HANIF
"Dania ...."
Aku menggumamkan namanya bersamaan dengan hati yang berdesir. Tatapan kami bertemu dan saling mengunci beberapa saat sebelum ia memalingkan wajah dan menghapus cairan bening yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
Andai saja tidak ingat akan status kami yang sudah bukan siapa-siapa, ingin sekali aku memeluk tubuh yang terlihat lebih kurus itu untuk mencurahkan rindu yang selama ini tertahan dan sangat menyiksa.
"A-apa kabar, Mas?" tanyanya terbata. Wajahnya kembali menghadap ke arahku.
"Baik. Kamu sendiri bagaimana?" Suaraku sedikit bergetar. Ah ... sulit sekali untuk bersikap biasa saja di depannya.
"Aku juga baik." Matanya memperhatikan sekeliling sebelum kembali bertanya. "Bagaimana kabar Mbak Isma dan Ayra?" sambungnya terdengar ragu. Sepertinya ia mengira keberadaanku di sini bersama Isma dan putri kami.
"Mereka juga baik."
Hening.
Baik aku maupun Dania sama-sama terdiam. Dari gesture tubuhnya aku bisa membaca bahwa ia sangat tidak nyaman berhadapan denganku.
"Kamu kerja di sini?" Aku kembali membuka percakapan setelah beberapa menit saling diam.
"Ya. Aku bekerja di sini." Ia mengangguk dan tersenyum. Hatiku menghangat melihat senyum manis yang selalu aku rindukan hampir di setiap malam hingga terbawa ke alam mimpi.
"Kalau begitu aku permisi, Mas. Aku harus melayani pembeli yang lain." Dania melangkah mundur dan hampir membalikkan badan, tetapi dengan sigap aku menahan lengannya.
"Tunggu, Dania!"
Ia kembali menoleh dengan tatapan bertanya.
"Masih ada yang ingin Mas bicarakan denganmu," ucapku sedikit memelas.
Dania menepis tanganku yang masih memegangi lengannya.
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Aku harus kerja."
"Dania!"
Ia mempercepat langkah dan meninggalkanku. Ingin kukejar, tetapi ini tempat umum dan aku tidak ingin menimbulkan masalah yang bisa berimbas pada pekerjaannya.
Bahuku terkulai lemas. Pada akhirnya aku memutuskan menunggu di luar Mall sampai jam kerjanya selesai. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan dan aku tidak akan pulang sebelum bisa berbicara dengannya, terutama tentang alasan Dania serta orang tuanya yang memilih meninggalkan rumah dan pindah ke Jakarta.
"Maafkan Mas, Isma," gumamku setelah memutuskan menunda kepulangan sampai besok. Rasa bersalah padanya makin bertambah, tetapi rasa penasaran untuk mengetahui kehidupan Dania yang sekarang, membuatku mengesampingkan rasa itu untuk sementara waktu.
Cukup lama aku menunggu Dania sampai akhirnya mata ini menangkap sosoknya yang baru saja keluar bersama wanita yang aku tebak adalah teman kerjanya. Tak ingin membuang kesempatan, kulajukan mobil dan berhenti tepat di depan mereka.
"Mas Hanif?" Ia memekik. Mungkin tidak pernah mengira aku akan menunggunya di sini.
"Kamu mau pulang, kan? Mas antar, ya. Sekalian Mas ingin bertemu dengan orang tuamu," tawarku.
"Tidak usah, Mas. Aku bisa naik angkutan umum," tolaknya.
"Dania, Mas mohon. Mas hanya ingin bertemu dengan ayah dan ibumu. Mas belum sempat meminta maaf pada mereka." Aku memelas. Setelah menjatuhkan talak, aku memang belum sempat berbicara dengan orang tua Dania sebab Mama melarangku menemui mereka.
"Mas Hanif tidak perlu meminta maaf. Apa yang terjadi pada kita sudah sesuai kesepakatan dan orang tuaku mengetahuinya. Tolong jangan lagi membahas masa lalu. Mas fokus saja pada Mbak Isma dan Ayra."
Dania meninggalkanku yang hampir saja membuka mulut. Aku ingin mengejar dan menahannya, tetapi ia keburu naik angkutan umum.
Shit!
Aku belum ingin menyerah. Aku bergegas memasuki mobil dan mengikuti angkutan umum yang ditumpangi Dania.
Katakanlah aku sudah gila karena mengejar wanita yang bukan siapa-siapa lagi bagiku. Namun, rasa penasaran begitu kuat sebab aku yakin kehidupan mereka tidak baik-baik saja seperti yang Mama katakan. Tubuh Dania yang makin kurus sebagai bukti bahwa selama ini ia menderita setelah berpisah denganku.
Angkutan umum itu berhenti tepat di depan sebuah gang. Dania turun di sana dan aku bergegas mengikutinya dengan tetap menjaga jarak. Ibunya Dania menyambut kedatangan putrinya di teras rumah dengan raut gelisah. Hatiku terenyuh melihat rumah tempat tinggal mereka yang teramat sederhana.
"Ada apa, Bu?" Kudengar Dania bertanya dengan nada panik.
"Ayahmu, Nia. Penyakitnya kambuh lagi."
"Ya Allah! Ayo kita lihat, Bu."
Dania dan ibunya memasuki rumah. Aku yang mendengar percakapan mereka tidak bisa diam saja. Sepertinya mereka sedang membutuhkan bantuan.
"Ya Allah, Ayah! Kita ke rumah sakit, ya." Suara Dania terdengar dari dalam kamar.
"T-tapi biayanya gimana, Nia?"
"Ibu gak usah memikirkan itu dulu. Yang penting Ayah segera ditangani. Ayo, Bu. Bantu aku memapah Ayah."
"Biar Mas bantu." Aku menerobos masuk ke kamar. Mengabaikan raut terkejut di wajah mereka.
"Nak Hanif?"
Aku menoleh dan tersenyum.
"Iya, Bu. Saya Hanif. Izinkan saya membantu kalian membawa Ayah ke rumah sakit." Tatapanku beralih pada Dania yang tertegun. Pastilah masih syok dengan kedatanganku yang tiba-tiba. "Ayo, kita harus bergegas."
Seakan tersadar, Dania dengan sigap membantuku memapah ayahnya, sedangkan mantan ibu mertuaku mengikuti kami dari belakang.
Di sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka suara. Hanya aku yang sesekali bertanya ke mana arah rumah sakit yang akan kami tuju.
Sesampainya di sana, Ayah Hardi langsung di bawa ke ruang tindakan. Dania dan ibunya duduk di kursi tunggu dengan raut cemas dan aku memperhatikan mereka sembari berdiri di dekat pintu ruang IGD.
Benar dugaanku. Kondisi mereka tidak baik-baik saja seperti yang Mama katakan. Entah apa maksud beliau hingga tega membohongi putranya ini. Namun, aku tidak bisa menyalahkan Mama. Bisa jadi ia ingin agar aku tidak selalu mencemaskan Dania dan lebih fokus pada Isma.
Kondisi Ayah Hardi dinyatakan kritis. Mantan Ayah mertuaku tersebut harus dirawat di ruang ICU. Tanpa ragu, aku meminta pada Dokter untuk memberikan perawatan terbaik dan soal biaya, aku yang akan menanggungnya.
"Mas hanya ingin menolong kalian, tolong jangan ditolak," ucapku pada Dania ketika ia melayangkan tatapan protes padaku.
"Sebaiknya Mas pulang. Kasian Mbak Isma dan Ayra, pasti mereka menunggu Mas di rumah," ucapnya saat aku memilih menemaninya di rumah sakit.
"Tidak apa. Mas ingin memastikan kondisi ayahmu baik-baik saja dan setelah itu baru kembali ke Bandung. Lagipula Mas sudah memberitahu Isma kalau Mas tidak jadi pulang besok," terangku.
Ya, aku memberitahu Isma lewat pesan yang baru saja aku kirimkan padanya. Isma sudah membacanya, tetapi ia tidak membalas.
Semalaman aku berada di rumah sakit meski Dania lebih sering mengabaikan keberadaanku. Aku paham ia tidak nyaman, apalagi status kami yang sudah bukan suami istri lagi.
"Mas Hanif, aku mohon pulanglah. Aku tidak ingin menyakiti Mbak Isma lagi kalau dia sampai tahu Mas berada di sini bersamaku," ucapnya saat aku bersikeras belum ingin pulang, padahal lagi-lagi aku mengingkari janji pada Isma.
"Apa kamu tidak merindukan Ayra? Kamu tidak merindukan putri kita?" Aku mengalihkan pembicaraan. Sejujurnya aku masih berat untuk meninggalkannya, apalagi dalam kondisi seperti ini.
"Ayra bukan putriku, tapi putrinya Mbak Isma." Dania memalingkan wajah. Menyembunyikan air mata yang mulai merebak.
"Jangan membohongi diri sendiri, Dania. Mas tahu kamu pasti merindukan Ayra." Aku memberanikan diri memegang bahu kurus itu dan membalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
"Jujurlah sama Mas. Kamu tersiksa berjauhan dengan putri kita, kan?" desakku seraya menatap lekat wajahnya.
Tangis Dania akhirnya pecah. Tanpa pikir panjang, aku memeluknya erat dan mengusap punggungnya. Buncahan bahagia memenuhi rongga d**a. Akhirnya ... aku bisa mendekap wanita yang selama ini aku rindukan dan menghidu aroma tubuhnya.
"Mas merindukanmu, Nia. Selama ini Mas tidak bisa melupakanmu. Hidup Mas hampa tanpamu." Aku meracau. Mempererat pelukan disertai tangis yang tak bisa kutahan lagi.
"Jangan begini, Mas. Ingat, kita sudah bukan siapa-siapa. Ada Mbak Isma yang harus Mas jaga perasaannya."
Dania melerai pelukan kami.
"Dia wanita yang baik. Jangan sia-siakan dia hanya demi wanita sepertiku."
"Tapi Mas mencintaimu."
"Tidak, Mas. Jangan ucapkan kata itu. Aku--"
Ucapan Dania terhenti. Kami sama-sama menoleh saat suara seseorang terdengar tidak jauh dari tempat kami berdiri.
"Maaf aku menyela pembicaraan kalian."
Mata ini terbelalak. Peganganku di bahu Dania refleks terlepas.
Ya Allah! Kenapa dia bisa berada di sini?
"Isma ...."
Bersambung.