10. Keistimewaan Selebriti

1710 Kata
Pameran berlangsung selama beberapa hari. Hal itu tentu saja membuat Gara sibuk. Dia berbicara dengan begitu banyak pengunjung yang tertarik dan ingin mengetahui soal karya lukisnya sepanjang hari. Yah... sebenarnya, Gara bukan pembicara yang baik. Tapi jika sudah berbicara tentang cerita di balik lukisannya, sudah jelas dia bisa bicara seharian. Lukisan yang dipajang itu bukan hanya seonggok gambar. Di baliknya ada cerita, ada kisah yang ingin dia sampaikan kepada penikmatnya. Tentang cinta, tentang harapan, tentang hidup, tentang sesuatu hal lainnya yang Gara pikirkan ketika mulai menggoreskan sketsa di atas kanvas. Pameran itu memang diadakan sebagai ajang komunikasi antara seniman dan penikmat seninya. Tapi, beberapa lukisan dengan berbagai macam aliran dari beberapa seniman yang berbakat itu juga dijual dengan harga yang bervariasi. Termasuk lukisan yang dibuat oleh tangan ajaib Gara. Dari kurang lebih 20 karyanya yang dipajang, lebih dari setengahnya dapat dijual, dan semua itu... ludes. “Bukannya kita harus makan bersama?” Azka, selaku ketua penyelenggara acara berbicara. “Kapan lagi saya bisa berkumpul dengan para seniman hebat ibu kota dalam satu tempat?” Tawaran Azka jelas saja diterima. Berkumpul dengan orang-orang yang menggeluti bidang yang sama, berbagi informasi banyak hal, bukan hanya menambah ilmu, tetapi juga memperluas relasi. Namun, saat Gara dan yang lainnya hendak keluar dari gedung yang dipakai, netranya menangkap objek yang tak seharusnya ada di sana. Pevita. Perempuan itu, dengan langkah yang begitu pasti dan percaya diri menghampiri mereka. Seketika Gara menjadi was-was tanpa alasan pasti. Sejak gadis itu muncul, keberadaannya selalu membuat Gara merasa kalut. Gadis itu, sungguh, selalu melakukan sesuatu sesukanya. “Selamat malam,” sapa Pevita dengan senyum tipis yang terpatri. Senyum yang membuat mata entah pria mau pun wanita terkesima. “Ini... Anda Pevita Agatha, kan? Artis itu? Pemain film?” Arman, pelukis berusia awal 40-an itu menunjuk wajah Pevita ragu. Saat Pevita memberikan anggukan sebagai jawab atas tanya yang dilontarkan padanya, semua orang terkesiap—kecuali Gara. “Wah, suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda. Apa Anda berniat mengunjungi pameran? Sayang sekali acaranya sudah selesai.” Dita, sekretaris Azka sekaligus penggila film nomor satu, menyambut. Baiklah. Gara sungguh tidak ingin su’udzan dengan kehadiran Pevita di sana. Bisa saja Pevita kenal dengan salah satu orang yang tengah bersamanya, atau dia ada keperluan di sekitar sana, siapa yang tahu? Tapi, begitu mendengar jawaban yang dia katakan, Gara sudah tidak bisa berkata-kata lagi. “Saya di sini untuk menemui Pak Gara,” jawab perempuan muda itu, tersenyum. Netranya menatap si pemilik nama dengan tatapan polos, membuat Gara kesal tanpa alasan. “Kalian... saling kenal?” Dita melirik Pevita dan Gara secara bergantian dengan sangsi. Tidak ada jalan untuk Gara menghindar. Setelah bertemu beberapa kali dengan Pevita, dia tahu bahwa perempuan itu tidak akan membiarkannya. Pada akhirnya, Gara hanya bisa mengangguk ragu. “Kami terlibat suatu projek,” ungkap Gara akhirnya. Mengundang reaksi kagum para rekannya yang berada di sana. Tentu saja, siapa yang tidak akan kagum sekaligus iri atas keberuntungan pria itu? Terlihat dalam suatu projek film yang artinya bisa saja melambungkan namanya. Selain itu tentu saja bonus yang tak kalah besar: bisa dekat dengan seorang aktris papan atas sekelas Pevita Agatha. “Serius? Projek apa? Kenapa bisa?” Dita sungguh antusias. Pevita menarik sudut bibirnya dengan anggun. “Untuk film terbaru saya,” responsnya. “Peran saya jadi seorang pelukis, dan Pak Gara akan mengajarkan saya cara melukis yang baik agar peran saya bisa lebih totalitas,” dia melanjutkan dengan lugas. Arman mengangguk beberapa kali, berdecak. “Wah, hebat. Kita tidak tahu bahwa Anda selalu totalitas seperti ini, sampai langsung belajar melukis demi mendalami peran.” “Terima kasih.” Pevita membalas sopan. “Apakah kalian ada rencana? Atau, Anda mau ikut makan malam saja bersama kami?” Azka, si selalu ramah pada siapa pun memberi tawaran pada Pevita. “Bolehkah?” Jelas saja Pevita tidak akan menolak kesempatan ini. Oh, ayolah! Selama itu ada Gara, dia akan ikut. “Tentu saja. Kenapa tidak? Kami merasa sangat tersanjung jika Anda ikut dengan kami,” Azka membalas. Senyum simpul pria itu selalu terulas. Membuat siapa saja orang yang bicara dengannya akan merasa begitu disambut hangat. Permata cokelat Pevita berbinar dibuatnya. “Tentu saja. Saya akan ikut dengan senang hati. Dan... kita bisa bicara lebih santai. Umur saya baru 29 tahun.” “Umur saya juga.” Dita menyahut agak keras. “Kita sebaya ternyata.” Kemudian, mereka mengobrol ringan selama beberapa waktu. Sementara itu, Gara hanya menyaksikan bagaimana Pevita berbaur dengan yang lain. Disambut dengan begitu hangat dan seolah perhatian semua orang kini hanya tertuju padanya. Seolah, dia adalah bintang tamu istimewa yang sengaja diundang di acara makan malam tersebut. Bukan hanya oleh rekannya, tetapi oleh yang lain juga. Termasuk ketika mereka masuk ke restoran yang menjadi tempat melaksanakan makan malam tersebut. Saat tahu Pevita datang, manajer restoran yang langsung turun untuk melayani mereka. Dan Gara tidak mengerti, gadis tersebut tampak begitu natural saat berbaur dengan yang lainnya. Dia bicara, tersenyum, dan sesekali tertawa dengan gaya yang cukup menyenangkan. “Boleh saya memotret kebersamaan kita malam ini? Mbak Pevita, Anda tidak keberatan bukan?” salah satu dari rekan Gara, seorang pelukis yang usianya tentu lebih tua darinya, berbicara. “Tentu saja tidak.” Pevita segera berdiri. Mengeluarkan ponselnya dari dalam tas kecil yang dia bawa. “Bisa tolong potret pakai ponsel saya juga? Saya ingin menyimpannya.” Semuanya semakin riuh memuji betapa humble-nya seorang Pevita Agatha. Hanya Gara yang tak bersuara sejak tadi. Dia hanya bicara jika diminta. “Pak Gara, tolong lihat kamera dan tersenyum.” Pevita memerintah seraya melirik ke arahnya, sehingga Gara mendesah sebal dibuatnya. Gara menatap kamera seperti yang diperintahkan, tetapi dia tidak tersenyum. Senyum adalah keistimewaan yang tidak bisa dia berikan pada sembarang orang sekarang. “Ah, Pak Gara pelit senyum, ya.” Pevita tersenyum, terselip nada sindiran di dalam kalimatnya. “Kamu begitu disambut dengan baik di sini,” tukas Gara saat mereka sudah selesai dengan acara foto-foto bersama itu. Kebetulan memang, Pevita duduk di sisi Gara. Ah, tidak. Bukan kebetulan, Pevita memang sengaja duduk di sisi pria itu. Sudah jelas. Pevita melirik Gara dengan menggoda. “Itulah keistimewaan yang dimiliki selebriti,” jawabnya, tersenyum sensual. Sayangnya, Gara tidak tertarik sama sekali. “Tapi senyum palsu kamu terlalu kentara. Jangan terlalu memaksakan diri untuk bersikap ramah,” ujar Gara agak kasar. Pevita terkekeh sumbang, dengan nada yang dibuat-buat seraya menutup mulut dengan jemarinya yang lentik. “Kamu pandai menilai mimik wajah seseorang. Selama ini aktingku sangat baik, sehingga orang-orang sulit membedakan mana yang palsu dan bukan,” katanya, mengangkat bahu dengan tak acuh. “Benarkah? Di sepenglihatan saya selama beberapa waktu tadi, akting kamu payah.” Pevita terkikik pelan. “Wah, bukankah seharusnya kamu jadi sutradara ketimbang seniman? Kamu bisa menilai akting aku dengan sangat jeli. Itu sesuatu yang hebat,” dia ucap seraya menatap Gara dengan ketakjuban yang dibuat-buat, membuat Gara merotasikan bola matanya dengan malas. “Dasar aneh.” Pevita terpaksa mengakhiri percakapan mereka saat ponsel di tasnya terus bergetar tak henti-hentinya. Ah, siapa pun itu yang menghubunginya saat ini, dia sangat mengganggu! Dia sedang menjalankan aksinya untuk mendekati Gara sekarang. Lihat, pria itu bicara banyak padanya. Tapi.... “Ck, Kak Eve!” Pevita berdecak begitu melihat nama kontak yang tertera di layar. Helaan napas berat diembuskan perempuan tersebut sebelum berbicara pada Gara, “Aku angkat telepon dulu, ya. Jangan rindu. Cuma sebentar, kok,” katanya. Tersenyum manis seraya menunjuk ponselnya, kemudian undur diri dari hadapan Gara dan yang lain, mencari tempat yang lebih tenang. Pevita memasuki toilet. Satu-satunya tempat yang tenang dan aman di restoran itu bagi Pevita untuk menjawab telepon dari kakaknya. “Pe, bulan depan kamu datang, kan?” Suara Evelyn, kakak kandung Pevita yang berumur dua tahun lebih tua darinya, segera terdengar begitu Pevita menggeser tombol hijau. Pevita masuk ke dalam salah satu bilik toilet, menutup pintu kemudian duduk di closet sambil menjawab, “Iya. Masa nggak?” responnya. “Dua hari?” Evelyn tanya. “Sehari,” Pevita jawab. Terdengar helaan napas yang agak panjang di seberang sana. “Katanya kamu ambil cuti. Berarti nggak ada jadwal, dong?” “Tetap saja... eh, tunggu!” Pevita menghentikan ucapannya di tengah kalimat, seolah menyadari ada sesuatu yang salah. Dia menautkan alis dengan bingung, kemudian bertanya, “Kak Eve tahu dari mana aku ambil cuti?” “Ehm, itu—“ “Kakak masih sering ngulik info tentang aku ke Fiona?” tanyanya kemudian, dengan nada yang agak tinggi. Terdengar jelas bahwa perempuan itu tidak suka. “Pe, aku cuma mau tahu keadaan kamu. Aku nggak bisa lepas begitu aja. Kamu tanggung jawab aku.” Evelyn menjelaskan dengan nada yang lembut. Selalu seperti itu. Dia memang memiliki kepribadian yang agak berbeda dengan Pevita. Wanita itu memiliki pribadi yang hangat, lembut, jarang marah, yah... intinya, dia terlalu baik, dan Pevita benci itu. Dia benci, saat kakaknya terus mengkhawatirkan dirinya, sampai dia tidak memperhatikan dirinya sendiri. Pevita benci menjadi alasan mengapa hidup wanita itu tidak bahagia. Pevita benci bahwa dirinya mendapatkan begitu banyak cinta dari Evelyn, sementara yang diberikannya pada kakaknya tersebut hanyalah rasa sakit, penyesalan, dan kekhawatiran. “Aku bisa mandiri, Kak, demi Tuhan. Umur aku sudah 29 tahun, itu lebih dari kata dewasa. Kakak bisa jalani hidup Kakak sendiri,” keluh Pevita. Meski dirinya berteriak kasar, tetapi hatinya jelas saja sedih. Kesengsaraannya menyeret orang-orang terdekat ke dalam sengsara yang sama. Itu membuatnya merasa bersalah. “Aku tahu. Tapi apa aku juga nggak boleh tahu tentang kabar kamu? Kamu nggak pernah ngehubungi aku kalau aku nggak hubungi kamu duluan. Kamu selalu bilang baik-baik saja, Pe.” “Aku memang baik-baik saja. Aku sehat dan aku menjalani hidup dengan baik. Kakak bisa lihat sendiri. Aku bahkan pacaran dengan banyak cowok.” Evelyn menghela napas keras di ujung sana. “Terserah kamu saja. Yang penting kamu datang dan jangan lupa untuk tinggal selama dua hari,” ujar wanita yang sudah pernah menikah itu setelahnya. “Kak Evelyn!” “Aku tutup. Sampai ketemu di rumah nanti.” Lalu tanpa pembicaraan apa-apa lagi, Evelyn benar-benar menutup telepon secara satu pihak, membuat Pevita membulatkan mata tak percaya. “Ah, sialan. Kak Eve!” gerutunya kesal. Tapi setelah itu, dia terdiam. Tatapannya berubah nanar, tertuju pada pintu bilik toilet yang berwarna putih gading. Ada rasa sedih dan kesal yang melingkupi dirinya saat ini. “Dasar pemaksa!” Pevita merengut kesal. Namun jauh dalam lubuk hati, ketakutan begitu mendominasi, mengingat dia akan kembali ke rumah lamanya—meski itu sudah terbiasa terjadi selama setahun sekali. Apakah dia bisa tinggal berlama-lama di tempat itu lagi? Ah, terserah! Pevita berdiri dengan kasar. Dia keluar dari kamar mandi, kembali ke mejanya barusan, dan mendapati orang-orang tampak sudah bersiap untuk pulang. Setelah sedikit berbincang-bincang, akhirnya semua orang memutuskan pulang. Dan tatapan Pevita segera saja tertuju pada Gara, menahan pria itu untuk meninggalkannya. "Antar aku pulang," kata perempuan itu, tersenyum innocent. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN