Bab 4

820 Kata
Kenyataan yang baru saja aku denger menyentak kesadaranku. Ternyata selama ini aku tidak benar-benar diinginkan oleh Mas Hanif. Dia menikahiku atas perintah orang tuanya, bukan kemauannya sendiri. Pantas saja dia mudah sekali jatuh cinta ketika Dania hadir di antara kami karena memang aku bukanlah wanita yang ia inginkan. Aku makin merasa kerdil dan tidak pantas berada di sini. Kehadiranku telah menghalangi kebahagiaan Mas Hanif bersama wanita yang dicintainya. Ia terpaksa melepas Dania demi diriku yang tidak berarti apa-apa demi baktinya kepada orang tua. Aku menarik napas dan membuangnya perlahan untuk melonggarkan rasa sesak di d**a. Tidak! Aku tidak boleh menangis. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi wanita tegar dalam menghadapi setiap kenyataan pahit yang menerpaku. Aku kembali melanjutkan langkah menuju dapur tanpa berniat mendengar lebih jauh pembicaraan mereka. Apa yang terlontar dari mulut Mas Hanif sudah cukup membuatku tahu diri bahwa aku berada di sini hanya karena rasa belas kasihan mereka. Aku harus segera mencari Dania dan membawanya kembali ke rumah ini sebelum aku benar-benar pergi jauh bersama Ayra. Maaf, Mas. Aku terpaksa membawa Ayra bersamaku sebab hanya dia yang bisa menjadi penyemangat bagiku untuk melanjutkan hidup. Aku yakin kamu dan Dania akan bahagia meski tanpa keberadaan kami. Dania adalah wanita sehat yang bisa memberimu keturunan sebanyak yang kamu inginkan. Berbeda denganku yang bahkan untuk menjadi seorang ibu saja harus rela berbagi suami dengan wanita lain untuk satu tahun lamanya. ******** Pagi ini aku kembali beraktivitas seperti biasa meski hati sangat tidak baik-baik saja. Tugasku sebagai seorang istri tidak bisa aku abaikan sebagai bukti bahwa aku menghargai Mas Hanif yang sudah berbaik hati mau menikahi wanita tak sempurna ini. Sarapan kesukaan suamiku sudah terhidang di meja makan. Nasi goreng kecap dan telur ceplok serta segelas teh hangat adalah makanan yang selalu diminta Mas Hanif setiap pagi sebelum memulai rutinitasnya. "Mbak, nanti kalau Bapak tanya, bilang saya di kamarnya Ayra," ucapku pada Mbak Marni, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Mas Hanif di rumah ini. Wanita berusia empat puluh tahun itu bukan hanya membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi juga menjaga Ayra jika aku sedang ada keperluan di luar rumah. "Baik, Bu." "Kamu jangan dulu ke kamar Ayra. Temani Mas sarapan seperti biasanya." Mas Hanif tiba-tiba muncul dan memegangi lenganku. "Ayra belum mandi, Mas. Aku mau--" "Ayra masih tidur. Tadi Mas baru saja dari kamarnya," potong Mas Hanif. "Kamu temani Mas sarapan, ya. Sudah lama kita tidak sarapan bareng." Aku mengangguk lemah sebab tidak ingin berdebat. Mas Hanif menuntunku duduk di kursi bersebelahan dengannya. "Nasi goreng buatan kamu memang juara. Rasanya selalu ada yang kurang kalau Mas belum mencicipinya," pujinya sambil sesekali melirikku yang tengah memperhatikannya. "Kamu agak kurusan. Makan yang banyak, ya. Mas gak mau kalau kamu sampai sakit." Dia mengulurkan satu sendok berisi nasi goreng ke depan mulutku. "Biar Mas suapi. Bukankah dulu kamu paling suka kalau kita makan satu piring berdua?" ujarnya dengan tersenyum. Ya, dulu aku memang se-manja itu. Namun, kini rasanya aku malu saat mengingatnya karena bisa saja Mas Hanif merasa risih dengan sikapku itu. "Tidak usah, Mas. Aku belum ingin makan," tolakku seraya menepis halus sendok yang hampir menyentuh mulut. Tatapan Mas Hanif berubah sendu. Biarlah jika ia merasa tersinggung atas penolakanku barusan. Aku hanya tidak ingin ada kepura-puraan lagi di antara kami. "Kenapa kamu berubah?" lirihnya. "Mas merindukan Isma yang dulu. Isma yang manja tapi penuh perhatian. Bukan Isma yang selalu menolak dan menghindari Mas." "Isma yang dulu tidak akan Mas temukan lagi. Dia sudah pergi bersama kekecewaan yang Mas torehkan di hatiku." Sayangnya, kalimat itu hanya tersangkut di tenggorokan. Aku tidak cukup berani untuk mengatakan isi hati ini di depannya. "Nanti siang bawakan makan siang ke pabrik. Mas tunggu." Ia menggenggam jemariku. "Pulangnya kita mampir ke pusat perbelanjaan atau ke mana pun yang kamu mau. Kita nikmati waktu berdua. Biar nanti Mbak Marni yang menjaga Ayra," ujarnya dengan sorot penuh harap. "Aku sedang tidak ingin ke manapun, Mas. Aku hanya ingin di rumah bersama Ayra." Aku kembali menolaknya. "Isma, Mas mohon. Mari kita perbaiki semuanya. Kita mulai lagi dari awal. Hanya ada Mas, kamu, dan Ayra." Dengan cepat aku menepis genggaman tangannya. "Terlambat, Mas. Semuanya tidak akan sama lagi," tukasku seraya menatap kecewa padanya. "Cintamu bukan lagi milikku. Aku bukan wanita yang ada di hatimu. Percuma kita mencoba memperbaiki semuanya kalau pada kenyataannya aku ... bukan wanita yang kamu inginkan." "Apa maksudmu, Isma?" Mas Hanif kembali menarik tanganku saat aku hendak berdiri dan meninggalkannya. "Siapa bilang kamu bukan wanita yang Mas inginkan?" Aku tersenyum getir. Ia masih saja mengelak, mungkin karena ia tidak tahu aku sudah mendengar pembicaraannya dengan Mama. "Sebelum kamu bertanya seperti itu padaku, tanyakan pada hatimu, Mas. Apa benar aku wanita yang kamu inginkan untuk menjadi pendamping dan menemanimu seumur hidup, atau justru aku hanya wanita yang terpaksa kamu nikahi karena kasihan." Genggaman tangan Mas Hanif perlahan terlepas. Ia tertegun setelah mendengar ucapanku barusan. Lihatlah, Mas. Sesering apa pun mulutmu mengelak, tetapi kamu tidak akan bisa mengelabui hatimu sendiri. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN