!” Kanz tersenyum. “Ih, Aku seriusan. Dia itu cantik. Kau saja yang sewot sama dia. Coba deh besok Kau lihat dia sambil kerja. Pasti Kau menemukan keindahan dalam dirinya.” “Sotoy Kau ah. Aku pulang dulu. Bosan Aku cerita tentang pacar melulu. Malas sebenarnya menanggapi tentang pasangan.” “Hem, Kanz. Masa trauma Kau tidak hilang-hilang. Sudah saatnya Kau mup-on,” sahut Deni. “Hmm.” Kanz berdiri, mengambil tasnya lalu pergi. “Eh, Zariq! Belum Kau bayar.” Deni menjerit. “Kau bayar saja sendiri, kan Kau yang buat.” “Aduh, anak ini.” Deni melipat bibirnya dan segera meninggalkan uang di bawah gelasnya lalu berlarian mengejar Kanz. Kanz berjalan ke arah mobil, membuka pintu mobil lalu masuk ke posisi pengemudi. Deni turut duduk di sebelahnya. “Mau apa Kau ikut?” tanya Kanz. “Lah, Aku mau pulang.” “Pulang saja sendiri. Kau kan bawa mobil.” “Kalau Aku bawa mobil, pasti tidak masuk ke mobil Kau, Zariq!” “Dasar merepotkan.” “Biarin dah, terserah Kau mau bilang apa.” Kanz menginjak gas dan mereka pun pergi dari kafe tersebut. Setelah mengantar sahabatnya, Kanz kembali ke kafe untuk mengambil berkas yang akan dibawanya besok untuk mengurus perusahaan barunya yang akan rilis tiga bulan lagi. Kanz membuka pintu dan berpapasan langsung dengan wanita yang mereka bicarakan tadi. “Ma-Maaf, Pak!” Maira menyingkir dan memberikan jalan untuk Kanz. Kanz menatapnya yang melekatkan diri di pintu sambil menundukkan wajah. Karena ucapan Deni, bintik hitamnya jadi terpaku pada Maira dan melihat semua lekukan wajahnya. Kanz mengakui perkataan Deni memang benar, Maira itu cantik. Tetap saja Kanz tidak ingin berhubungan lagi dengan gadis itu. Dia pun segera menuju ruangannya. “Pak, Kanz balik lagi? tumben. Biasa dia kan tidak pernah balik di saat kafe udah mau tutup,” kata Omen salah seorang karyawannya. “Yah, mana Aku tau,” sahut Maira yang sedang bersih-bersih.” “Mai, buangkan sampah ini ke depan,” pinta Omen. “Oke.” Maira keluar dari kafe dan menggeret plastik sampah ke bak besar di samping kafe. Kanz berdiri di balkon lantai dua setelah mendapatkan berkasnya. Ia melihat wanita itu masih bekerja keras sampai jam sebelas malam. Kanz kemudian berbalik badan dan melangkah ke ruangan untuk mengunci pintu lalu turun. “Omen, Aku pulang dulu ya,” kata Maira. “Ya, Aku akan menunggu sampai Pak Kanz pulang baru Aku kunci kafe.” “Oke deh.” Maira melambaikan tangan, memakai jaketnya lalu mengambil sepeda yang diparkirnya di bawah pohon. Karena Maira dari kampus langsung ke kafe, jadi tidak sempat pulang dan mengambil sepedanya. Tiara berbaik hati mengantarkannya ke kafe demi sahabatnya. “Omen, saya pulang duluan. Perhatikan benar-benar saat kau kunci semuanya. Jangan sampai ada yang membahayakan di dalam.” Kanz mengeluarkan kunci mobilnya lalu berjalan ke arah pintu. “Iya, Pak. Hati-hati di jalan.” “Oke.” Kanz segera masuk ke dalam mobil dan mengikuti Maira. Sejenak ia teringat akan kata-kata Deni untuk memastikan keadaan rumahnya sebelum menagih biaya perbaikan mobil yang sudah ada di tangannya. Total biayanya sangat besar. Dalam kecepatan sedang, Kanz terus mengikuti wanita itu dari belakang sampai ke rumahnya. Kanz melihat rumah sederhana yang ukurannya lumayan besar, tapi terlihat tidak begitu terurus. Maira berhenti di depannya lalu memarkirkan sepedanya lalu membuka pintu pagar. Kanz turun dan melihatnya dari jarak 10 meter. Seorang wanita keluar dari dalam rumah, Maira memegang lengannya dan tersenyum. Nani pulang ke rumahnya yang ada di seberang jalan. “Dia tinggal di sini?” tanya Kanz sendiri lalu menghela napasnya kemudian beranjak pergi dari lokasi tersebut. “Rumahnya bagus, meski rumah lama, kayaknya dia bukan orang susah.” Kanz menanggapi kondisi yang terlihat dari kaca matanya malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN