Bab 5

952 Kata
"Mbak, saya titip Ayra. Mungkin saya pergi agak lama soalnya mau sekalian belanja bulanan. Mbak sudah hafal takaran susunya, kan?" "Iya, Bu. Saya sudah hafal sesuai yang ibu ajarkan waktu itu." "Syukurlah. Kalau begitu saya berangkat dulu," pamitku pada Mbak Marni yang mengantarku sampai ke depan pintu. Hari ini aku akan menemui Syafa yang pagi tadi tiba-tiba saja menghubungiku untuk mengabarkan bahwa ia sudah menemukan orang yang bisa kami mintai bantuan untuk mencari Dania. Namun sebelum menemui sahabatku, aku mampir dulu ke pabrik untuk membawakan makan siang sesuai permintaan Maaf Hanif tadi pagi. Ya ... pada akhirnya aku tidak bisa menolak permintaan suamiku setelah melihat raut kecewa yang ia tunjukkan. Anggap saja apa yang aku lakukan ini sebagai salah satu bakti seorang istri di saat-saat terakhir sebelum tugasku selesai. Pabrik tekstil milik keluarga Mas Hanif cukup besar dengan jumlah karyawan yang sudah mencapai ribuan orang. Bahkan saat ini sudah ada cabang kedua di kota Majalengka yang baru saja selesai dibangun beberapa bulan yang lalu. Dulu, seringkali aku datang ke sini untuk membawakan makan siang atas inisiatif sendiri. Mas Hanif yang nampak terkejut akan menyambutku dengan pelukan hangat dan berterima kasih sebab istrinya ini sudah mau repot-repot mengantar makanan untuknya. Ah ... mengingat kenangan manis itu membuatku tak sadar menyunggingkan senyum. Perlakuan Mas Hanif yang tak segan menunjukkan perhatian padaku di depan karyawannya menjadikan istrinya ini menuai pujian karena mendapatkan suami yang sempurna seperti dirinya. "Selamat siang, Bu Isma. Mau antar makan siang untuk Bapak?" sapa salah seorang karyawati yang aku kenal bernama Mawar. Ia adalah Staf Pemasaran yang cukup akrab denganku. Tak jarang ia menemaniku jika aku sedang menunggu Mas Hanif yang tengah meeting dan kami akan berbincang tentang apa saja, itupun jika ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. "Iya. Bapaknya ada, kan?" tanyaku dengan membalas senyumnya seramah mungkin. "Bapak ada kok, Bu. Silakan ibu langsung ke ruangannya saja." Aku mengangguk dan berpamitan padanya. Tepat di lorong menuju ruangan Mas Hanif, aku kembali berpapasan dengan dua orang karyawati yang juga tersenyum ramah padaku. Awalnya aku hanya membalas senyuman mereka, meski kami tidak bertegur sapa. Namun, saat bisik-bisik di antara mereka mulai terdengar, aku memperlambat langkah sebab penasaran ketika nama Dania meluncur dari mulut salah satunya. "Dari kabar yang aku dengar sekarang Bu Isma sudah jadi istri satu-satunya lagi. Pak Hanif menceraikan Bu Dania setelah melahirkan anak mereka," katanya. "Iyakah? Terdengar jahat gak sih? Setelah memberi mereka keturunan lalu dibuang begitu saja," timpal yang lain. "Entahlah. Kita kan tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Aku hanya menyayangkan saja. Padahal Bu Dania juga baik, cantik lagi. Aku pernah bertemu dengannya waktu dia ke sini sama Pak Hanif." Satu kenyataan lagi yang membuatku tercengang. Ternyata Mas Hanif pernah mengajak Dania ke sini tanpa sepengetahuan diriku. Kuhela napas panjang dan menekan d**a yang tiba-tiba terasa sesak. Kenapa banyak sekali kebohongan yang kamu sembunyikan dariku, Mas? Bahkan kamu berani membawa Dania ke sini dan memperkenalkan dia sebagai istri keduamu. Bukankah itu artinya kamu sebenarnya ingin mereka mengakui bahwa dia juga berhak atas dirimu? Ah ... aku yang terlalu naif atau memang kalian yang terlalu lihai bersandiwara hingga bisa menyembunyikan fakta bahwa kalian sering bersama di luar rumah tanpa sepengetahuan dariku! Tak ingin mendengar pembicaraan mereka lebih jauh, aku mempercepat langkah agar segera sampai di ruangan suamiku. Kuatur napas yang sedikit memburu sebelum mengetuk pintu, meski dengan tangan yang terasa lemas. Kenyataan pahit yang aku ketahui secara bertubi hampir saja membuatku lepas kendali. Ingin rasanya aku berteriak di depan suamiku dan mengatakan betapa jahatnya ia padaku. "Masuk!" Terdengar suara Mas Hanif dari dalam sana. Begitu pintu terbuka, ia terkejut melihatku berdiri di depan ruangannya. "Sayang ...." Ia berdiri dan menghampiriku yang mematung. Kaki ini rasanya sulit digerakkan, mengingat Dania juga pernah berada di ruangan ini dan entah apa yang mereka lakukan. "Mas kira kamu tidak akan datang." Ia merengkuh bahu dan menuntunku masuk. Kutatap sekeliling ruangan yang cukup lama tidak aku datangi. Mata ini terpaku pada sofa yang dulu menjadi tempatku bercengkrama dengan Mas Hanif tiap kali aku mengunjunginya di sini. Prasangka buruk tiba-tiba saja muncul. Apakah Mas Hanif dan Dania juga pernah melakukan hal yang sama di tempat ini? "Hei, kok melamun?" Mas Hanif mengusap pipiku hingga aku terperanjat. "Eh, ya. Maaf. Ini aku bawakan makan siang sesuai permintaan Mas." Aku menunjukkan paper bag berisi makanan untuknya. "Tapi aku tidak bisa lama. Aku minta izin untuk bertemu dengan Syafa, kami sudah janjian." Kulihat senyum Mas Hanif memudar setelah mendengar kalimat terakhirku. "Kamu tidak mau menemani Mas makan siang dulu?" lirihnya dengan menatap sendu. Aku menggeleng. "Maaf, Mas. Aku sudah terlanjur janji sama Syafa." Ia menyimpan paper bag yang kuserahkan ke atas meja. Tubuh tegap itu kembali menghadapku dengan sorot kecewa. "Mas kira siang ini kita bisa menghabiskan waktu berdua. Mas kangen masa-masa seperti dulu," ucapnya. Aku menampilkan senyum semanis mungkin. Kuusap rahang tegas priaku dengan tangan yang sedikit gemetar. "Katanya, seseorang akan terasa sangat berharga setelah kita kehilangan dia," lirihku. Mata kami beradu tatap dan kali ini aku tidak menghindarinya. "Mungkin seperti itulah yang Mas rasakan setelah Mas kehilangan Dania." Suaraku tercekat. Mati-matian kutahan air mata yang hampir tumpah. "Isma, tolong jangan ...." "Tapi aku ragu, Mas." Kuletakkan telunjuk di bibirnya. "Andai suatu saat aku pergi ... apa kamu juga akan merasa kehilangan yang sama seperti saat ini?" "Kamu tidak akan kemana-mana!" Dalam sekali sentakan, tubuhku berada dalam pelukannya. "Jangan bicara yang tidak-tidak, Isma. Sampai kapanpun kamu harus tetap di samping Mas," bisiknya. Aku tersenyum getir. Andai saja kalimat itu ia katakan sebelum aku mengetahui semuanya, mungkin aku akan merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. Namun sayang, setiap kalimat yang meluncur dari mulut suamiku saat ini terdengar bak bualan semata, apalagi setelah mata ini tak sengaja melihat foto Dania yang terjatuh di bawah meja kerjanya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN