“Kamu ke mana?”
Pevita menyampirkan tas branded-nya di bahu kiri, kemudian menengok singkat pada Fiona yang sepertinya tengah makam malam sendirian di meja makan.
Tersenyum tipis, Pevita membalas, “Ketemu Gara.”
“Di mana?” Fiona tampak berdiri. Suara langkah kakinya semakin dekat dengan Pevita, sampai akhirnya tubuh perempuan itu sudah benar-benar tiba di sisinya.
“Rahasia.”
“Pevita, please! Aku berhak tahu ke mana kamu pergi.”
“Astaga, kamu mirip pacar yang posesif.” Pevita merotasikan bola mata dengan malas. “Sebaiknya kamu cari pacar, gih! Takut beneran naksir aku, berabe.”
Kini giliran Fiona yang memutar bola matanya. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Pevita. “Aku manajer kamu, wajar aku harus tahu ke mana kamu pergi!” pekiknya tertahan.
Pevita membentuk bibir ranumnya menjadi satu garis tipis. Gadis itu menggeleng pelan, seraya meletakkan tangan kanannya di bahu Fiona dengan sedikit penekanan. “Ibu Fiona yang terhormat, dengar, ini bukan cuma urusan pekerjaan, tapi juga pribadi. Jadi sebetulnya, kamu nggak perlu tahu,” tukasnya. Kemudian menyingkirkan tangannya setelah memberi sedikit tepukan pada lengan atas Fiona yang sudah tampak jengkel.
“Astaga. Aku mau resign saja kalau begini,” keluh Fiona, merasa tidak bisa berkutik akibat kelakuan Pevita.
Pevita melebarkan senyumnya. Menggerakkan jari telunjuknya di depan wajah Fiona ke kanan dan ke kiri. “Jangan, Sayang. Kamu butuh uang untuk biaya hidup kamu yang hedon itu.”
“Sialan,” umpat Fiona, membuat Pevita semakin tersenyum penuh kemenangan.
“Oke. Teman sekaligus artis kamu yang sialan ini harus pergi. Da-dah, b******k!” ujar Pevita sarkas dengan gaya angkuh khas dirinya, lantas melambaikan tangan dan mengerling nakal.
Fiona ingin musnah saja dari bumi pada detik itu. Mengurus Pevita lebih memusingkan dari menjaga sepuluh anak PAUD. Dia bersumpah, hanya dirinya dan Gilang yang tahan dengan sikap wanita tersebut. Manajer dan asisten yang lain tidak akan pernah ada yang sekuat mereka.
***
Letak restoran itu tidak begitu jauh dari rumah Gara, sehingga ketika Pevita meminta untuk bertemu dengannya di tempat tersebut, dia setuju. Harus ada sedikit drama dulu sebelumnya. Seperti, Gara yang kesal saat Pevita menyepam pesan dan meneleponnya berkali-kali. Memaksa bertemu, meski sudah Gara katakan tidak bisa. Lebih ke—alasan saja sebenarnya. Gara ragu bertemu gadis itu.
“Waw, awalnya kamu menolak. Tapi lihat, kamu datang lebih dulu daripada aku. Apakah kamu setidak sabar itu ketemu selebriti cantik ini?”
Gara hanya melirik singkat pada gadis bergaun merah selutut tersebut. Menghela napas pelan dan berusaha mengabaikan kata-katanya yang agak menyebalkan. Alih-alih membalas, Gara justru balik bertanya, mengalihkan topik pembicaraan.
“Saya kira kamu akan datang bersama manajer kamu,” tukasnya formal.
“Kenapa harus?” jawab Pevita cepat.
Dapat Gara lihat senyum lebar terpatri di bibir si gadis. Warna merah menyala lipstik gadis itu begitu sama dengan pakaian yang digunakannya. Warna yang terlalu berani, terlalu sensual, tetapi entah mengapa begitu cocok dikenakan perempuan tersebut. Justru, warna tersebut memberikan kesan elegan yang pekat. Menguarkan pesonanya yang cantik.
Gara menipiskan bibir. “Entahlah. Saya pikir ya sepertinya harus begitu, ternyata tidak,” katanya. Mengedikkan bahu dengan acuh.
“Kamu gugup ketemu hanya berdua sama aku?” Pevita menatap lekat padanya. Sangat intens sehingga mungkin—jika itu orang lain—dia akan terintimidasi. Sayang sekali, itu tidak berpengaruh padanya.
“Pikirkan saja apa yang kamu mau,” tutur Gara, tak ingin ambil pusing dengan sikap perempuan cantik di depannya. “Jadi, apa yang akan kita bahas? Saya punya jadwal lain sebentar lagi.”
Decakkan keras Pevita terdengar seketika. “Wah, ternyata kamu seniman yang sibuk.”
“Semua orang punya kesibukan masing-masing. Bukankah normalnya memang seperti itu?”
“Aku nggak,” Pevita jawab. Seraya meraih buku menu yang disodorkan oleh Gara padanya.
Lagi-lagi Gara berusaha bersikap tak peduli. “Mungkin kamu berbeda.” Dia bicara datar. Seharusnya Pevita mengerti dari nada bicara Gara, bahwa dirinya jengah dengan pertemuan ini. Dia ingin pembicaraan langsung ke inti dan pertemuan akan segera selesai.
Namun tak disangka, Pevita justru malah tersenyum penuh arti lalu mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan, “Ah, terima kasih. Yang berbeda memang selalu menantang, bukan?” gumamnya. Membuat Gara semakin tak habis pikir, mengapa perempuan tersebut begitu menyebalkan?
“Bisa langsung ke inti pembicaraan saja, Nona Pevita?” ujar Gara, mulai hilang kesabaran.
Gara benar-benar enggan bertemu Pevita, apalagi berdua seperti ini. Bukan canggung, hanya saja ... Gara takut akan ada pembicaraan yang tak ingin dia bahas yang mungkin sengaja diangkat oleh gadis itu. Itu agak tidak nyaman untuknya.
“Kenapa kamu formal banget, sih? Santai saja. Jangan kaku. Kita rekan sekarang. Panggil aku Pevita, dan jangan saya-saya-an. Kedengarannya aneh tahu nggak?”
“Justru karena kita rekan kerja sehingga kita harus menentukan batasan. Bukan begitu?”
Pevita menarik napas panjang. Berusaha menahan amarahnya yang biasanya akan mudah meledak saat menghadapi situasi menjengkelkan seperti ini. “Oh. Kalau begitu, bagaimana kalau kita berteman?” alih-alih marah, Pevita malah bersikap seramah ini. Bukankah Gara harusnya tersanjung? Namun ....
“Tidak.”
“Aku orang yang asyik, ceria, cantik, meski suka memaki—kadang-kadang.” Pevita masih belum menyerah ternyata.
“Tidak. Terima kasih. Saya tidak butuh teman.”
“Manusia butuh teman.”
“Saya tidak.”
“Berarti kamu bukan manusia,” tukas Pevita agak geram. Sebenarnya bukan agak lagi, dia benar-benar kesal setengah mati karena sikap pria itu. Tapi sejauh ini dia sudah menahan diri. Lalu apa yang Gara lakukan? Dia benar-benar pria berhati dingin.
“Anggap saja begitu.” Lihatlah cara dia menjawab ucapan sarkas Pevita dengan nada yang begitu datarnya! Rasanya Pevita ingin menjambak rambut pria itu dan mencakar wajahnya.
Pevita menggeleng, kehabisan kata. “Wah, kamu memang sesuatu. Dulu kamu kelihatan lembut, hangat, tapi rapuh di saat yang sama. Bisa-bisanya kamu berubah cuma dalam kurun waktu dua tahun.”
“Kita tidak pernah bertemu.”
“Aku tahu kamu ingat, jadi jangan pura-pura lupa,” tepis Pevita. Kesabarannya nyaris terkikis sekarang.
“Saya pergi jika tidak ada hal yang ingin didiskusikan.”
Tidak tahan dengan semua ini, Pevita memejamkan mata, berusaha menetralkan degup jantungnya yang berdebar keras karena marah, kemudian mengutarakan apa yang selama ini terus dia pertanyakan dalam benak sejak pertemuan mereka di depan gedung JJ Company, “Hal apa yang membuat kamu begitu menghindari aku? Hal yang buat kamu pura-pura lupa akan pertemuan kita dua tahun lalu? Bukankah—“
“Karena saya ingin melupakan hari itu.”
Pevita geming. Jawaban yang terlontar dari mulut Gara begitu singkat dan tak terduga. Tapi, kalimat itu berhasil menohok jantungnya seketika.
Senyum getir Pevita tunjukkan, beserta tatapan lurus pada manik mata pria dengan tatapan kosong tersebut. “Kamu nggak akan pernah lupa, sebab otak manusia diciptakan untuk merekam setiap kejadian yang kita lewati dan menyimpannya dalam memori. Tapi otak kita tidak di-setting untuk bisa membuang ingatan,” gumamnya.
Entah mengapa kalimat-kalimat itu terdengar seperti diutarakan pada dirinya sendiri. Nada yang kompleks, bermakna sedih, kecewa, marah, dan putus asa. “Kalau saja melupakan adalah hal yang mungkin, aku pasti akan jadi orang pertama yang melakukan hal itu,” lanjut Pevita. Tatapannya menggelap, seolah awan kelabu telah menutupi jendela hati gadis tersebut dengan kesedihan.
Satu demi satu, sekat yang Pevita pasang telah terbuka. Borok, hati yang tak utuh, kematian yang dinanti, putus asa, sepi. Segala hal tergelap yang selama ini dia tutup rapat-rapat, merangkak naik. Mereka seolah berlomba-lomba mempengaruhi kesadarannya. Mereka memukul, mengoyak, menghancurkan dinding-dinding pertahanan yang Pevita bangun.
Sebuah seringaian hadir di wajah gadis ayu itu. Seringaian yang tampak memprihatinkan, yang ditunjukkan oleh gadis yang pernah nyaris mati di hadapan Gara.
“Ingatan demi ingatan terus bertumpuk. Pada satu titik, oke, kamu merasa telah lupa. Tapi hal itu salah. Kamu nggak pernah lupa. Suatu waktu, mungkin di saat yang nggak pernah kamu duga, ingatan-ingatan yang kamu pikir sudah kamu lupakan itu pasti akan kembali memenuhi kepala. Dan kamu tahu apa yang paling miris? Ingatan yang kerap kali datang di otak manusia adalah ingatan yang menyakitkan.”
Ada keheningan yang tercipta begitu Pevita menyelesaikan ucapannya. Memusatkan atensi pada wajah Gara yang geming, Pevita tahu dirinya menang.
“Saya tidak punya cukup waktu untuk membahas masalah selain pekerjaan—“
“Kamu mengalihkan pembicaraan,” ujar Pevita.
Helaan napas keras beserta tatapan yang menajam membuktikan bahwa Gara terganggu dan kesal atas topik yang mereka bahas saat ini. Tapi Pevita tidak. Dia masih akan terus menekan Gara sampai dia bisa masuk ke dalam kehidupan pribadi pria itu.
“Lalu? Apa alasan kamu begitu gencar mengingatkan saya? Apa yang kamu dapat dari hal itu?” nada geram terselip di setiap kalimat yang Gara ucapkan.
Rahangnya yang ditumbuhi sedikit bulu halus mengeras. Bibir penuhnya membentuk satu garis. Sementara netra menatap Pevita dengan kilatan emosi di matanya.
“Teman,” balas Pevita dengan senyum lebar.
Tatapan yang beberapa saat lalu tampak begitu kesal, sepersekian detik langsung berubah bingung saat mendengar jawab dari Pevita.
Sadar akan kebingungan Gara, Pevita melanjutkan, “Teman untuk berbagi luka,” katanya.
“Tidak ada manusia yang ingin membagi luka.”
“Teman untuk saling menyembuhkan.”
“Orang sakit tidak bisa menyembuhkan luka orang lain.”
Pevita tersenyum simpul. “Kamu salah. Justru, karena hanya orang yang pernah terluka yang bisa memahami luka orang lain. Dan karena itu—“
“Saya tidak pernah terluka,” ujar Gara segera. “Saya akan membicarakan jadwal dengan manajer kamu. Saya permisi.”
Dalam tenggat waktu yang singkat, Gara sudah hilang dari pandangan Pevita. Kali ini, Pevita tidak menghentikan. Dia hanya duduk di tempatnya, tersenyum. Sudah cukup untuk hari ini. Dia sudah berhasil menggoyahkan sedikit pertahanan diri pria itu. Dia sudah menemukan setitik cahaya menuju tempat yang selama ini ditutup rapat olehnya. Pevita hanya akan terus berusaha lagi nanti, agar dia mampu menemukan tempat tersebut, mengetuk, dan kemudian memasukinya.
***