Hanif
Isma Nur Hayya.
Wanita cantik yang kupinang tiga tahun lalu atas permintaan Mama. Wanita baik yang sangat menghormatiku sebagai imam tanpa pernah membantah apalagi meninggikan suara, bahkan di saat aku melakukan kesalahan besar padanya.
Hidup bersamanya menjadikanku merasa menjadi pria beruntung. Isma bukan hanya memiliki paras yang cantik, tetapi juga hati yang teramat baik. Aku yang awalnya tidak memiliki perasaan apa pun, perlahan mulai membuka hati untuknya.
Ya ... aku menikahinya tanpa cinta. Mama yang waktu itu mendesak agar aku menikahi Isma dengan alasan kasihan sebab wanita itu hidup sebatang kara, membuatku sulit untuk menolak. Aku mengabulkan permintaan Mama demi baktiku padanya, meski aku tahu Isma tidak akan pernah bisa memberiku keturunan akibat kecelakaan yang menimpanya hingga harus kehilangan rahim.
Dua tahun usia pernikahan kami, aku belum bisa mengartikan perasaanku padanya selain nyaman. Namun meski begitu, aku tetap berusaha menjadi suami yang baik dengan memperlakukan dia layaknya seorang suami kepada istri. Memberinya nafkah lahir maupun batin sebagai bentuk tanggung jawabku padanya.
Di tahun ketiga, usahaku ternyata tidak sia-sia. Aku mulai menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Pengabdiannya sebagai seorang istri telah menawan hati ini. Aku terpesona pada setiap tingkah laku dan tutur katanya.
Namun, di saat rasa itu mulai tumbuh, Mama justru memberi kami kejutan tak terduga. Ia membawa seorang gadis yang menawarkan diri untuk memberi keturunan pada keluarga kami dengan imbalan sejumlah uang untuk melunasi hutang-hutang orang tuanya.
Dania Larasati.
Gadis cantik yang ternyata adalah putri dari sahabat Mama. Gadis yang dengan rela menggadaikan harga dirinya demi bakti kepada orang tua yang sedang tertimpa musibah dan kesusahan.
Awalnya aku menolak permintaan Mama untuk menikahi Dania, apalagi dengan perjanjian yang menurutku sangat tidak adil bagi gadis itu. Ia harus kuceraikan setelah melahirkan anak bagi keluarga ini dan Isma yang akan menjadi ibu bagi anak tersebut.
"Aku gak bisa, Ma. Aku tidak ingin mempermainkan pernikahan, apalagi rencana ini akan menyakiti istriku," tolakku tepat di hadapan Dania. Gadis itu terus menunduk seraya meremas jemari lentiknya di atas pangkuan.
"Tidak ada jalan lain, Hanif. Kamu putra kami satu-satunya. Keluarga ini membutuhkan penerus dan kamu pun harus mempunyai keturunan. Soal Isma, kamu tidak perlu khawatir. Mama yang akan bicarakan ini baik-baik padanya. Mama yakin Isma pasti akan mengerti. Toh kamu menikahi Dania hanya sampai melahirkan, bukan untuk selamanya," ujar Mama kala itu.
Pada akhirnya, atas persetujuan Isma yang aku tahu tidak mudah baginya, aku menikahi Dania secara siri. Pernikahan sederhana yang berlangsung di rumah Dania hanya dihadiri oleh beberapa kerabat dekat dan tetangga di sana, dan setelahnya aku memboyong Dania ke rumahku bersama Isma tas persetujuan istri pertamaku tersebut.
Hidup satu atap dengan dua istri nyatanya sangat membuatku tidak nyaman, apalagi aku harus bersikap adil pada mereka. Melihat kecemburuan di mata Isma saat aku memperlakukan Dania sama dengan caraku memperlakukannya, membuat hatiku ikut merasakan sakit.
Aku merasa bersalah padanya, apalagi saat rasa ini dengan mudahnya tumbuh untuk istri keduaku.
Bersama Dania, aku merasakan hidupku lebih berwarna dengan tingkah manja dan malu-malu yang membuatku gemas dan ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya. Dania bukan hanya cantik, tetapi juga pandai memuaskanku dalam segala hal.
Katakanlah aku pria serakah yang ingin memiliki Isma dan Dania selamanya. Aku keberatan saat Dania melahirkan dan Mama memintaku untuk menceraikannya.
"Tidak bisa begitu, Hanif! Kita sudah menandatangani perjanjian dan kamu harus tetap menceraikan Dania. Pikirkan perasaan Isma kalau dia sampai tahu kamu menolak menceraikan Dania!" ujar Mama kala itu, tepat satu bulan setelah Dania melahirkan.
"Tapi aku mencintai Dania, Ma. Aku tidak bisa kehilangan dia," lirihku. "Apa Mama tidak pernah berpikir ini sangat tidak adil untuknya? Setelah melahirkan dan memberi keturunan bagi keluarga ini, kita membuatnya begitu saja."
"Tidak ada yang namanya tidak adil. Dania dengan sadar menawarkan diri dan meminta imbalan pada kita. Justru yang harus kamu pikirkan itu perasaan Isma. Akan sangat tidak adil baginya di saat dia berkorban perasaan demi mewujudkan keinginan kita untuk memiliki penerus, justru kamu balas dengan menikamnya dari belakang."
Perkataan Mama membuatku tak bisa berkutik. Pada akhirnya dengan berat hati aku melepaskan Dania dan membiarkannya pergi dari rumah ini, tepat tiga bulan setelah melahirkan.
"Jangan pergi. Mas tidak bisa kehilanganmu," bisikku seraya memeluk erat tubuhnya. Sehari sebelum aku menjatuhkan talak, aku meminta izin pada Isma untuk menghabiskan malam bersama Dania.
Istriku mengizinkan meski dengan wajah murung. Aku paham, ia pasti tidak rela aku menikmati saat-saat terakhir bersama Dania.
"Tugasku sudah selesai, Mas. Aku harus pergi agar kamu bisa melanjutkan hidup bersama Mbak Isma tanpa ada aku di antara kalian. Titip Ayra. Aku yakin Mas dan Mbak Isma bisa menjadi orang tua yang baik untuk putri kita."
Aku mempererat pelukan. Sesak rasanya membayangkan hari-hariku akan teras hampa tanpa dirinya.
"Sebelum kamu pergi, Mas ingin Ki menjawab pertanyaan Mas dengan jujur." Tanganku membingkai wajah cantiknya yang sudah berlinang air mata. "Apa kamu mencintai Mas?"
Dania terisak. Aku tahu pasti ia merasakan perasaan yang sama denganku.
"Katakan, Sayang," bisikku tak sabar.
Ia mengangguk lemah. Tangisnya pecah bersamaan dengan jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Ya ... aku mencintai Mas Hanif."
Bersambung.