7. Ibu untuk Thalia

1126 Kata
Gara berjalan memasuki rumah dan menemukan ruang tengah berantakan. Jelas saja dia langsung tahu siapa gerangan pembuat onar yang membuat rumah berubah menjadi layaknya kapal pecah. "Papapa-papa!" Gara tersenyum samar menyaksikan buah hatinya yang sudah tumbuh semakin besar muncul di balik pintu kamar mandi. Muka Thalia cemong, sementara wajah Agnes yang menyusul batita tersebut juga dipenuhi banyak peluh. Sepertinya hari yang berat untuk gadis itu hari ini. "Thalia, kamu nggak dengar Onti?" pekik Agnes, lalu berjongkok di depan Thalia yang hanya mengenakan kaus dalaman, minus celana. Dilihat dari penampilan itu, sepertinya anak tersebut hendak dimandikan Agnes tetapi berakhir kabur. "Kakak, sih, datang di waktu yang nggak tepat!" Agnes menggerutu sambil memelotot sebal padanya. Gara mengangkat alis. Menatap wajah berantakan Agnes. "Kenapa?" tanyanya datar. Agnes mendesis seketika. "Kuping Thalia, tuh, ajaib tahu! Dia selalu tahu suara mobil papanya. Akhirnya apa? Lagi mau mandi pun dia langsung kabur!" keluh Agnes, terselip nada kesal di dalamnya. Tapi, mata gadis tersebut masih teduh ketika menatap Thalia. Agnes memang memiliki hati yang begitu lembut, apalagi jika bersangkutan dengan anak-anak. Gara hanya menghela napas singkat merespons ucapan adiknya. "Ya, bagus. Thalia sayang ayahnya. Terus kenapa kamu marah-marah?" tanyanya santai. Berjalan menuju Thalia dan berjongkok di depan gadis kecilnya yang manis itu. Sementara, yang diajak bicara seketika mengerang. "KAK GARA! Ngeselin nih kalian!" "Pasti lagi pms," komentar Gara datar, seraya menempatkan tubuh mungil Thalia ke gendongannya. "Ayo, Sayang!" "Astaga, ayah satu ini!" gerutu Agnes, mendelik tajam pada punggung kakaknya yang perlahan menjauh. "Mending kamu mandi, Nes. Kalau Lucas datang, kamu bisa tengsin!" Agnes tidak merespon. Dia tidak peduli dengan penampilannya, bahkan di hadapan Lucas sekali pun. Dan lagi pula, frekuensi temu mereka semakin berkurang sekarang. Jadi nihil kemungkinannya Lucas datang secara tiba-tiba di depan pintu seperti dulu. *** Menikmati waktu dengan Thalia adalah pelipur lara yang ampuh. Anak itu bagaikan lukisan yang indah. Yang hanya dengan menatapnya saja mampu membuat batin Gara bergetar. Thalia selalu membuatnya luluh. Membuatnya menyerah pada hal apa pun. Dia adalah kekuatan sekaligus kelemahan yang Gara punya. Dia segalanya. "Bukannya Kakak harus nyari pengasuh baru, ya, buat Thalia?" Gara menoleh ke ambang pintu, di mana Agnes—masih dengan penampilan yang acak-acakan—berdiri di sana seraya menyandarkan bahu kanannya pada kusen dan menatapnya lurus. "Nggak. Aku udah ambil keputusan kalau aku nggak akan cari pengasuh." Gara membalas ringan sambil menyisir rambut pirang Thalia yang kini sudah semakin lebat dan panjang. Mengepang rambut lurusnya itu dengan hati-hati. Jangan tanya di mana Gara belajar cara mengepang rambut! Ketika mendiang Vanilla masih bersamanya, tentu saja sebelum kesalah-pahaman membuat hubungan mereka renggang, Gara selalu memanjakannya. Menjadikan dia ratu dan wanita satu-satunya. Gara manis dan begitu hangat. Mengikat rambut Vanilla adalah suatu hobi yang membuatnya rela menghabiskan waktu berharganya. Dan kini, Thalia akan menjadi pengganti, sosok yang akan mendapatkan seluruh sisa cinta yang dia punya di dunia. Sosok yang akan mendapatkan seluruh kasih sayang yang dia miliki. Hanya Thalia, harta yang Vanilla titipkan untuknya, tidak ada lagi yang lainnya. "Lho? Kenapa?" Gara mengangkat bahu ringan. "Aku mau lebih dekat sama dia. Aku sadar, selama ini terlalu sering nitipin Thalia sama orang lain sampai dia nggak begitu akrab sama papanya." Agnes tampak berjalan mendekat, kemudian duduk di sudut kasur Thalia. Menatap pada ayah dan anak dengan bentuk mata dan bibir yang sama itu. "Tapi kalau Kakak ada kerjaan gimana?" tanya Agnes kemudian. Bertepatan dengan tanya yang Agnes lontarkan tersebut, pekerjaan Gara untuk mengepang rambut Thalia selesai. Dia mengecup singkat puncak kepala buah hatinya, kemudian mengangkat tubuh mungil gadis itu ke pangkuan dan mendekapnya. "Kita bisa sewa pengasuh sementara. Gampang, kan?" balas Gara. "Kenapa nggak cari ibu buat Thalia aja?" Sebuah desisan jenaka keluar dari mulut Gara begitu mendapatkan pertanyaan tersebut. "Kamu pikir cari ibu semudah kayak kamu beli ikan di pasar? Kamu sama Mama sama aja." "Tapi nggak sesulit itu juga kalau Kakak mau membuka diri. Kakak sadar, kan, bagaimana sikap Kakak sekarang?" kejar Agnes. Dia tidak bisa menyaksikan kakaknya menua sendirian, terkurung dalam cangkang yang kosong, dalam sebuah penyesalan tak berujung. Dia pantas mendapatkan kehidupan dan cinta yang layak. Dia orang baik. Agnes tahu itu. "Aku nggak akan cari pengganti Vanilla, bagaimanapun keadaannya," tukas Gara, dengan nada yang seolah-olah ucapannya tersebut sudah final tak bisa diganggu gugat. "Seseorang nggak akan pernah bisa jadi pengganti seseorang lainnya. Mereka akan memiliki tempat tersendiri di hati Kakak," balas Agnes, menatap lurus pada wajah Gara, meski pria itu terus menghindar dari pandangannya. Agnes menarik napas panjang, menipiskan senyum, dan kembali melanjutkan perkataannya, "Sejatinya, Kak Vanilla hanya akan jadi kenangan yang Kakak simpan di hati. Namun untuk mengarungi masa depan, Kakak butuh orang lain yang menemani. Seseorang yang akan memiliki peran sebagai 'Ibu' untuk Thalia. Seseorang yang akan menjadi teman Kakak dalam berbagi pahit manisnya hidup untuk saat ini dan nanti." "Dan itulah sulitnya, Nes." Gara merespon cepat. "Nggak akan ada orang yang mau menemani manusia yang nggak utuh kayak aku. Manusia yang sebagian hatinya terendap di masa lalu." "Ada. Tapi Kakak nggak pernah mau membuka mata dan melihat dia," sanggah Agnes. Ditatapnya semakin lekat wajah sang kakak. Menyelami isi hatinya. Namun, Gara masih sangat jelas terluka. Dia masih sangat jelas menyimpan kebencian terhadap dirinya sendiri atas kesalahan masa lalu. Dia... jelas menutup diri. Gara berdesis singkat. "Siapa yang kamu maksud, Nes?" Tersenyum tipis, Agnes menjawab, "Orang terdekat Kakak. Kak Intan," katanya, dengan seulas senyum yang tak sampai ke matanya. Sementara itu, mendengar jawaban Agnes, Gara sedikit membelalak terkejut. "Nes. Dia anak dari dosen aku. Aku menghargai dia dan menganggap dia sebagai teman yang aku hormati," ujarnya. Tentu saja nadanya selalu tenang, seperti biasa. "Tapi, Kak ...." Gara menggeleng kecil. "Alih-alih bicara tentang aku, sekarang bagaimana keadaan kamu sama Lucas? Sudah ada perkembangan dari hubungan kalian? Ada rencana untuk bertunangan atau apa?" desaknya, mengalihkan pembicaraan. Kini giliran Agnes yang memasang wajah tak nyaman. Helaan napas berat gadis itu juga membuktikan bahwa dirinya lelah dengan pertanyaan itu. "Aku masih mau kerja. Umurku baru 23 tahun," katanya. "Biar begitu tetap saja harus ada kejelasan. Kakak nggak mau lihat kamu patah hati atau pada akhirnya ...." "... aku mengalami hal yang kayak Kakak alami," sambung Agnes, melanjutkan kalimat kakaknya yang selalu menggantung saat dia ingin membicarakan hal itu. Agnes bukan anak kecil. Dia mengerti betul apa yang kakak dan orang tuanya takutkan. Dia juga tahu tentang kisah masa lalu Gara dan Vanilla hingga menghadirkan sesosok malaikat kecil bernama Thalia ke dunia ini. Helaan napas pelan Gara embuskan. "Ini malam Minggu, kamu nggak ada janji temu sama Lucas?" Akhirnya pria itu mengalihkan topik. Mengerti bahwa pembahasan barusan hanya akan membuat mereka saling memojokkan. Dan itu tidak baik. "Lucas banyak kerjaan," dalih Agnes. Meski sebenarnya, dia tidak tahu apa pun soal pria itu hari ini. Apa yang dia lakukan, siapa yang dia temui, bagaimana harinya, pekerjaan dan lain sebagainya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN