*HANIF*
Setelah kepergian Dania, hidupku benar-benar terasa hampa. Tidur tidak pernah nyenyak, makan tak enak, bekerja pun rasanya malas. Aku telah kehilangan gairah hidup tanpa dirinya.
Keberadaan Ayra tidak bisa mengobati rasa kehilangan atas bundanya. Justru dengan menatap wajah putriku itu, aku makin teringat Dania sebab wajah mereka yang sangat mirip. Karena hal itulah aku jarang sekali menggendong atau bahkan sekedar menemaninya tidur. Aku takut rasa kehilangan ini kian bertambah dan sakitnya hati ini kian terasa.
Perubahan sikapku tentunya disadari oleh Isma. Sekuat apa pun aku mencoba fokus hanya padanya dan Ayra, bayang wajah Dania tidak pernah hilang dari ingatan. Aku ingin menghapus bayang-bayang itu, tetapi sangat sulit. Makin aku ingin melupakan, makinlah pula rindu ini bertambah kadarnya.
Ya ... aku menyadari rasa cinta untuk Dania lebih besar, dan nama Isma tetap menempati sebagian kecil di sana.
"Apa Mas mencintainya? Apa Mas menyesal melepasnya?" Pertanyaan Isma malam itu membuatku tak bisa mengelak. Terpaksa aku berkata jujur meski hati ini sakit melihat luka di wajah istriku.
"Maaf."
Satu kata yang hanya bisa aku ucapkan kala itu menjadi jawaban atas pertanyaan Isma. Ia menangis, dan menolak ketika aku ingin menyentuhnya. Bahkan semenjak saat itu sikap Isma berubah. Ia menjadi pendiam dan sering menghindariku.
"Jangan dulu ke kamar Ayra, kamu temani Mas sarapan," ucapku pagi itu saat ia lagi-lagi mencoba menghindariku.
Isma menurut, meski dengan wajah yang nampak enggan.
Hati ini menghangat saat ia menemaniku sarapan. Aku berusaha mencairkan suasana dengan mengeluarkan pujian yang dulu sangat ia sukai, tetapi sayang kali ini responnya biasa saja. Bahkan ia menolak saat aku ingin menyuapinya, hal manis yang sering kami lakukan sebelum kehadiran Dania.
Respon yang ditunjukkan Isma membuatku sakit. Apa pun yang aku lakukan seolah tidak berarti lagi di matanya setelah pengakuanku malam itu.
Aku merindukan Isma yang dulu. Isma yang murah senyum dan tak jarang bermanja padaku. Perubahan sikap istriku membuatku sadar bahwa aku telah menorehkan kekecewaan yang teramat besar untuknya. Aku ingin kami kembali ke masa-masa dulu, tetapi sayang akan sangat sulit karena ia yang terlanjur menutup diri dan aku yang belum bisa melupakan Dania sepenuhnya.
Dalam sujudku, aku meminta pada Tuhan agar meluluhkan hati istriku. Aku juga memohon agar rasa untuk Dania secepatnya sirna dan aku bisa kembali pada Isma seutuhnya.
Maafkan aku, istriku. Luka yang aku berikan untukmu terlalu dalam. Keikhlasan dan pengabdianmu aku balas dengan pengkhianatan. Tangis dan diammu menyadarkanku bahwa aku adalah pria egois yang mementingkan perasaan sendiri.
"Jangan sakiti istrimu, Hanif. Kamu tahu betul kita ini keluarga satu-satunya yang ia miliki. Kamu tempatnya berlindung. Akan sangat tidak adil kalau kamu sampai mengabaikannya hanya karena orang baru yang membuatmu tergila-gila. Lupakan Dania! Mama sudah menuruti keinginanmu untuk memastikan dia dan keluarganya baik-baik saja. Sekarang fokus saja pada anak dan istrimu. Bahagiakan mereka!"
Perkataan Mama hari itu membuat mataku makin terbuka. Isma lebih membutuhkanku daripada Dania yang masih memiliki keluarga. Mendengar tentang mantan istriku yang baik-baik saja, hati ini merasa lega. Mungkin sudah saatnya untuk fokus memperbaiki hubunganku dengan Isma dan melupakan Dania berserta segala kenangan tentangnya.
Ya ... aku akan mencoba meraih hati Isma. Aku akan berusaha mengendalikan hati ini agar tidak lagi merindukan Dania dan mengisinya kembali dengan nama istriku.
********
"Sayang ...."
Aku terkejut dengan kedatangan Isma ke ruanganku. Foto Dania yang tak sengaja aku temukan di laci meja kerjaku terjatuh begitu saja.
Ia masih mematung. Gegas aku menghampiri dan menuntunnya ke dalam, meski dengan gesture yang sedikit gugup.
"Mas kira kamu tidak akan datang."
Isma masih bergeming. Matanya tak lepas dari sofa yang dulu sering kami jadikan tempat bercengkrama saat ia mendatangiku di sini. Tempat yang juga pernah mempunyai kenangan tersendiri dengan Dania tanpa sepengetahuan istriku ini.
"Hei, kok melamun." Kuusap pipinya dan ia terperanjat. Isma yang sekarang memang se-sensitif itu dengan sentuhanku.
Lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan saat ia tidak bisa menemaniku makan siang. Saat aku membujuknya, justru nama Dania yang selalu ia ungkit hingga rasa bersalah padanya kian bertambah.
"Katanya, seseorang akan terasa sangat berharga setelah kita kehilangan dia. Mungkin itu juga yang Mas rasakan setelah kepergian Dania."
"Isma, tolong ...."
Aku memelas. Sakit rasanya ketika melihat keputusasaan di wajahnya.
"Tapi aku ragu. Apa Mas juga akan merasakan hal yang sama jika suatu saat aku yang pergi?"
"Kamu tidak akan ke mana-mana!" Aku refleks memeluknya. Ucapan Isma membuatku takut akan kehilangan untuk yang kedua kalinya dan aku tidak akan pernah sanggup. Cukup Dania yang pergi. Jangan sampai aku kehilangan lagi wanita yang kucintai.
"Maafkan Mas, Isma. Mas sedang berusaha melupakan Dania dan kembali padamu. Tolong jangan ucapkan kata pisah karena sampai kapanpun Mas tidak akan melepaskanmu."
Aku membatin seraya memeluk erat tubuhnya.
********
"Pak. Supplier benang kita mengalami kendala untuk memenuhi permintaan dengan jumlah yang kita butuhkan, padahal proses produksi harus tetap berjalan. Sepertinya kita harus mencari tambahan dari supplier lain agar proses produksi bulan ini tidak terhambat."
Pagi ini, aku mendapat laporan dari salah satu bawahanku. Kami harus bergerak cepat agar tidak ada kendala yang bisa mempengaruhi proses produksi dan berimbas pada terhambatnya pengiriman barang bulan ini. Kebetulan aku mempunyai kenalan seorang teman yang juga berkecimpung di bidang ini. Aku harus menemuinya langsung untuk meminta rekomendasi supplier benang yang kualitasnya bagus.
Kami mengadakan janji temu di Jakarta. Terpaksa aku harus meninggalkan anak dan istriku selama dua hari. Andai saja Ayra sudah besar, aku pasti akan mengajak mereka sekalian liburan di sana.
"Mas pergi dulu. Baik-baik di rumah dan jangan berpikiran yang macam-macam. Kamu akan tetap menjadi rumah tempat Mas pulang," ucapku pada Isma sebelum memasuki mobil. Meyakinkannya akan terus aku lakukan agar ia kembali percaya padaku. Penolakannya semalam memang sempat membuatku kecewa. Namun, aku sadar apa yang ia lakukan sebagai bentuk ungkapan Kekecewaannya padaku.
Hari pertama di Jakarta aku isi dengan beberapa kali pertemuan dan syukurnya berjalan lancar. Aku sudah mendapat supplier baru dan kami akan mulai bekerjasama.
Hari kedua aku isi dengan mengelilingi kota Jakarta dan mencari buah tangan untuk anak dan istriku. Aku mampir ke salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal. Sepertinya membelikan beberapa helai pakaian untuk Ayra dan Isma bisa menambah koleksi buah tangan bagi mereka setelah tadi pagi aku mampir ke toko oleh-oleh makanan khas di kota ini.
Mata ini terpaku pada gaun tidur berbahan satin yang terpajang di salah satu Mannequin. Gaun tersebut berwarna maroon dengan panjang di atas paha. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan Isma pasti sangat cantik mengenakan gaun ini.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Aku terpaku mendengar suara itu. Senyum di bibirku memudar bersamaan dengan detak jantung yang tiba-tiba menggila. Perlahan, aku memutar tubuh agar bisa memastikan siapa wanita yang berada di belakangku dan setelahnya, mata ini membola, pun dengannya yang nampak terkejut melihat keberadaanku di depannya.
"Mas Hanif," lirihnya.
"Dania ...."
Bersambung.