Keesokan harinya, Maira tampak amat senang. Terdengar dari lirik lagu yang ia dendangkan sepanjang jalan menuju kafe menggunakan sepeda berwarna kuning.
Jarak rumah dan kafe tidak terlalu jauh, sepuluh menit menggunakan sepeda, tiga puluh menit berjalan kaki dan hanya lima menit pakai motor.
Cit. Jegrek.
Suara standar sepeda berbunyi tanda benda itu akan diparkirkan. Mata Maira langsung tertuju pada mobil yang duduk manis di sebelah kanannya.
“Jadi mobilnya sudah diperbaiki,” ucapnya memandangi semua bodi mobil itu telah kembali seperti semula. Maira mengambil tas di keranjang sepeda lalu masuk ke dalam kafe.
"Selamat sore!" sapanya kembali riang.
"Sore, Maira!" balas mereka yang kerja di sana juga.
"Eh, cerah banget? Baru menang judi?" tanya seorang pria menghampirinya.
Maira menepuk topinya dan mengejeknya. "Judi? Haram tahu!” sahutnya tersenyum.
"Hahaha, Maira, Maira." Omen tertawa melihatnya.
Gadis itu menuju ruang ganti dan meletak tasnya di loker. Membuka kemeja dan memakai kaos kerja yang senada dengan warna topinya, hitam kombinasi garis merah.
Maira mengambil napas dan berusaha menyemangati diri sendiri. "Semangat hari ini, Mai!" ucapnya sendiri.
Seorang pekerja yang melihat Maira sudah tiba di kafe langsung menghampirinya. "Hei, bos memanggil tuh, datangi ke ruangannya,” ketus seorang pekerja wanita yang memandangnya sinis.
"Ada apa?" tanya Maira.
"Mana kutahu, mungkin karena mobil dia kali. Habislah kau!” Wanita itu tersenyum miring dan pergi dengan tatapan tidak suka.
Maira menelan ludah, perasaannya mulai tidak enak. Ia merapikan penampilannya, menyemprotkan parfum ke leher lalu menyiapkan mental menemui Kanz. Perlahan ia menapak anak tangga menuju ruangan tersebut.
'Tok. Tok.'
Maira mengetuknya pelan.
"Masuklah." Suara Kanz terdengar dari luar.
Maira membuka pintunya dan melihat pria pemilik kafe sedang berdiri menyandarkan diri di tepi meja sambil melihat map merah.
‘Kira-kira apa yang akan dikatakannya? Aku kenapa takut banget menghadapi monster ini ya? dia bisa meledak kapan pun dan menjadikan aku korban kemarahannya’, gumam Maira dalam hati sambil menatap Kanz yang terus menunduk ke arah laporannya.
‘Aku rasa dia bisa kupanggil Kurosaki kun, si black devil di film serial Jepang itu,’ ocehnya lagi dalam hati.
Huft, hembusan napas pelan mengawali semangatnya untuk menghadapi Kanz, si bos galak!
"Permisi, Pak! Bapak memanggil saya?" tanya Maira polos.
"Mmh, duduklah," pinta Kanz menarik kursi di dekatnya dan mendorongnya ke arah kanan.
Maira menangkap kursi tersebut dan duduk dengan rasa takut. Kanz mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu, sontak Maira kaku seperti robot kehabisan baterai.
‘Ngapain dia melihat aku kayak begitu?’ Tanyanya dalam hati. Tatapan Kanz membuatnya takut karena sangat tajam. Maira menciut dan menelan salivanya.
Kanz meletakkan map-nya lalu berjalan ke arah Maira. Dua tangannya mencengkram pegangan kursi di kiri dan kanan. Maira menatap matanya dan menahan napas karena Kanz semakin dekat. Dua bintik miliknya mengawasi dengan tajam.
"Kau punya waktu besok?" tanya Kanz baik-baik.
"Be-Besok?" Maira mengerjap beberapa kali, bingung dengan pertanyannya. "Ada apa dengan besok? Bukannya besok saya tidak masuk kerja?" lanjutnya terheran-heran.
Kanz mendekatkan dirinya pada Maira dan membuat gadis itu menekan kepalanya semakin ke belakang.
Maira nyaris tak bernapas. "Jan dekat-dekat, Pak!" ucap Maira sambil memejamkan mata.
Pria itu mendengus dan menjauhkan dirinya dari kursi tersebut dan tersenyum miring.
Maira bernapas lega. Huff, ngapain sih dia buat kayak begitu? Dasar bos aneh!
Kanz melanjutkan ucapannya. "Aku ingin kau menjadi pacar sewaanku.”
"HAH?" Maira terpelongo.
Kanz mengerutkan alisnya dan merasa tersinggung pada responnya. Pria itu menarik kursi Maira lagi dan menatap mata gadis itu lebih dekat dari sebelumnya.
Aroma tubuhnya menyusup ke dalam saraf pembaunya dan melekat kuat. Kanz memperhatikan irisnya yang berwarna hazel terang tersebut tampak alami, sangat indah dengan bulu mata lentik serta tebal.
Alisnya bak semut beriring, hidungnya mancung serta bibirnya yang berisi di bagian bawah pasti menjadi pusat perhatian pria normal dan imajinasi liar dengan bibirnya.
"Kau cantik, tapi bukan tipe-ku. Jadi kau tidak perlu cemas dan berpikiran aku akan menyukaimu. Aku hanya membutuhkanmu jadi pacar sementara saja," jelasnya.
Pria itu menarik diri dan berdiri dengan posisi melipat tangannya menghadap Maira.
"Kenapa Bapak mencari pacar sewaan?" tanya Maira.
"Orang tuaku ingin menjodohkanku pada seorang putri konglomerat. Aku menolaknya dengan alasan sudah punya pacar," jawabnya.
"Hmm, jadi begitu," ucap Maira pelan dengan anggukan polos.
"Kau mau kan membantuku?" tanya pria itu lagi. Nadanya tidak tinggi, tampaknya dia memang membutuhkan pertolongan Maira kali ini.
"Aaah, itu, anu, Pak, Saya keberatan,” jawabnya. “Pasti Bapak mau mempertemukan saya dengan orangtua Bapak, ya kan?" tanya Maira balik.
"Pasti! Masa kau akan kupertemukan dengan presiden Indonesia? Emangnya kau siapa?“ erangnya tertawa miring.
Astagfirullah, bagaimana mau punya pacar kalau sikapnya kasar begini, kata Maira dalam hati kesal.
"Saya tidak pandai berpura-pura, nanti bapak merasa kecewa dengan Saya.” Maira berniat menolak. “Saya tidak pernah punya pacar, jadi Saya tidak tau harus melakukan apa nantinya.”
"Bersikaplah seperti dirimu sendiri, jangan jadi orang lain. Cukup kau ubah status jomblo jadi berpasangan karena kau milikku."
Maira tetap ragu. ‘Miliknya?’
"Mmh, Pekerja kita kan banyak tuh wanita - kenapa Bapak milih Saya?" negosiasiku terlontar dari Maira berharap Kanz mengurungkan niatnya.
"Banyak tanya ya! Pokoknya besok jam sepuluh aku jemput di depan taman dekat sini," bentaknya.
Maira spontan menunduk, wajahnya berkerut. ‘Astagfirullah.’
"Aku akan bayar kau sepuluh juta untuk waktu yang telah kau luangkan demi menemaniku menjadi pacar sewaan. Tenang aja," jelasnya merasa yakin bahwa Maira akan setuju.
"Se-sepuluh juta?" Maira terkejut.
"Mmh, bagaimana?" tanyanya.
Maira terpelongo. 'Itu duit semua? Sehari? Kok aku kayak jadi pelayan om-om rasanya dengan bayaran segitu?' gumam Maira dalam hati sembari membuang pandangannya ke arah kanan. Hal itu jelas terlihat karena usia mereka terpaut jauh, Maira 22 tahun sementara Kanz 31 tahun.
Maira menggeleng. “Maaf, Pak, Saya tidak mau.”
Kanz berdecak. ‘Ck, dia menolakku? Berani sekali!’
Kanz mencari cara lain agar gadis itu setuju. Akhirnya dia menggunakan kesalahan Maira untuk permintaannya.
"Eh, tunggu! Bukankah kau punya utang biaya perbaikan kaca mobilku yang pecah?" sambar Kanz memainkan jarinya lalu tersenyum tipis.
‘Ya Allah, dia pakai alasan itu lagi! Mati aku.’ Maira memejamkan matanya.
“I-Iya, Pak,” jawab Maira terbata-bata.
"Kau lihat mobilku sudah kembali ke bentuk semula di luar?" tanyanya lagi.
"Mmh, i-iya,” jawabnya lemas.
"Untuk biaya perbaikan totalnya dua puluh lima juta, ditambah stiker pelindung dua juta dan upah pegawainya satu juta. Jadi totalnya berapa?" tanya Kanz.
Maira mendengarkan rinciannya sembari menghitung semuanya. "Dua puluh delapan juta, Pak." Maira lemas mendengarnya.
Kanz mengangguk. “Anak pintar!” pria itu tersenyum jahat. “Berarti kau tidak ada alasan untuk menolakku,” sambungnya mendelik ke arah Maira.
Kacau, hati Maira sangat kacau. Situasi buruk kemarin membawanya terjebak dalam jebakan Kanz.
“Ta-tapi, Pak!” Maira berusaha menolaknya.
“Hmm? Kenapa? Apa kau mau bayar lunas?” tanya Kanz.
Maira menggeleng. “Saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak,” jawabnya dengan nada rendah.
“Kalau begitu kau harus setuju. Sekarang kembalilah bekerja,” pintanya.
"Iya, Pak. Saya permisi." Gadis itu berdiri dari kursi dan melangkah ke pintu.
“Tunggu-“ kata Kanz.
Maira berbalik. “Ya, Pak?”
“Jangan katakan hal ini pada siapa pun, cukup Kau yang tau.”
“Baik, Pak.” Maira segera meninggalkan ruangannya. Di luar ruangan, Maira kesal sekali rasanya. Ia memukul kepalanya dengan tangan.
"Maira bodoh, kenapa kau ceroboh sekali! Bagaimana bisa pot bunga kau tendang sampai mengenai mobil bosmu?" ocehnya menuruni anak tangga mengingat kejadian kemarin.
"Hah, pasti dia kena sembur. Gila aja mobil mewah harga milyaran begitu kacanya dia pecahin. Rasain kau, Mai!” pekik seorang wanita yang tidak menyukai dirinya sejak pertama bekerja di kafe.
"Kau ini, teman kesusahan malah bahagia,” sambar Omen yang berada di dekat wanita itu.
Wanita itu melirik sinis pada Omen lalu kembali kerja. ‘Ck,’ decakannya terdengar samar.
Maira berusaha kembali normal, ia menarik napas lalu membuangnya.
"Semangat, Maii," bisik Omen, teman baiknya di kafe.
"Terima kasih, Men." Maira tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Kok!"
"Mairaaa, lihat meja nomor 26! Aku sedang sibuk," jerit temannya yang mengangkat pesanan ke meja lain.
"Yah, oke!"