BAB 10 : Maira Shanum - Curahan Hati

1298 Kata
Malam ini Maira tidak bisa tidur. Matanya terus menyala meski waktu sudah menunjukkan pukul 12. Maira kepikiran dengan biaya kerusakan mobil Kanz. Ia menghadap laptop dan mencari tau rincian perbaikan mobil yang sesuai dengan merek milik Kanz. Maira mengotak-atik internet dan tidak menemukannya. “Aahh! Kenapa bisa sih kakiku menyentuh pot bunga itu?” jeritnya sendiri kesal. “Bagaimana kalau harganya jutaan? Mana uang kuliah Aku di tabungan untuk semester depan cuman dikit, ditambah bayar utang lagi. Oma kan tidak ada uang sekarang! Dia harus membiayai pengobatannya sendiri, tidak mungkin Aku minta sama dia.” Maira lemas dan menjatuhkan tubuhnya ke atas laptop. “Aagghhh!” erangnya pelan. “Apa Aku pinjam sama Tiara aja ya?” ocehnya lalu menggeleng kuat. “tidak, tidak mau. Aku tidak mungkin pinjam sama dia, malu ah!” lanjutnya masih risau. Maira mengacak-acak rambutnya dan menutup laptopnya lalu beranjak ke tempat tidur. Guling sana guling sini dan menendang selimutnya sampai jatuh. “Astagfirullah, maafkan Aku ya Allah, hati ini kacau banget!” Maira akhirnya turun lagi dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi. Mengambil wudhu lalu solat tahajjud, minta petunjuk agar diberikan jalan keluar supaya tidak berat membayar utang dan mengumpulkan biaya kuliahnya. Keesokan harinya di kampus. Tiara menghampiri Maira saat jam kosong menunggu kelas si Ramli siang ini. Turun dari mobil dan mencari lokasi yang sesuai dengan isi pesan singkatnya, memutar arah sampai menemukan sosok sahabatnya tersebut. Maira duduk di bawah pohon sambil bersandar dan mukanya masam seperti jeruk purut. Tiara melihat kegundahannya, wanita itu mendekatinya dan duduk di sebelahnya. “Apa kakek itu membuatmu terpesona?” tanya Tiara pada Maira yang memAku pandangannya ke seorang pria tua sekitar 5 meter di depan mereka. “Eh?” Maira tersadar lalu menoleh pada Tiara. “Hehe, iya juga. Aku rasa dia sangat tampan dulu,” jawabnya berbohong menutupi isi hati, tapi Tiara tak dapat dibohongi sebagai sahabat. “Bohong, deh! Kamu lagi ada masalah?” tanya Tiara. Maira menggeleng, tapi wajahnya mencerminkan anggukan. Tiara malah tertawa ringan. “Kamu tidak bisa menyembunyikan masalah dariku. Aku tau Kamu lagi punya problem, ceritalah.” Sontak Maira mengulum bibirnya dan tersenyum. “Kesalahan besar!” ucapnya lemas. “Hmm, salah apa?” Maira menatap Tiara, matanya sedikit berkaca-kaca. Wanita di sampingnya itu langsung merentangkan tangan dan memeluknya. “Aku sedih kalau Kamu sedih, ceritakan Mai, Aku siap mendengarkan.” Tiara menepuk tubuh Maira lembut. “Aku bermasalah dengan bosku, Tiara.” Tiara menarik pelukannya dan melihat wajah Maira. “Dengan bosmu di kafe?” tanyanya. Maira mengangguk. “Aku memecahkan kaca mobilnya.” “Astaga! Bagaimana bisa?” “Aku menghindari seorang anak kecil yang sedang bermain, ternyata di belakangku ada pot bunga yang terlempar kakinya dan jatuh ke mobilnya. Ah!” Maira kembali suntuk dan menunduk serta memegang kepalanya. “Cuman kaca mobil kan? Harganya pasti murah, tenang aja. Aku baru ganti kaca mobil, paling kena 2 juta,” tukasnya. Maira langsung menegakkan kepalanya dan memegang tangan Tiara. “Serius?” tanyanya bahagia. “Serius!” “Tapi mobil dia mewah banget, Tiara!” “Ah, sama aja itu, tidak jauh harganya paling segitu-segitu juga.” “Hmm.” Kerutan bibir Maira makin kecil dan helaan napasnya berat keluar masuk alveolus. “Semoga aja murah, Aku tidak tau harus cari ke mana kalau terlalu mahal.” “Hei, tenang aja. Aku akan bantu.” Maira menggeleng. ”Jangan, Tiara. Kamu sudah banyak bantu Aku, Aku tidak mau repotin Kamu lagi.” “Hahaha, Kamu ini seperti orang lain aja. Sahabat kan harus saling membantu?” Maira tersenyum, memegang tangan sahabatnya lalu memeluknya. “Kamu sahabat terbaikku, semoga kita bisa terus bersama sampai tua.” “Bahkan sampai kita sudah menikah ya?” Maira mengangguk. “Sampai punya anak, terus kita jodohkan, deh , anak kita.” Tiara tertawa cekikikan. Khayalan Maira kejauhan sampai punya anak dan menjodohkannya. Padahal saat ini mereka saja belum punya pacar. Setelah puas melepaskan penat hati dan pikiran pada Tiara, Maira melanjutkan perkuliahannya. Jadwal bersama dosen yang tidak pernah disukai oleh Maira. “Selamat siang, Semua!” sapa Ramli. “Siang, Pak!” jawab mahasiswa dalam kelas kecuali Maira yang memandang ke arah jendela. Ramli tetap memfokuskan pandangannya pada mahasiswanya yang sedang melamun tersebut. Ramli tertarik untuk mengerjai Maira hari ini. Pria itu berdiri dan berjalan ke arahnya, sambil memberi kalimat pembukaan. “Saya akan mengadakan lomba dengan tema ‘Peduli Lingkungan’, nama kalian akan saya acak untuk menjadi 8 tim. Masing-masing berisi 5 orang.” Ramli melangkah semakin dekat dengan Maira tetap melamun walau Ramli sudah berbicara. “Dan, kau!” kata Ramli menepuk bahu Maira. Tepukan itu membuat mata Maira terbelalak dan menganga lalu meminta maaf pada Ramli. “Maaf, Pak!” katanya. Ramli memiringkan kepala. “Kau melamun? Apa yang kau khayalkan?” tanyanya. “Mmh, tidak ada, Pak! Saya hanya mengantuk,” katanya dengan tawa kecil. “Oh, ngantuk, baiklah supaya kau tidak mengantuk, kau akan kuutus menjadi ketua dalam tim pertama.” Maira menaikkan alis, terkejut dengan ucapannya. “Ma-Maksudnya ketua untuk apa, Pak?” “Wu, makanya jangan melamun saja, Mai! tidak dengarkan, kau?” sorakan temannya mengalihkan pandangan Maira dengan senyuman malu. “Sudah, jangan merendahkan teman sendiri, mungkin dia sedang ada pikiran atau mungkin dia teringat pada jemuran di rumah,” sindir Ramli dengan selipan canda. Maira menyengir setengah hati pada Ramli. “Hihi, iya, Pak! Benar kata bapak, jemuran saya di rumah sudah kering belum ya?” ucapnya sendiri untuk menyahut sensasi ocehan Ramli. “Kau mengkhawatirkan dalamanmu ya?” tanya temannya lalu mereka pun tertawa terbahak-bahak. Maira melirik Ramli tajam. Apaan, sih, Pak? Kenapa harus mempermalukan aku kayak begini? pekiknya dalam hati. Ramli membalas tatapannya dengan senyuman samar lalu melempar spidol pada mahasiswanya yang masih tertawa cekikikan. Gedebuk! Sontak semuanya diam, spidol itu mengenai kening pria yang paling kuat tertawanya, ia mengambil benda itu lalu mengembalikannya pada Ramli. “Maaf, Pak!” ucapnya sembari mengulurkan benda itu. “Pegang spidolnya dan jalan ke arah papan tulis! Tulis semua yang saya katakan! Jangan sampai salah,” perintahnya sebagai hukuman karena mengolok-ngolok Maira. Maira tidak peduli pada semua yang dilakukan Ramli, hanya senyuman miring yang tipis terlontar dari bibir Maira saat membuka bukunya untuk melanjutkan pelajaran. Sementara temannya yang lain menatap ke arah Maira yang tidak membalas tatapan mereka. Dua jam kemudian tepat pukul 2 siang, Maira bergegas keluar dari kelas agar bisa segera menuju kafe untuk bekerja, melalui dosennya dan hanya menunduk saja lalu pergi. Ramli pun cepat-cepat bergerak dan mengejar Maira, tapi gadis itu berlari kencang. “Mau ke mana dia? Kenapa terburu-buru gitu?” tanyanya heran. Maira segera menuju halte dan menanti bus. Ponselnya berdering, panggilan dari Nani, si penjaga Oma. “Assalamu’alaikum, Nani. Ada apa?” “Wa’alaikumsalam, aku cuman mau mengabari kalau aku udah di rumah Oma.” “Oh, iya, Nani! Terima kasih banyak sudah luangkan waktu untuk jaga Oma. Makan siang Oma ada di lemari, tadi aku masak sop buntut dan tolong goreng tempe yang sudah aku marinasi di kulkas. Oma suka makan tempe panas-panas,” pintanya dengan jelas. “Iya, Mai. Aku boleh makan di sini juga tidak? Soalnya di rumah tidak masak.” “Boleh, makanlah. Jangan segan, kau tidak perlu tanyakan hal itu. Kita sudah berteman sejak dulu, Nani.” “Hehe, terima kasih ya, Mai!” “Nani, sudah dulu ya, busku udah datang.” “Oh, oke!” Nani mematikan teleponnya lalu berjalan menuju dapur. Maira berdiri menanti busnya berhenti lalu naik ke dalam dan segera duduk. maira melepaskan jaketnya dan menyandarkan tubuh. Memakai penyuara jemala, mendengarkan musik kesukaannya sambil menikmati pemandangan kota. Melepas masalah dalam perjalanan agar kembali ceria saat bekerja. Mai, semua orang punya masalah. Selama masih ada hari jumat di kalender, maka tak akan ada masalah yang tak berlalu, hiburnya sendiri dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN