Bab 3

916 Kata
"Bantu aku mencari Dania, Fa. Aku harus menemukan dia kembali." Aku memohon pada Syifa, sepupu sekaligus sahabat dekatku. Selama ini aku tidak pernah menyembunyikan apa pun darinya termasuk perihal rumah tanggaku yang sempat dimasuki orang ketiga dengan alasan keturunan. Bukan maksudku ingin mengumbar masalah rumah tangga sendiri. Aku hanya membutuhkan teman berkeluh kesah setelah Mas Hanif tidak bisa kujadikan tumpuan di saat dia tengah sibuk memikirkan wanita lain. Sikap suamiku masih sehangat dulu. Namun, aku tidak merasakan kenyamanan lagi ketika bersamanya sebab apa yang ia lakukan seolah serba terpaksa di mataku. "Bukannya dia kembali ke rumah orang tuanya?" Syifa bertanya seraya menatap sendu wajahku. Ah ... sebenarnya aku tidak suka ditatap penuh rasa kasihan seperti itu. "Mereka sudah pindah. Kemarin aku mencarinya ke sana, tapi tetangganya bilang mereka pindah dari tiga bulan yang lalu dan itu berarti semenjak Mah Hanif menjatuhkan talak padanya," terangku. Tanpa sepengetahuan Mas Hanif, aku mendatangi rumah Dania, tetapi sayang wanita itu dan orang tuanya sudah pergi. "Kenapa harus mencari Dania? Bukankah dia sudah pergi dari hidup kalian? Kamu hanya perlu mengambil hati Mas Hanif kembali agar dia bisa melupakan wanita itu. Aku yakin cinta Mas Hanif untukmu lebih besar jika dibandingkan dengan cintanya pada Dania," ujarnya berusaha menyakinkanku. Aku memalingkan wajah untuk menyembunyikan air mata yang hampir keluar. Syifa belum tahu saja kalau aku sering memergoki Mas Hanif mengigau menyebut nama Dania. Di alam bawah sadarnya saja justru wanita itu yang ada di pikiran suamiku. Hal tersebut menunjukkan bahwa dugaan Syifa sepenuhnya salah. Cinta Mas Hanif untuk Dania jauh lebih besar jika dibandingkan cintanya untukku. "Kamu salah, Fa. Cinta Mas Hanif untukku sudah tidak sebesar dulu." Aku mulai terisak. Sekuat apa pun menahan, air mata ini tetap saja meluncur deras. "Aku tidak kuat lagi, Fa. Aku tidak bisa hidup dengan pria yang hanya aku miliki raganya. Aku ikhlas jika memang kebahagiaan Mas Hanif bersama Dania." "Isma ...." Syafa berpindah duduk di sampingku. Ia merangkul bahuku dan mengusapnya lembut. "Aku ikhlas, Fa. Bukankah bentuk pengorbanan paling besar itu adalah ketika kita ikhlas melepas orang yang kita cintai untuk berbahagia dengan orang lain? Aku yakin Mas Hanif dan Dania memang sudah seharusnya bersatu. Aku akan mengalah dan pergi membawa Ayra setelah mempertemukan mereka kembali." Syafa tak lagi berkata-kata. Sahabatku ini mempererat pelukan dan mulai terisak. Aku paham pasti ia merasa kasihan padaku. Sebagai sesama wanita, memang sangat sulit bagi kami untuk menahan tangis jika sudah menyangkut tentang perasaan. "Kamu yang sabar. Aku yakin kamu pasti kuat dan bisa menghadapi semuanya. Kalau kamu sudah merasa yakin dengan keputusanmu, maka aku akan mendukungmu. Ingat, Isma. Jangan pernah merasa sendiri karena kamu masih punya aku." Ucapan Syafa membuatku terharu. Di saat seperti ini memang dukungan seperti inilah yang sangat aku butuhkan. Aku memeluk Syafa dan menumpahkan tangis di dadanya. Aku berjanji pada diriku sendiri ini adalah tangisan terakhirku. Aku akan menjadi wanita tegar yang siap menghadapi semuanya, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. Ya ... kemungkinan pernikahanku dengan Mas Hanif akan berakhir setelah aku menemukan Dania, sebagai pengganti Ayra yang akan aku bawa pergi dari mereka. ******** "Maaf, Ma, aku tinggal dulu. Aku mau menidurkan Ayra di kamar," pamitku pada ibu mertua yang hari ini berkunjung ke rumah dan aku bisa menitipkan Ayra sebentar padanya untuk menemui Syafa. "Iya, Nak. Kamu juga sekalian istirahat. Ibu lihat akhir-akhir ini wajah kamu pucat sekali," katanya dengan tersenyum. Aku melirik sekilas ke arah Mas Hanif yang tengah menatapku. Tatapannya begitu hangat hingga dadaku berdesir hebat. Gegas aku memalingkan wajah, menghindar darinya. Tidak! Aku tidak boleh terpengaruh oleh tatapan yang biasanya membuatku luluh. Aku menidurkan Ayra dengan hati-hati. Putri kecilku sangat menggemaskan jika sedang tidur seperti ini. Bibirnya yang tipis bergerak seolah tengah mengemut sesuatu. Andai ia tidak sedang tidur, akan kuciumi seluruh wajahnya karena terlalu gemas. "Ayra tunggu sebentar ya, Sayang. Bunda ke dapur dulu mau ambil minum," ucapku seraya mengusap kepalanya. Tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering memaksaku keluar dari kamar dan tentunya harus melewati ruang keluarga di mana Mas Hanif dan mertuaku masih berada di sana. "Mama minta, kamu jangan lagi memikirkan Dania. Sekarang dia dan orang tuanya sudah berada di tempat yang aman. Sesuai permintaan kamu, Mama menugaskan seseorang untuk mencari keberadaan mereka sekaligus memastikan mereka baik-baik saja. Kamu bisa fokus pada Isma dan putri kalian. Jangan sakiti Isma dengan menunjukkan sikap kalau kamu juga mencintai Dania." Langkah ini terhenti mendengar ucapan mamanya Mas Hanif. Aku memutuskan untuk berhenti sebentar dan menguping sebab penasaran dengan jawaban yang akan diberikan putranya, apalagi satu fakta yang aku dengar makin membuka mata ini bahwa tenyata Mas Hanif masih memantau keberadaan mantan istrinya. "Aku juga inginnya seperti itu, Ma. Tapi aku tidak bisa melupakan Dania. Jujur aku tidak ingin kehilangan dia, tapi aku juga tidak ingin menyakiti Isma lebih dalam." Ya Allah! Sakit sekali mendengar jawaban dari suamiku. "Mama tahu sendiri seberapa besar usahaku untuk mencintai Isma, meski sekarang rasa itu perlahan tumbuh seiring kebersamaan kami. Tapi kehadiran Dania membuatku merasakan perasaan lain, Ma. Bersama Dania, aku lebih bahagia dan hidupku lebih berwarna. Entahlah, aku bingung. Di satu sisi aku tidak ingin menyakiti Isma, tapi di sisi lain aku menginginkan Dania," ungkap Mas Hanif. "Tapi Isma lebih membutuhkan kamu, Hanif. Dia sebatang kara. Saat ini kitalah keluarganya," tukas Mama. "Ya, Mama benar. Saat ini kita satu-satunya keluarga yang dimiliki Isma. Karena hal itu juga dulu Mama memintaku mendekatinya dan melamarnya, meski Mama tahu kondisi Isma seperti apa," ujar Mas Hanif yang membuatku terperangah. Satu fakta yang aku dengar saat ini benar-benar membuat syok. Jadi ... Mas Hanif melamarku bukan karena keinginannya sendiri?" Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN