"Besok ada pertemuan dengan supplier benang di Jakarta. Mungkin Mas akan menginap sekitar dua malam di sana." Mas Hanif menghampiriku yang baru saja selesai menidurkan Ayra di box bayi.
"Bisa minta tolong siapkan beberapa potong pakaian ganti untuk di sana?" sambungnya ketika kami sudah berdiri berhadapan.
"Iya, nanti aku siapkan."
"Terima kasih," lirihnya seraya mengulurkan tangan dan mengelus pipiku. Jarak wajahnya kian dekat hingga aku bisa merasakan hangat napasnya yang dulu selalu membuatku candu.
"Mas kangen," bisiknya. Aku paham malam ini ia sedang menginginkanku. "Dua hari di sana, Mas pasti sangat merindukanmu." Tangannya mulai merengkuh pinggangku hingga tubuh kami saling merapat.
Aku memejamkan mata saat bibirnya mulai bergerilya. Berusaha menikmati sentuhan yang sudah cukup lama tak aku dapatkan darinya, tetapi sayang kini rasanya hambar.
"Kenapa?" Mas Hanif menatapku kecewa ketika tanganku mendorong pelan dadanya.
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa," lirihku seraya melangkah mundur. Bayang saat ia mencumbu Dania tiba-tiba saja melintas dan aku takut, ia membayangkan diri ini sebagai mantan istri keduanya ketika kami memadu kasih.
Mas Hanif mengusap kasar wajahnya. Sangat kentara tengah menahan kesal sebab keinginannya tidak dapat aku penuhi.
"Kenapa jadi seperti ini, Isma?" keluhnya. "Kenapa kamu selalu menolak Mas? Tidak bisakah kita memulai semuanya lagi dari awal?" Ia menatapku sendu.
"Bagaimana kalau pertanyaannya aku balik? Tidak bisakah Mas melupakan Dania agar pernikahan kita bisa seperti dulu?"
Ia terperangah. Aku tersenyum getir melihatnya yang bergeming, tidak bisa menjawab pertanyaanku.
"Tidak bisa, kan? Lantas bagaimana aku akan melayanimu seperti biasa sedangkan yang ada di pikiran dan hatimu bukan aku!"
Aku memekik. Hampir saja lepas kendali karena ia masih saja bersikap seolah pernikahan yang penuh kebohongan ini masih baik-baik saja seperti dulu.
"Kenapa kamu selalu menyimpulkan sesuatu sendiri? Mas tidak pernah memikirkan dia saat bersamamu."
"Tapi di belakangku Mas diam-diam masih menyimpan fotonya," selaku dan dia bungkam. "Sudahlah, Mas. Tidak perlu mengelak hanya untuk menyenangkanku." Kuhela napas panjang sebelum melangkah menuju lemari dan mengambil beberapa potong pakaian Mas Hanif dari sana. Menghindarinya adalah cara yang tepat agar kami tidak terlibat perdebatan lebih lama.
"Maaf." Pergerakanku terhenti. Mas Hanif memeluk tubuhku dari belakang. "Mas tidak akan memaksa kalau kamu tidak berkenan," ucapnya.
"Sudahlah, Mas. Lebih baik kamu istirahat. Besok harus berangkat pagi-pagi, kan?"
Ia mengangguk.
"Tidurlah. Aku akan menyelesaikan ini dulu."
Ia mengecup kepalaku sebelum beranjak menuju tempat tidur. Priaku terus memperhatikan diri ini yang pura-pura abai dengan tatapannya.
Maaf, Mas. Aku tidak bisa bersikap baik dan berpura-pura tidak mengetahui apa pun demi menyenangkanmu. Kekecewaan yang aku rasa setelah semua fakta terungkap membuatku sulit untuk menerima kenyataan pahit ini dan berimbas pada pelayananku padamu.
Maafkan diri ini yang tidak bisa menjadi istri sempurna bahkan di saat-saat terakhir sebelum aku pergi dari kehidupanmu.
*******
"Putri Ayah sudah cantik, wangi lagi. Baik-baik sama Bunda ya, Sayang. Nanti Ayah bawakan oleh-oleh buat Ayra sama Bunda."
Mas Hanif menggendong Ayra yang baru saja selesai aku mandikan. Pria yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya itu tumben sekali menemui putrinya sebelum berangkat, padahal semenjak kepergian Dania, ia cenderung abai pada Ayra.
"Cepat besar ya, Sayang. Nanti Ayah sama Bunda ajak kamu jalan-jalan," katanya sambil melirikku. "Ayra bilangin juga sama Bunda jangan cemberut terus. Ayah kangen senyumannya yang dulu," sambungnya.
Aku memalingkan wajah. Tidak ingin terhanyut dengan rayuan yang biasanya membuatku luluh.
"Ayah sayang sama Ayra," bisiknya sebelum menidurkan Ayra kembali di box bayi kemudian menghampiriku.
"Mas berangkat dulu," ucapnya.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai di tujuan."
Mas Hanif menggandeng lenganku sampai ke depan rumah dan kali ini aku tidak menolak. Koper berisi pakaian miliknya sudah lebih dulu dibawa oleh Pak Kardi, sopir yang cukup lama bekerja pada mertuaku.
"Jaga diri kamu baik-baik. Jangan berpikiran yang macam-macam. Kamu akan tetap menjadi rumah tempat Mas pulang," bisiknya sebelum mengecup keningku cukup lama.
Tak terasa mata ini tiba-tiba saja mengembun. Entah mengapa hatiku rasanya berat melepas kepergiannya kali ini.
Kutatap punggung tegap itu hingga hilang di balik pintu mobil. Ia melambaikan tangan sampai kendaraan yang ditumpanginya menghilang dari pandangan.
"Selamat jalan, Mas," lirihku sebelum kembali ke dalam rumah dengan perasaan yang entah mengapa mendadak gelisah.
*********
"Kamu bisa keluar? Aku mendapat kabar dari orang yang kita tugaskan mencari Dania. Dia meminta kita menemuinya di kafe Mentari siang ini."
Telepon dari Syafa pagi tadi membuatku bergegas mempersiapkan diri. Sudah jam sebelas dan aku tidak boleh terlambat sampai di sana.
Beberapa kali notifikasi pesan masuk dari Mas Hanif aku abaikan sebab tidak ada waktu untuk membalasnya. Semalam ia memberi kabar bahwa tidak bisa pulang hari ini karena masih ada urusan lain. Jujur aku kecewa, tetapi aku memilih mengiyakan saja.
Setelah menitipkan Ayra pada Mbak Marni, aku berangkat menuju tempat yang disebutkan Syafa. Tenyata sahabatku dan pria bernama Ilham yang kami tugaskan mencari Dania sudah lebih dulu berada di sana.
"Maaf aku terlambat." Aku langsung duduk di hadapan mereka.
"Gak papa. Kami juga baru sampai beberapa menit yang lalu. Mau pesan minuman dulu?" tawar Syafa.
"Gak usah. Aku gak bisa lama-lama. Jadi bagaimana? Anda sudah menemukan tempat tinggal Dania yang sekarang?" tanyaku pada Ilham karena sudah tak sabar ingin segera menemui mantan maduku itu.
"Sudah." Dia mengangguk.
"Di mana? Bisa berikan alamatnya sekarang juga?"
Ilham merogoh kertas dari saku jaket yang ia kenakan, kemudian meletakkan benda tersebut di depanku.
"Alamatnya tertera di sana. Bukan hanya alamat rumah, tapi juga tempat dia bekerja."
Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mengambil kertas tersebut dan membacanya.
Ya Allah!
Dadaku bergemuruh hebat. Ingatan ini kembali melayang pada pesan Mas Hanif yang ia kirim tadi malam.
[ Mas gak jadi pulang besok, masih ada urusan yang harus diselesaikan di sini ]
"Kamu baik-baik saja?" Syafa menghampiriku dengan raut khawatir. Mungkin karena aku tiba-tiba saja menatap kosong benda di tanganku. "Ada apa? Kamu tahu alamat ini?" tanyanya seraya mengusap bahuku.
Aku menggeleng lemah. Kuletakkan kembali kertas itu di atas meja.
"Tidak tahu." Aku tertawa getir. Berusaha menyembunyikan kecewa dan amarah yang bergumul di d**a.
"Tapi aku yakin, Mas Hanif sudah tahu lebih dulu."
Bersambung.