Bab 4 : Maira Shanum - Berkasku Digagahi

1248 Kata
Lima belas menit kemudian Tiara mengantarkan Maira ke parkiran lalu segera menuju ke fakultasnya. Maira berlari kencang ke arah gedung belajar karena jadwal kuliah tinggal 5 menit lagi. Dia berpapasan dengan dosen yang berjalan ke arah kanan. "Selamat pagi, Bu!" sapa Maira pada dosen itu dan menyalaminya. "Iya, selamat pagi! Kamu sedang olahraga, Mai?" sahutnya kocak melihat keringat di wajah Maira menetes, padahal baru selesai hujan. Udara masih terasa dingin. "Haha, Iya biar sehat ni, Bu! Duluan Saya ya, Bu!" jawabnya kemudian membungkuk dan tancap gas. Maira bersyukur dosen yang bernama Ramli belum masuk ke ruangan. Ia segera duduk dengan napas terengah-engah. Salah seorang temannya memberitahu padanya bahwa tugas makalah kemarin harus dikumpul ke meja depan. Maira mengangguk dan mencarinya di dalam tas dan langsung meletaknya ke meja. Ramli termasuk dosen favorit yang kejam. Namun, beberapa siswa rela dimarahin habis-habisan hanya demi bertemu dengan pak Ramli dalam ruangannya. Mereka mencari perhatian karena suka dengan wajahnya yang manis. Berkulit kuning langsat punya lesung pipi di bagian kirinya. "Selamat pagi semua!" sapanya memasuki ruangan. "Pagi, Pak!" "Silahkan tutup buku kalian dan hanya boleh ada pena saja di atas meja," perintahnya mengejutkan seisi ruangan. Bisikan halus merata membuat kicauan yang mengganggu pendengaran. Ramli memukulkan buku ke papan tulis. Sontak semuanya terdiam. Dia meminta seorang mahasiswa membagikan kertas pada teman-temannya. "Saya kasih waktu setengah jam, silahkan kamu jawab pertanyaan ini tanpa suara." sambungnya membuat tegang situasi kelas. 'Pertanyaan apa ini? Kenapa begitu privasi sekali!' Ucap Maira dalam hati kebingungan dengan pertanyaan di kertas tersebut dan melirik ke arah dosen. Paparkan pendapatmu tentang seorang konsumen yang tampan, tapi cerewet dan berlaku seperti penguasa. Kerjakan dalam waktu satu jam. Pikirkan matang-matang sebelum menulisnya. Maira masih berpikir keras selama sepuluh menit, dia menggaruk kepala dengan ujung tutup pulpennya dan memandang ke arah langit melalui jendela di sebelah kirinya. Terlihat sangat mudah tapi poin penting yang mau diambil Bapak itu kira-kira apa, ya?' Ah, masa bodoh. Jawab aja deh! lanjutnya dalam hati. "Orang songong kayak gitu jangan di gubris, dong! Tampan tak ada artinya kalau tidak punya kesopanan," ocehnya pelan sambil menuliskan pendapatnya di atas kertas tadi. Ramli memperhatikan ekspresi semua mahasiswa dengan senyuman jahat. Pagi hari yang dingin jadi panas dan menegangkan. Terlihat beberapa pasang mata melirik ke arahnya dan dia membalas sinis. Suasana pagi hari yang membuat mood hancur, Maira kehilangan semangatnya. Akhirnya mata kuliah tadi selesai. Langkah kakinya menuju parkiran melambat, dan hela napas panjang berhembus tiga kali. Sebuah tangan menyentuh pundaknya dan dia pun berbalik lalu menangkis orang yang membuatnya kaget. Matanya terbelalak dan dia buru-buru merapikan baju serta rambutnya. Sret. "Oh, maaf Pak! Saya kira tadi siapa. Maaf ya, Pak!" kata Maira pada sosok yang mengagetkannya itu ternyata Ramli. "Ikut saya ke ruangan." Ramli menarik tas Maira dan membuat dia terpaksa ikut ke ruangan. "Ada apa, Pak? Kenapa seperti anak kecil begini?" tanya Maira keheranan. Pria itu tidak menjawabnya dan tetap menarik tasnya sampai ke depan pintu ruangannya. "Duduklah!" perintahnya. "I-Iya, Pak." Maira mengikuti perintahnya, duduk lalu melihat Ramli menuju ke arah ujung, sedang membuka lemari dan mengambil berkas kemudian memberikannya pada Maira. Maira bingung berkas apa itu, dia membukanya dan menjerit, "Hah!" Ramli melotot mendengar suaranya yang sangat keras. "Maaf, pak! Saya spontan tidak sengaja. Kenapa ini bisa sama Bapak?" Sambil menunjuk ke map hijau ditangannya. "Keteledoranmu masih terus menghantui? Seberapa sering saya menemukan barang-barangmu jatuh disekitar sini?" "Oh, itu karena-" "Kalau hilang bagaimana?" bentaknya. Maira menutup matanya. "Iya, Pak! Saya minta maaf," ucap Maira pelan merasa heran dengan dosen satu ini yang terlalu memperhatikannya. Mata Ramli menyorot tajam ke arah Maira, membuatnya menunduk ketakutan. Dia segera minta ijin untuk keluar ruangan, tapi di tahan oleh dosen itu. "Siapa suruh keluar? Masih ada yang mau saya tanyakan. Berkas itu milikmu kan?" "Eeh, Iya-“ Maira tercengang. “Benar, Pak ini punya saya." Maira menyipitkan matanya pada pria itu. "Kamu serius ingin membuka usaha itu?" tanya Ramli dengan nada pelan memutar keadaan yang tadinya menegang jadi melunak. Maira mengerutkan alisnya dan bingung menjawabnya, ternyata isi berkas miliknya sudah digagahi oleh Ramli. "Saya punya rencana begitu, Pak! tapi belum ada biayanya," jawab Maira malu. Ramli tertawa dan menyuruhnya menunggu sembari ia menarik laci tepat di depan lututnya lalu mengeluarkan amplop berwarna cokelat lalu memberikannya pada Maira. Maira membukanya dan terkejut melihat isinya adalah uang! Dia melepas amplop itu dan menolaknya. Pak Ramli kaget dan melotot ke arah Maira. "Niat saya baik, Maira! Kamu bisa gunakan itu untuk rencana jualanmu, kelak kalau kamu berhasil saya juga bangga." "Tidak, Pak! Saya tidak bisa menerimanya. Terimakasih Bapak sudah berbaik hati, tapi ini tidak pantas saya terima." Maira berdiri dan membungkuk kemudian pamit. "Eh, Maira." Pria itu kesal karena dia selalu lari darinya ketika diajak bicara. Suara itu terdengar sampai keluar, Maira tidak menggubrisnya dan terus berlari meninggalkan ruangan. Ramli memiliki simpati tinggi pada semangat Maira dengan latar belakangnya yang buat miris hati. Ketegaran Maira patut diacungi jempol, meski dia butuh tapi dia selalu segan menerima hal yang dirasanya tabu. Beasiswa 50% yang diterima oleh Maira juga merupakan usaha Ramli untuk membantu Maira. Namun, gadis itu tidak tahu tentang asal muasal datangnya beasiswa tersebut. Maira hanya mendapat informasi dari sekertaris prodinya bahwa ia mendapatkan beasiswa tanpa tau bagaimana bisa ia dapatkan keistimewaan itu? Sebelum jadwalnya bekerja hari ini. Maira menyempatkan untuk menemani sahabatnya mencari buku. Maira duduk dan menatap layar gawainya di sofa sudut toko. Gadis itu terlena pada teman ngobrolnya belakangan ini melalui aplikasi pesan pencarian jodoh yang iseng diikuti olehnya. 'Raja Fantasi', nama yang tertera untuk identitas pria yang sedang mengirim pesan padanya. Identitas Maira dipanggil ‘Gendang Cinta.’ Berulang kali si Raja Fantasi ingin menemuinya di kehidupan nyata, tapi Maira menolaknya. Jeritan sahabatnya membuat dia terkejut. "MAI!" "Akhirnya aku menemukan buku ini, Mai!" jerit Tiara kemudian duduk di samping Maira. Spontan ia mematikan layar ponselnya. "Syukurlah, ayo kita pulang!" kata Maira semangat dan membawa Tiara ke mobil. "Heh? Cepat banget? Aku belum makan." "Makan di rumah aja, Oma sendirian kasihan." "Baiklah, aku akan mengunjungi Oma." Mereka pergi ke kasir dan membayar buku lalu pergi. Di tengah jalan Tiara mampir sebentar membeli martabak kesukaan Oma. Sesampainya Tiara ke rumah, Oma riang sekali menerima martabak manis kesukaannya. Maira tersenyum dan menyuapi Oma pelan-pelan. "Oma makin cantik!" kata Tiara centil. "Walah, cantik apanya? Haha, udah kisut begini," respons Oma membuat kehangatan. Maira sangat senang melihat Oma tertawa bahagia. "Bagaimana kuliah kalian?" tanya oma pada mereka. "Alhamdulillah lancar, Oma!" jawab mereka serentak. "Sepertinya Maira duluan tamat, karena Tiara masih lama lagi." jelas Tiara. "Nah, berarti tahun depan Maira selesai ya?" tanya Oma tersenyum. "Iya, benar Oma. InsyaAllah selesai." jawab Maira mengangguk. Oma mengangguk bahagia. Lepas makan siang, Tiara pamit pulang dan berjanji akan main ke rumah Oma di lain waktu. Maira kemudian membawa Oma Fani ke kamarnya untuk istirahat. Ia menemani Oma Fani sampai tertidur pulas setelah minum obat. Bunyi bel dari pintu terdengar sayup dari kamar Oma, Maira buru-buru membukanya. Nani tetangga Oma datang untuk menjaganya selama Maira bekerja di cafe. Hanya 4 kali seminggu Nani menemani Oma dari sore hingga abis jam kerjanya. Maira mengecup kening Oma dan pergi dengan hati tenang karena Nani sudah datang. Maira begitu menyayangi Omanya, wanita yang telah lama mengurusnya itu kini gantian diurus. Rasanya Maira tak akan pernah lelah memberi perhatian seperti dia dulu memperhatikan kebutuhan Maira sebisa mungkin. Tak akan ada bedanya aliran sedarah atau tidak, bagi Maira bila dia baik maka balas kebaikannya. Maira selalu bisa membuat Oma tertawa dengan sangat kuat bila sedang berbincang. Maira tak ingin kehilangan Omanya, kehilangan opa saja sudah membuat Malika sedih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN