Saat malam tiba dan jam kerja sudah selesai. Maira berhenti dari aktivitasnya, memperhatikan Kanz yang sedang berjalan menuju mobil. Ia menahan dagunya di atas tangan yang menekan ujung sapu.
'Enak banget jadi orang kaya, benerin mobil saja sampai dua puluh delapan juta. Lah, aku? Mau buka usaha bermodalkan lima juta saja susah. Mana bayar uang kuliah, uang ongkos ke kampus, makan siang di luar, ditambah lagi Oma butuh biaya perawatan ekstra. Astagfirullah, maafkan aku ya Allah. Maira tidak boleh mengeluh.'
"Woi, melamun saja! Sudah pergi dari tadi tuh si bos! Eh, ngomong-ngomong tadi apa yang kalian bicarakan?" tanya Omen penasaran.
"Tidak ada." Maira menghindar agar tidak ditanya-tanya sama temannya. Ia berjalan ke gudang, meletakkan sapu lalu mengambil tasnya. Omen tertawa kecil karena Maira melarikan diri dari pertanyaannya.
“Aku pulang duluan ya,” kata Maira.
“Tungguin aku!” Omen pun segera menyusulnya ke parkiran.
Omen mengendarai motor, Maira mendayu sepedanya. Mereka berpisah di ujung jalan ke arah berbeda.
“Duh, bagaimana, nih? Besok aku kan ada janji sama anak Sakura untuk mengajari mereka membaca?” gusar hatinya.
Di hari liburnya, Maira masih bisa menyempatkan diri untuk mengajari anak-anak jalanan membaca. Namun, karena perintah Kanz, ia harus membatalkannya dan menggantinya di hari lain.
"Assalamualaikum," ucap Maira ketika sudah tiba di rumah.
"Wa'alaikum salam, Maira sudah pulang. Oma menunggumu di kamar," kata Nani.
"Makasih ya Nani - atas bantuannya hari ini. Aku ada bawa makanan untuk Nani," sahutnya.
"Ya, Allah, Tidak perlu beliin gini. Kita kan saling membantu, kamu juga sering bantuin aku ngerjain tugas tapi tidak pernah aku bayar."
"Haha, tidak boleh ungkit masa lalu. Sudah terima saja, aku beli dua." Maira menunjukkan miliknya.
"Murah rezeki ya, Maira. Aku pulang dulu."
"Hati-hati, Nani. Besok aku minta tolong jagain lagi boleh? Soalnya aku ada perlu."
"Bisa, tenang saja. Aku akan mengerjakan tugasku di sini."
"Maaf meerepotkanmu ya," kata Maira.
Maira mengantarkan Nani sampai depan pintu lalu mengunci semua jendela dan pintu. kemudian berjalan ke dapur untuk menaruh makanan di meja lalu ke kamar mandi, mencuci tangan kaki dulu sebelum ke kamar Oma. Kue pai yang dibelinya di ujung jalan jadi oleh-oleh malam ini. Maira membawanya ke kamar Oma.
"Oma cantik!" sapa Maira dengan senyuman.
"Eh, cucu Oma sudah pulang. Apa itu?"
"Maira bawa kue kesukaan Oma."
"Wah, pai cokelat!" Oma kesenangan. Dia langsung melahapnya dengan cepat, matanya membesar merasakan kelezatan yang sudah dirindukannya.
"Hati-hati, Oma. Masih panas." Maira tertawa melihat Oma Fani makan seperti anak kecil.
"Oma tadi bermimpi Opa. Dia ngajak Oma pergi ke tempat yang luas sekali," ceritanya.
Maira merasa tidak enak hati mendengar ocehannya. Seakan waktu Oma tidak lama lagi.
"Oma," panggil Maira lalu memeluknya. Maira tidak ingin wanita itu meneruskan ucapannya. Mengalihkan pembicaraan lebih baik menurutnya.
"Cucuku, Kamu lelah?" tanya Oma.
"Enggak, Maira tidak lelah. Cuman kangen saja sama Oma."
"Duh, kamu manja banget. Kelak cari suami yang sayang sama kamu ya, Nak - Atau mau Oma cariin?"
"Haha, Oma tidak perlu carikan suami untuk Maira, insyaAllah nanti datang sendiri yang baik."
"Gelang kemarin mana?"
"Maira simpan, kenapa Oma?"
"Dipakai saja, itu akan membawa keberuntungan untukmu."
Maira menganggukkan kepalanya. Oma mengantuk, Maira membantunya merebahkan tubuh lalu menyelimuti Oma Fani.
"Selamat tidur, Oma cantik!"
"Selamat tidur, Maira Shanum."
Maira tersenyum dan beranjak ke arah pintu. Mematikan lampu utama lalu menghidupkan lampu tidur, menutup pintu kemudian menuju dapur.
Maira menuang air dalam gelas untuk di bawa ke kamarnya. Ponselnya berdering, panggilan dari Tiara.
“Tiara, gila ini! Sumpah aku geram banget sama bosku itu,” erangnya dalam percakapan.
“Kenapa, Mai?” tanya Tiara.
“Aku-“ Maira menghentikan ocehannya dan teringat akan janjinya untuk tidak menceritakan apa pun pada orang lain. Maira membatalkan niatnya untuk cerita meski pada sahabatnya sendiri.
“Iya, Mai – Kamu kenapa?”
“Aku diminta sama bosku untuk menemaninya besok.”
“Ha? Ke mana?”
“Tidak tahu,” jawabnya.
“Jangan bilang ini salah satu langkah untuk membalas kesalahanmu?” Tiara tertawa hebat sampai telinga Maira sakit.
“Ya, dia minta tolong padaku.”
“Tolong apa sih?”
“Nemuin mama dan papanya bareng aku.”
“Hahaha, astaga! Kau di bayar sama dia untuk berakting?” tanya Tiara.
Maira pun secara tak sengaja mengatakan hal sebenarnya secara halus. Tiara masih cekikikan karena tidak percaya kalau jaman sekarang masih ada sistem sewa pacar.
“Eeh, jangan ledekin aku!”
“Kamu itu belum pernah pacaran, masa sudah menemui orangtuanya saja?” Tiara senyum sendiri. "Apa dia suka sama kamu ya?" tanyanya lagi.
"Enggak. mana mungkin dia suka sama aku. Mukanya itu saja ya kayak telenan, datar banget ngeliatin aku." Maira mendengus kesal, bibirnya ia gigit ke dalam.
"Alah, nanti jatuh hati saja lama-lama."
"Ah, ogah!" Maira menggeleng.
“Emangnya kena berapa biaya mobil dia?” tanya Tiara.
Maira terdiam. ‘Lebih baik aku tidak bilang, aku tidak mau Tiara pusing mikirin masalahku,’ batinnya.
“Tidak banyak sih."
“Syukurlah, ya sudah jalanin saja kalau memang mengurangi biaya perbaikan mobilnya.”
“Iya sih, tapi aku bingung. Kalau ke rumah orang tua itu kan harusnya pakai baju bagus kan?” tanya Maira.
“Ehem, benar!”
“Tapi Aku tidak punya baju cantik, Tiara.”
“Tenang lah! Besok aku akan datang untuk mendandani kamu.”
“Serius? Oke deh, aku tunggu!”
“Iya, tenang saja. Ckckck.” Tiara masih merasa geli dengan cara Kanz menagih hutangnya.
“Heee, kenapa ketawa terus?” tanya Maira tersenyum.
“Aku penasaran, apa ya alasan bosmu itu nyari pacar bohongan?”
“Tidak tahu.” Maira menutupinya.
“Hahaha, kalau ada apa-apa atau dia memperlakukanmu macam-macam, kau langsung hubungi polisi!”
“Iya, Tiara. Haha, emangnya aku mau diapain?”
“Ya. kita tidak tahu lah! Entah dia menjebakmu atau apa begitu, diluar nalar.”
Maira tersenyum. “Ada-ada saja.”
“Eh, bosmu itu tampan tidak?” tanya Tiara mengerling.
“Tampan sih, dia itu tipe pria sempurna. Cuman galak dan kerasnya saja buat perempuan takut.”
“Hmm, begitu ya. aku makin penasaran sama dia, tiap ke kafe tidak pernah ketemu sama tuh cowok.”
“Iya, tidak beruntung.” Maira menyandarkan tubuhnya dan menatap ke arah jendela.
“Yap, sekarang kamu tidurlah. Aku masih banyak kerjaan,” kata Tiara.
“Hehe, jangan begadang malam-malam, Tiara, kasihan tubuh kamu.” Maira khawatir pada sahabatnya yang sudah sangat lelah.
“Iya, sudah dulu ya!” Tiara mematikan panggilannya dan Maira meletakkan di meja lalu segera berbaring di tempat tidur.
Maira mengingat kejadian menegangkan tadi dalam ruangannya. Itu kali pertama Maira memperhatikan wajahnya Kanz.
‘Dia memang tampan, tapi sangat sombong dan galak,’ batinnya.
Maira mengenang tiap lekukan wajah Kanz yang memandangnya. Matanya memang tajam, tapi sangat menggoda. Bibirnya merah, belah pinang dan hidungnya mancung sempurna.
‘Apaan sih? Kenapa malah mikirin dia?’ Maira tak terima kalau otaknya merekam sedetail itu akan wajah Kanz.