Marsya sedang menikmati makan siangnya dengan malas. Padahal makanan yang tersedia di hadapan Marsya adalah makanan kesukaannya. Tapi saat ini mood Marsya sedang tidak baik hingga itu mempengaruhi mood makanannya.
Apalagi yang buat mood Marsya rusak kalau tidak tentang pembicaraan dirinya dengan Mamanya tadi malam. Sampai sekarang Marsya belum mendapatkan jawaban yang tepat harus bagaimana Marsya menghadapi permintaan Mamanya.
Karna masalah ini, Marsya jadi menghindari Mamanya. Saat berangkat tadi Marsya sengaja tidak sarapan dengan beralasan sudah telat dan harus segera pergi padahal hari ini Marsya akan mulai syuting itu sore. Marsya terus menghela nafasnya kasar sambil mengaduk-adukkan makanannya.
“Sya, dimakan dong makanannya jangan di aduk-aduk gitu. Gue mesan makanan kesukaan lo.” Dimas sahabat Marsya memperingatkan. Saat ini Dimas dan Marsya sedang makan siang di sebuah restoran padang kesukaan Marsya. Seharusnya mereka bertiga sama Fani, tapi saat ini Fani sedang dalam perjalanan karna baru selesai menemani Evan pacarnya.
“Gue lagi ga nafsu Dim.” Marsya menopang dagunya dengan kedua tangannya.
“Lo kenapa? Jadwal lo padat banget?” Marsya menggelengkan kepalanya.
“Ada masalah sama kerjaan dan tim lo?” Marsya kembali menggelengkan kepalanya.
“Lawan main lo ada yang deketin?” Marsya lagi menggelengkan kepalanya, Dimas berdecak kesal.
“Jadi kenapa? Kasih tau gue kalau lo diam gini mana gue tau lo kenapa!” Dimas meminum es teh yang dipesannya.
“Nyokap Dim, nyokap.”
“Kenapa sama Ibu Negara? Jodohin lo lagi sama anak temennya?” Kali ini Marsya menganggukkan kepalanya, Dimas melihat ingin tertawa dan sedih melihat Marsya. Tertawa karna perjodohan yang dilakukan Mamanya Marsya dan sedih karna menjadi beban sama Marsya. Dia pun bingung ingin membantu bagaimana kalau sudah masalah ini.
“Mama bilang itu hadiah ulang tahunnya. Mama juga bilang ini yang terakhir kalau kita tetap ga cocok Mama ga akan maksa lagi dan Mama yakin kalau kali ini yang terbaik buat gue. Lo tau gue ga akan bisa nolak kalau itu udah permintaan Mama, tapi di satu sisi lo tau gue kan Dim kenapa gue ga mau.”
“Masih soal Bokap dan Angga?” Marsya menatap Dimas dengan tatapan sendu seharusnya Dimas tidak boleh menyebutkan nama itu. Karna dengan menyebutkan namanya saja sudah membuat Marsya marah.
“Mau sampai kapan Sya? Mau sampai kapan lo terus terpuruk dengan masa lalu? Mau sampai kapan lo ga mau buka hati lo cuma karna dua orang itu? Lo harus bisa melupakan itu semua dan membuka lembaran baru dan melangkah maju kedepan bukan hidup di masa lalu lo lagi Sya.”
“Lo tau betul apa yang udah mereka lakuin ke gue Dim! Lo juga tau gimana keadaan gue saat itu benar-benar hancur karna dua orang itu! Lo ga bisa segampang itu untuk bilang melupakan itu semua karna apa yang gue alami ga gampang kayak membalikkan kedua telapak tangan! Seharusnya lo ngedukung gue bukan semakin memojokkan gue kayak gini!”
Marsya berteriak dan marah pada Dimas, apabila sudah membicarakan ini maka emosi Marsya tidak terkontrol. Dimas tau bahwa dia salah membuka bekas luka yang masih sakit dan belum kering maka akan begini jadinya. Untung saja tadi mereka memesan di ruangan private jadi tidak ada yang tau bahwa saat ini Marsya sedang emosi.
Dimas menarik Marsya ke dalam pelukannya. Dimas memeluk Marsya sangat erat dan menepuk bahu Marsya menenangkannya. Marsya yang selalu mendapat kenyamanan di dalam pelukan Dimas akan menangis karna dia selalu bisa menumpahkan semuanya apabila itu bersama Dimas. Terkadang bersama Fani hal itu belum bisa tetapi entah mengapa jikalau bersama Dimas maka Marsya bisa mengeluarkan semuanya.
“Kalu gitu coba lo bilang baik-baik sama nyokap lo mengenai ini. Mungkin dengan kayak gitu nyokap lo bakalan ngerti.” Marsya menggelengkan kepalanya di dalam dekapan Dimas.
“Lo tau sendiri Dim gue gabisa lakuin itu. Gue ga mau Mama merasa sedih. Gue ga mau Mama jadi kepikiran karna masalah itu. Lo tau tujuan hidup gue cuma mau bahagiain Mama karna cuma Mama yang gue punya.” Marsya masih terus menangis di dalam pelukan Dimas. Fani datang dan melihat itu, Fani bertanya pada Dimas “kenapa” tanpa suara hanya gerakan bibir tapi Dimas hanya menyuruhnya diam.
“Jawabannya sekarang ada di lo Sya. Lo mau terus terang apa enggak sama nyokap lo itu akan buat lo sedikit lega tapi akan membuat nyokap lo sedih, atau lo tetap bungkam mau ga mau lo ya harus mau ngikutin apa kata nyokap lo untuk bahagiain dia sesuai dengan kata-kata lo.” Fani kembali bertanya pada Dimas “masalah perjodohan lagi” tanpa suara dan Dimas pun menganggukkan kepalanya.
“Gue bingung Dim gue bingung, tapi di satu sisi gue tersiksa kayak gini tapi gue ga mau buat nyokap sedih Dim.”
“Sya, nyokap lo pasti tau berikan yang terbaik buat lo. Gue yakin pria yang akan di pilihkan nyokap buat lo ga sembarang orang. Gue yakin nyokap lo akan selektif memilih pria yang akan bersanding dengan anaknya. Ga salah kalau lo coba, gue rasa nyokap lo ga akan maksa kalau seandainya pria itu ga baik buat lo gue yakin itu. Kalau emang dia pria baik Mudah-mudahan dengan ini lo bisa melanjutkan hidup lo lebih baik lagi dan kembali membuka hati lo lagi. Lo ga boleh berdiam di tempat. Lo harus maju Sya, lakukan semua ini demi membahagiakan nyokap lo.”
Fani memberi saran kepada Marsya. Fani dan Dimas tahu betul apa yang sedang dialami sahabatnya ini. Mereka sangat mengenal betul bagaimana Marsya, Marsya hanyalah sosok gadis yang rapuh dan dia seperti kaca. Apabila sudah jatuh dan pecah maka dia tidak akan bisa lagi kembali sama walaupun sudah di perbaiki pasti akan ada bekasnya.
Marsya melepaskan pelukannya kepada Dimas, menghapus air matanya kemudian menatap Fani dengan sendu.
“Gue coba terima dan gue jalani ini demi Mama?” Marsya bertanya kepada Fani dan Dimas.
“Kalau lo gabisa kasih alasan itu buat diri lo sendiri, biarkan kebahagiaan itu buat nyokap lo. Gue yakin dengan itu lo pasti akan berhasil. Demi nyokap yang lo punya dan yang paling lo sayang.” Fani menepuk bahu Marsya dan tersenyum.
Marsya menghela nafas dengan keras kemudian berusaha tersenyum di depan Fani dan Dimas.
“Baik, gue lakukan ini semua demi Mama. Hanya karna Mama tidak yang lain.” Marsya mengucapkannya dengan tegas untuk meyakinkan dirinya bahwa dirinya memang harus melakukan itu untuk kebahagiaan sang Mama. Marsya ingin memantapkan dirinya bahwa dia pasti bisa melewati itu semua karna sang Mama. Hanya Mama yang di punya oleh Marsya. Maka karna itu sudah kewajiban bagi Marsya untuk membahagiakan Mamanya.