Agnes merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar dengan nyalang. Benar, ini malam Minggu, tetapi sebagai seorang gadis dia malah menyembunyikan diri di dalam kamar. Benar-benar.
Gadis bersurai panjang itu melirik ponselnya yang tergeletak di nakas. Kemudian mengambil benda itu dan memeriksa apakah ada pesan dari Lucas ataukah tidak. Ternyata, tidak ada.
Jika dipikir-pikir, ini bukan yang pertama. Entah sudah berapa lama, tetapi Agnes sadar betul bahwa hubungan mereka mulai memiliki jarak. Lucas sudah jarang berbicara dengannya lewat telepon saat mereka tidak bertemu. Sekali dua kali dia hanya mengirim pesan singkat, mengingatkan Agnes akan hal-hal kecil yang sering dilupakan gadis itu.
Agnes juga merasa, pertemuan mereka kian hambar. Keduanya bertemu, saling melempar senyum dan pelukan singkat, tetapi tidak lagi banyak bicara seperti dulu. Pembicaraan mereka semakin monoton dan membosankan, sekiranya untuk Agnes.
Dia merasa bahwa dirinyalah yang terlampau banyak bicara, begitu aktif dalam hubungan, sementara Lucas ... entahlah, apa yang tepat untuk menggambarkannya. Lucas seperti tidak pernah benar-benar menginginkannya. Lucas seperti memperhatikan Agnes layaknya sahabat, bukan kekasih. Pelukan, kecupan ringan, dan tatapan yang ditujukannya berbeda dengan apa yang Agnes tunjukkan. Dan itu, membuat Agnes takut.
Agnes takut bahwa apa yang dia pikirkan adalah kenyataannya. Agnes takut, hubungannya dengan Lucas hanya memberikan beban dan tekanan pada pria itu. Agnes takut, hanya dia yang menikmati hubungan ini, sementara Lucas justru merasa tertekan. Agnes sangat takut, Lucas sama sekali belum mencintainya.
Agnes takut kehilangan.
Ah, sial. Cepat-cepat Agnes menggeleng. Mengenyahkan setiap pikiran buruk yang hinggap di kepala. Kemudian segera mendial nomor Lucas.
Baiklah. Tidak apa. Agnes hanya perlu berpikir positif. Bukankah begitu?
"Halo?”
Senyum di bibir Agnes seketika mengembang begitu mendengar suara bariton di seberang sana. Meski tipis. Meski masih ada yang mengganjal di hati, sekuat apa pun Agnes menyingkirkannya.
“Kamu di mana?” tanya Agnes, karena mereka sudah jarang berbasa-basi di telepon. Dan akan sangat aneh jika tiba-tiba dia melakukannya sekarang, setelah sekian lama.
"Di kelab. Kenapa, Nes?"
"Kerja?"
"Iya. Apa lagi?"
Agnes ber-oh-ria. Tentu saja dia tahu. Bahkan saat pertama kali Lucas mengangkat telepon, kebisingan kelab sudah sayup-sayup terdengar. Sepertinya, Lucas menerima telepon di ruangan pribadinya. Jika tidak, mungkin Agnes tidak akan bisa mendengar Lucas karena musik yang menjerit keras.
"Nggak ada bartender lain memangnya? Aku lapar."
"Lapar apa lapar?"
Agnes berdesis sebal. "Lucas, beneran ih!" pekiknya.
"Ya udah, tunggu. Aku ke sana. Ganjal perut dulu, jangan sampai magh kamu kambuh."
"Siap, Pak Bos!" Agnes menjawab antusias, kemudian telepon terputus.
Sementara suaranya begitu lantang dan ceria saat bicara dengan Lucas, ketika panggilan selesai, wajah gadis itu berubah datar. Ada raut tidak senang di wajahnya.
***
Kafe itu seperti biasa selalu tampak begitu tenang. Begitu nyaman dengan bentuk minimalis yang manis. Kafe yang diperkenalkan pertama kali oleh Lana. Kafe yang Lana tuju ketika pikirannya kalut dan hubungannya kacau dengan Jeffrey dulu. Dan sekarang, kafe itu selalu menjadi tempat Agnes untuk menghabiskan waktu dengan Lucas.
Dikara cafe. Menurutnya, tempat tersebut sangat cocok untuk bicara dari hati ke hati. Atau untuk mengobrol ringan berlama-lama. Atau untuk hanya saling menatap dalam diam di kala keduanya kehilangan kata.
Bara, pemilik kafe tersebut seolah sudah khatam dengan kehadiran dua sejoli itu. Dia bahkan sudah tahu apa yang akan Agnes atau Lucas pesan ketika mereka datang bertandang. Begitu pun pegawai lainnya. Namun hari itu, Agnes tidak memesan makanan. Dia hanya memesan segelas vanilla latte. Tidak biasanya.
"Ada apa? Katanya lapar, tapi kok cuma pesan minuman?" Lucas yang sejak tadi mengernyit bingung ketika Agnes memesan menu, bertanya.
Agnes mengulas senyum simpul, dengan sorot mata yang menatap lurus pada Lucas dengan tatapan tak terbaca. "Nggak, sih. Sebenarnya aku sudah makan," katanya.
Mendengar pengakuan kekasihnya, Lucas sedikit memicingkan mata. "Lalu?" Dia tanya. Tidak ada nada kesal dalam kalimat yang dia lontarkan, meski Agnes berbohong dan membuatnya meninggalkan pekerjaan demi menemui gadis tersebut. Membuat sorot mata Agnes semakin meredup dibuatnya.
Kenapa Lucas tidak pernah marah padanya?
"Aku cuma mau ketemu kamu. Aku kangen," cicit gadis bersurai lurus dengan sweater over size yang membungkus tubuh mungilnya.
Agnes memang terlalu biasa untuk berada di sisi Lucas yang selalu berpakaian kasual dan tampan. Tidak, sebenarnya Agnes juga cantik. Tapi, dia cenderung berpakaian yang membuatnya nyaman. Tidak begitu mementingkan fashion seperti kebanyakan perempuan di luar sana. Kebanyakan, hanya ada sweater, kaus, celana jins, jegging, dan kemeja di lemari gadis itu. Sementara untuk gaun, jumlahnya mungkin masih terhitung jari. Biasanya, mamanya yang akan membelikan gaun ketika ada acara penting. Jika tidak ada pesta keluarga atau acara formal lainnya, Agnes lebih memilih pakaiannya yang biasa.
"Nggak biasanya kamu bilang hal-hal seperti itu.” Lucas menggeleng kecil, tersenyum tipis. “Gimana pekerjaan kamu di kantor?”
Lucas tidak menjawab apakah dia merindukannya juga ataukah tidak.
Agnes tersenyum, berusaha menyembunyikan kegetiran dalam dadanya rapat-rapat. Mungkin, dirinya hanya sedang terlalu sensitif.
“Membosankan, seperti biasa.” Agnes membalas seraya tangannya bermain dengan sendok kecil di dalam gelas minuman miliknya. Seolah, dia tengah mengalihkan perhatian dari sosok di hadapannya.
Lucas memiringkan kepala sedikit ketika bertanya, “Jadi? Kamu mau menerima tawaran Kak Jeffrey saja untuk langsung jadi direktur?”
Mendengar tanya yang terlontar dari bibir Lucas, Agnes seketika membeliak. “NO!” pekiknya keras. “Aku sudah bilang mau usaha dari bawah dulu. Aku mau mulai semuanya dari nol.”
Kekehan ringan Lucas mengudara. Kekehan yang selalu berhasil meluluhkan hati Agnes. Kekehan yang selalu sopan mengetuk gendang telinganya, menghangatkan hati dan perasaannya. Tapi, sudah tidak begitu mempan untuk saat ini. Perasaannya terlalu kalut, terlalu tak karuan untuk bisa merasakan kebahagiaan sekecil apa pun. Perasaan-perasaan negatif terlalu mendominasi hatinya. Dan Agnes, tidak suka itu.
“Iya-iya, kamu memang ambis dan mau mencapai segala hal dengan kemampuan kamu sendiri.” Lucas mengulurkan tangan, mengacak poni Agnes dengan gemas.
Lagi-lagi, hal yang biasa membuat Agnes tersipu dan bahagia, rasanya hampa. “Ada satu hal yang nggak bisa aku capai sendirian sekeras apa pun aku mencoba,” tukasnya. Masih menatap pada minuman di depannya, enggan menatap sosok di hadapan.
“Apa?”
Barulah ketika dia hendak menjawab tanya Lucas berikutnya, Agnes mengangkat wajah. “Kebahagiaan. Hubungan yang sehat. Cinta,” ujarnya dengan seulas senyum samar. Ada sebuah getir yang lagi-lagi dia coba untuk redam.
Lucas mengangguk. “Tentu saja. Kamu butuh orang-orang terdekat kamu untuk mencapai itu semua, Agnes.”
“Bagaimana dengan kamu?” skeptis, Agnes bertanya.
Lucas semakin menyatukan alisnya, tak mengerti arah pembicaraan Agnes. “Apa?” tanyanya.
“Kamu nggak suka wanita karier, wanita yang ambisius, dan gila kerja. Itu aku.”
Lalu, keheningan tercipta begitu saja. Keheningan yang terasa mencekik dan sesak. Mungkin bagi Agnes, sementara Lucas, dia masih dilingkupi kebingungan dengan arah pembicaraan Agnes yang terasa ambigu.
“Kamu ngomong apa, sih, Nes?” Lucas akhirnya bersuara setelah beberapa sekon.
Gelengan kecil beserta kekehan kecil dari Agnes menjadi jawaban yang tak serta merta membuat Lucas lega. “Nggak ada. Aku sayang kamu,” kata gadis itu. Tapi jelas, ada sorot sedih yang terpancar dari permata gadis di hadapannya.
Ada sesuatu yang terjadi, tapi Lucas tidak tahu apa.
***
Tidak ada hal yang membuat Pevita begitu antusias selain mendengar bahwa Gara menghubungi Fiona. Setelah seharian menggabut, rebahan, bermain air di kolam sampai kulitnya mengkerut, menonton drama random, moodnya tidak juga membaik. Awan mendung di luar sana membuat perasaannya tak karuan. Tapi begitu Fiona datang dengan kabar baik tersebut, Pevita akhirnya merasa hidup. Harinya terselamatkan.
“Minta dia hubungi nomor pribadi aku!”
Pevita meloncat dari ranjang setelah memekik antusias barusan. Terkadang, mood perempuan itu tidak bisa ditebak. Di satu waktu dia tampak sangat murung, marah-marah sampai hal sekecil apa pun dia permasalahkan, di waktu lainnya dengan selang beberapa saat bisa sangat antusias seperti saat ini. Sungguh, terkadang hal itu menyulitkan Fiona sebagai manajernya.
“Apa?” Fiona berjalan membuntuti Pevita ke dalam ruang khusus pakaian. Dia tidak risi sama sekali ketika Pevita membuka baju dan menggantinya dengan setelan baru.
Di depan, Pevita menoleh. “Minta Gara hubungi aku, Fiona. Apa itu kurang jelas?” ujar wanita itu dengan mata sedikit memicing. Tampak sekali wanita itu tengah menahan kekesalannya.
Fiona mengembuskan napas agak keras. “Kenapa harus ke nomor pribadi kamu? Aku bisa menjadi perantara kalian. Aku manajer—“
“Ini urusan pribadi, Nona Fiona,” sela Pevita, membuat sang manajer lagi-lagi menghela napas berat.
“Jangan bilang kamu benar-benar tertarik sama dia? Kamu nggak akan aneh-aneh, kan, Pe?”
Akhirnya, pertanyaan yang terus mendesak di kepala Fiona tersuarakan. Wanita itu berkacak pinggang, melihat lurus pada sosok cantik yang tengah memakai roknya. Dan jawaban yang terlontar dari si gadis membuat Fiona harus menahan segala umpatan di tenggorokan.
“Yap. Aku tertarik sama dia. Dan dia laki-laki, aku perempuan. Ini nggak aneh.” Pevita dan sikap santainya terkadang memang membuat Fiona acap kali merasa depresi. Sejak bekerja sebagai manajernya, entah sudah berapa kilo gram berat badannya turun.
“Skandal kencan kamu sama Daniel masih belum selesai, Pevita Agatha! Bisa-bisanya kamu malah mau mendekati cowok lain lagi?”
“Aku sama Daniel nggak pernah kencan.”
“Tetap saja, berita tentang kalian sudah kadung menyebar!”
“Itu bukan urusan aku. Biarkan saja orang-orang berasumsi.”
“Astaga, Pevita!”
Fiona mengepalkan tangan di depan wajah. Nyaris saja mencakar wajah cantik Pevita jika saja akal sehatnya tidak mengingatkan.
“Tolong beri aku jalan,” ujar Pevita santai, berdiri di hadapan Fiona yang sejak tadi berdiam diri di ambang pintu ruangan tersebut. Pasrah, Fiona akhirnya memberikan akses agar Pevita bisa keluar.
“Dia nggak kelihatan tertarik sama kamu, Pe. Bukankah itu sudah jelas?” Fiona masih mencoba meyakinkan. Tapi, Pevita lebih keras kepala, dan dia tahu itu.
“Kamu lupa kalau aku Pevita Agatha? Jika orang lain bisa jatuh cinta sama aku, kenapa laki-laki bernama Gara itu nggak?” Pevita memicing percaya diri, mengundang helaan napas berat Fiona kembali hadir.
“Kamu pikir semua manusia di negeri ini fans kamu? Nggak. Kamu lupa bahwa banyak haters juga. Mungkin, Gara-Gara itu jadi salah satunya.”
Gelak tawa sumbang dari bibir Pevita terdengar beberapa sekon, sampai akhirnya mata cantik perempuan tersebut menatap Fiona kembali dengan begitu yakin. “Oh, Fi. Aku percaya orang lain bisa jadi haters aku, tapi dia? Aku nggak akan mungkin percaya. Dia pria yang baik.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Aku merasakannya.”
“Kamu pernah ketemu dia sebelumnya seperti yang kamu bilang waktu kita pergi ke kantor JJ?”
“Entahlah.” Pevita mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. Mengabaikan raut penasaran sang manajer sekaligus sahabatnya itu. “Jadi, sudah kamu laksanakan perintahku?”
***