"Biar Mas yang nyuci ini. Kamu istirahat saja, ya. Dari kemarin wajah kamu pucat banget."
Mas Hanif mengambil piring yang baru saja akan kucuci. Pria itu menatapku lekat, seakan ingin memastikan istrinya ini baik-baik saja. Mas Hanif memang tipe suami idaman setiap wanita. Bukan hanya parasnya yang tampan, usaha yang sukses, juga sikapnya yang penuh perhatian dan kelembutan, tetapi priaku ini juga tak segan membantu pekerjaan rumah dan itu menjadi nilai lebih di mataku.
Ah ... jangan-jangan Dania pun sebenarnya sudah jatuh cinta pada suamiku. Hanya saja, ia tidak berani mengakuinya sebab kami terikat perjanjian, padahal jika dilihat dari segi agama, tentu saja ia sangat berhak karena Mas Hanif juga suaminya.
"Sayang ... kok malah bengong?" Mas Hanif mengusap pipiku hingga aku terperanjat. Aku bergeser menjauhinya hingga ia menatapku sendu, seolah kecewa melihat reaksiku saat ia menyentuhku.
"Iya, Mas. Aku ke kamar dulu."
Aku meninggalkannya yang hampir saja membuka mulut, seperti hendak mengatakan sesuatu. Entahlah, semenjak pengakuannya malam itu, aku tidak nyaman berdekatan dengannya. Aku tidak ingin diabaikan lagi seperti yang sudah-sudah di saat dia sedang memikirkan Dania.
"Putrinya Bunda sudah bangun." Aku tersenyum gemas melihat Ayra yang menggeliat dengan mulut yang terbuka. "Mau mimi ya, Sayang?" Aku mengelus pipinya yang makin hari makin gembil. "Tunggu sebentar. Bunda bikinin dulu, ya."
Aku kembali ke dapur dengan membawa botol s**u milik Ayra. Ternyata Mas Hanif masih berada di sana dan baru saja selesai mencuci piring.
"Mau buat s**u untuk Ayra?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Biar Mas saja yang buat. Nanti Mas antarkan ke kamar."
"Gak usah." Aku refleks menyembunyikan botol s**u ke belakang tubuh. Entahlah, semenjak aku tahu ia mencintai Dania dan mengabaikan keberadaan Ayra, aku merasa Ayra hanyalah milikku. Aku takut suatu saat Mas Hanif mengambil anak itu dan dibawanya menemui Dania sebab wanita itu adalah ibu kandungnya.
Bukankah akan sangat menyedihkan jika aku harus kehilangan Ayra setelah kehilangan suamiku? Aku tidak ingin menjadi wanita menyedihkan yang dibuang karena tidak berguna. Andai aku berpisah dengan Mas Hanif, setidaknya ada Ayra yang akan menjadi penguat sekaligus penyemangat agar aku tetap bisa menjalani hidup dengan baik.
Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Mas Hanif, aku bergegas membuatkan s**u untuk Ayra dan membawanya ke kamar. Kukunci pintu agar suamiku tidak bisa masuk. Aku hanya ingin berdua dengan Ayra tanpa gangguan dari siapapun, termasuk Mas Hanif.
"Mimi dulu susunya ya, Sayang. Maaf Bunda agak lama." Kuangkat tubuh bayi berusia tiga bulan itu dan mulai menyusuinya. Mata ini tak bosan menatap wajahnya yang sangat cantik, mirip dengan Dania. Dia adalah pengobat dikala aku merasa sendirian. Ayra akan menjadi teman hidupku sampai aku tutup usia.
"Kamu milik Bunda. Hanya milik Bunda. Jangan pernah tinggalkan Bunda ya, Sayang. Suatu saat kita akan pergi dari sini dan hidup berdua. Bunda janji, akan membahagiakan Ayra dengan sekuat tenaga."
*********
Suara isakan yang terdengar memaksaku membuka mata. Kulihat Mas Hanif sedang duduk di atas sajadah dengan tangan yang menengadah. Sudah menjadi kebiasaannya bangun di sepertiga malam untuk menunaikan sholat Sunnah. Biasanya ia akan membangunkan aku dan kami beribadah bersama. Namun semenjak kepergian Dania, kebiasaan itu tidak pernah lagi kami lakukan.
Ah ... kenapa aku baru sadar sekarang. Kebiasaan manis yang sering kami lakukan perlahan mulai terabaikan setelah hadirnya Dania di antara kami.
Mas Hanif nampak khusyuk dalam doanya. Entah apa yang ia minta sampai ia menangis seperti itu.
Apa mungkin kamu sedang meminta pada Tuhan agar dipertemukan lagi dengan Dania, Mas? Apa sebesar itu cintamu hingga namanya yang kini kau sebut dalam doamu?
Aku meredam isakan dengan menutup mulut oleh selimut. Sakit sekali, Ya Allah! Sakit sekali saat melihat suamiku menangisi wanita lain.
Posisiku benar-benar telah tergeser oleh mantan madu yang lebih segalanya dariku.
"Sayang ...."
Mataku kembali terpejam saat Mas Hanif menghampiriku setelah selesai sholat. Aku berpura-pura tidur untuk menghindari pembicaraan dengannya.
Priaku memeluk tubuh ini dan mengecup kepalaku berkali-kali.
"Maaf. Maaf karena Mas tidak bisa menjaga hati ini hanya untukmu. Bantu Mas melupakan dia agar kamu kembali menjadi pemiliknya."
Bersambung.