"Gara. Nama yang bagus, aku suka."
Pevita masih tenggelam dalam pemikirannya sendiri sejak tadi seraya terus memandangi Gara yang duduk tepat di hadapannya. Sementara yang lain sudah mulai bicara perihal projek mereka.
"Kapan saya bisa mulai mempelajari lukisan? Di mana saya akan belajar melukis? Di rumah Gara?" cerocos Pevita tiba-tiba, membuat semua orang termasuk sutradara untuk film tersebut—Aron Sungkar—geming dan menatap penuh selidik padanya.
Pevita menatap Gara yang bungkam. Ekspresinya datar, tetapi tatapan lurus pria itu cukup mengintimidasi. Meski sayangnya, Pevita bukan seseorang yang mudah diintimidasi oleh siapa pun.
"Pe, kita dari tadi sedang membicarakan jadwal. Bisakah setidaknya kamu tenang dan jangan banyak tingkah jika nggak bergabung dalam obrolan?" bisik Fiona, pelan tapi cukup untuk didengar oleh Pevita.
Pevita menyipitkan mata. Sejak tadi gadis itu memang sibuk dengan pikirannya sendiri. Lebih tepatnya sibuk memikirkan pria yang duduk di depannya. Sejak bertemu dengannya dua tahun lalu, Pevita sudah menaruh banyak pertanyaan yang tak pernah terjawab. Dan dia ingin mendapatkan jawabannya sekarang.
"Ah, baiklah," balas Pevita, mengangkat bahu ringan. Gadis itu lalu menghadapkan tubuhnya pada Aron dan juga Intan. "Bukankah film rencananya akan tayang di paruh terakhir tahun depan? Kita harus mempercepat semua proses, termasuk pelajaran melukis untuk saya. Benar begitu?"
Aron mengangguk kecil. "Kamu belum pernah melukis sekalipun, bukan? Kamu hanya perlu belajar posisi melukis dengan benar dan bagaimana cara memegang koas. Selebihnya akan ada peran pengganti ketika lukisan Pelangi di-zoom," jelas sutradara berusia pertengahan 40 itu.
Di usia yang tergolong masih muda tersebut, Aron sudah masuk ke dalam jajaran sutradara terbaik negeri ini. Dia bahkan pernah ikut dalam sebuah projek film Hollywood lima tahun lalu. Dia juga sudah sering mengisi seminar yang bersangkutan dengan film sebagai pemateri utama. Dia sudah menikah sepuluh tahun lalu dengan seorang gadis desa dan kini rumah tangga keduanya dikaruniai 3 orang anak yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Kini, keluarga kecilnya itu terkenal sebagai keluarga yang harmonis dengan anak-anak yang cerdas.
"Saya tidak butuh peran pengganti," pekik Pevita tiba-tiba. Gadis itu berdeham ketika lagi-lagi tatapan heran dilayangkan oleh semua orang padanya. "Maksud saya, saya ingin memerankan peran Pelangi dengan sangat baik. Saya ingin membuat film ini terasa hidup dan berkesan, bukan hanya untuk penonton, tetapi untuk saya juga. Saya ingin melakukannya sendiri, tanpa peran pengganti."
"Tapi melukis tidak bisa dilakukan serta-merta oleh orang awam, Nona Pevita," cetus Gara. Lelaki itu duduk dengan punggung lurus, sementara netranya menatap Pevita dengan tatapan yang sedikit terkesan mencemooh. "Pelangi adalah seorang jenius. Maka kita pasti perlu orang yang jenius pula dalam bidang melukis untuk beberapa scene. Setidaknya, orang yang sangat baik dalam melukis. Bukan begitu?" Gara mengakhiri kalimatnya seraya melirik Aron dan Intan.
"Saya bisa. Kamu tidak tahu bahwa saya memiliki tangan ajaib dengan otak yang jenius? Saya bisa melakukan banyak hal jika ingin," balas Pevita. Dia bangga dengan dirinya sendiri.
Kelebihan Pevita memang dia selalu bisa mempelajari banyak hal dengan cepat. Makanya dia sering disebut sebagai selebriti sempurna yang pantas mendapatkan predikat cinta pertama seluruh pria di Indonesia. Karena selain cantik dan perannya di film terakhir berhasil memikat banyak pemirsa, dia juga memiliki banyak bakat dan prestasi yang patut dibanggakan. Jadi wajar, meski terkadang arogan, masih banyak orang yang kagum padanya.
"Sungguh?" Gara mendelik. Dan itu, sungguh, agak menyebalkan.
Pevita mencondongkan tubuhnya ke depan—ke arah Gara—menautkan jemari di bawah dagu, lalu menatap pria itu dengan mata sedikit memicing. "Apakah saya tampak sedang bercanda, Pak Gara Narendra?" tukasnya.
Merasa bahwa suasana begitu awkward berkat kelakuan Pevita itu, Fiona berdeham, berusaha kembali mencairkan suasana.
"Kita tidak buru-buru. Jika Pak Gara memiliki kendala, kita bisa menyesuaikan waktunya sesuai waktu yang Bapak miliki," ucap Fiona, yang jelas saja langsung mendapat pelototan protes dari Pevita. "Lagi pula, kebetulan Pevita tidak mengambil projek apa pun untuk beberapa minggu ke depan sehingga bisa istirahat dan fokus pada projek film ini," lanjut perempuan itu dengan senyum ramah.
Namun, pada detik itu, mata Pevita kembali membulat sempurna. "Sejak kapan permohonan cuti aku disetujui, Fi?" pekiknya keras. "Bu Indira nggak bilang apa-apa ke aku!"
Dan, ketika itu Fiona hanya ingin memukul kepala Pevita dengan mug cantik di depannya. Astaga, Pevita memang tidak bisa ditebak. Selalu saja, kelakuannya membuat Fiona naik darah.
***
"Kamu benar-benar membuat dirimu sendiri malu."
Pevita memasang kacamata hitamnya seraya berjalan dengan bahu tegap dan dagu terangkat seperti biasa, lantas melirik Fiona yang berjalan di sisi kirinya dengan raut lelah. "Kamu yang salah nggak ngasih tahu lebih dulu ke aku perihal keputusan Bu Indira. Aku jadi terkejut gitu, lho," balasnya. Sama sekali bertingkah seperti dia tidak memiliki dosa apa pun.
"Tapi kagetnya nggak usah sealay itu juga, Pe!" keluh Fiona kesal.
Pevita kembali menoleh dengan sedikit memicingkan mata. "Alay?" tanyanya dengan nada paling menyebalkan. "Hell, this is me, Pevita Agatha. Mana bisa aku alay. Aku selalu bersikap anggun dan berkelas," sanggahnya.
"Tapi barusan kamu alay."
"Nggak. Itu cuma refleks."
"Iya, dan reaksi kamu tetap alay."
"Shut up, Fiona!" Pevita kekeuh tidak mau mengalah. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mengalah dalam perdebatan ini.
"Panggil aku dengan hormat, Nona! Aku manajer kamu!" Fiona juga tidak mau kalah hingga suaranya ikut meninggi.
Pada akhirnya Pevita mendesah kesal. "Terserah," ujarnya.
Dan perjalanan menuju mobil pun diisi oleh keheningan. Sampai ketika Gilang menyambut dan keduanya masuk ke dalam kendaraan beroda empat tersebut, Fiona menoleh ke belakang tempat Pevita duduk untuk memecah keheningan di antara mereka.
"Mau minum kopi?" tawarnya.
Pevita melirik singkat. "Jangan coba-coba memberi aku sogokan supaya aku nggak marah dan mogok kerja hari ini. Aku tahu kita punya jadwal padat sampai tiga hari ke depan sebelum aku cuti," balas Pevita, lalu memusatkan atensi ke luar, lewat kaca yang dibasahi oleh rintik-rintik air hujan di luar.
Fiona tersenyum samar. "Kamu lebih cocok jadi cenayang ketimbang selebriti, Pevita," katanya. Terselip nada jenaka di dalamnya.
"Terima kasih atas pujiannya, Bu Manajer. Aku tersanjung sekali," Pevita berujar sarkastik. Dan Fiona hanya tertawa sumbang sambil kembali berusaha mencairkan suasana dan mengembalikan mood aktris sekaligus sahabatnya itu menjadi lebih baik.
Sementara, Pevita sudah tidak lagi peduli akan perdebatannya dengan Fiona barusan. Karena otaknya sudah berlarian ke mana-mana tatkala cairan bening mengucur semakin deras dengan langit menggelap semakin nyata.
Pevita ingin pulang. Mendekap rasa yang kembali hinggap dan membunuhnya perlahan. Pevita ingin lupa. Pevita ingin bahagia. Pevita ingin baik-baik saja. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Tanpa bayangan hitam di balik hujan yang menikamnya perlahan.
Pevita ingin menghancurkan semua ingatan itu dan hidup dengan baik. Pevita sungguh ingin hidup ... dan lupa.
Otak Pevita terlalu lelah untuk terus bernostalgia. Terlebih, obat yang dia tenggak beberapa waktu lalu sudah mempengaruhi kesadarannya. Hingga perlahan-lahan, kantuk datang dan Pevita terlelap lama.
***
"Kamu lumayan banyak bicara hari ini."
Gara yang tengah mengemudi sejak tadi, melirik Intan yang duduk di sisinya sekilas. Kemudian, pria itu kembali memusatkan atensi pada jalanan di depan sana dan berkonsentrasi dengan kemudinya. Dia selalu seperti itu sejak dua tahun belakangan, biasanya. Jangankan untuk bicara banyak, sekadar menjawab tanya saja terkadang begitu singkat.
"Maksudku, tadi. Waktu kita rapat," lanjut Intan dengan senyum nanar.
"Aku?" Gara bertanya skeptis. "Nggak sama sekali," katanya.
Intan tersenyum tipis. Jeda selama beberapa saat, sampai kemudian Intan kembali bersuara. "Aku kangen kamu yang dulu, Ga," gumam gadis itu. Dia tidak bermaksud melirih, tetapi nada yang keluar dari bibirnya jelas terdengar sangat pelan, seolah menegaskan rasa atas kalimat yang dia utarakan.
Sementara di sisinya, raut wajah Gara mengeras. Pria berusia awal tiga puluhan itu tidak lekas membalas, tetapi sorot matanya yang sempat goyah, membuat Intan merasa bahwa perkataannya cukup menohok jantung lelaki itu. Bahwa, lelaki itu mungkin terkejut atas kalimat yang dia utarakan secara tiba-tiba.
"Kamu sangat tertutup sekarang. Kamu nggak pernah ketawa, atau sekadar senyum dengan lepas tanpa beban. Aku nggak suka itu."
Intan menoleh, menatap Gara dengan intens. Ini adalah kali pertama Intan bicara seserius ini soal laki-laki itu. Kali pertama juga dia jujur tentang perasaannya.
"Kamu lupa? Aku sudah mati," jawab Gara, masih dengan netra yang tertuju ke depan sana, tanpa menoleh pada Intan dan memberikan ekspresi apa pun yang membuat gadis itu mampu bernapas lega.
"Ga ...." Intan masih berusaha bicara, menyadarkan pria itu perihal banyak hal di sekelilingnya. Tapi,
"Aku lagi nyetir. Tolong jangan bicarakan hal-hal yang bisa bikin konsentrasiku buyar, Tan," tukas Gara datar. Sedatar ekspresi wajahnya yang jarang berubah.
Dan pada akhirnya, Intan mengalah. Sejak dulu, hati Gara tidak pernah mudah untuk dia sentuh. Anehnya, justru perasaan Intan sebaliknya. Sesukar apa pun Gara untuk dia raih, sesakit apa pun perasaannya begitu Gara menjalin hubungan dengan wanita lain, hatinya masih bertahan dalam cinta satu pihak yang dia rasakan. Lalu semenjak kematian Vanilla, Intan sadar, hati Gara bukan lagi tak bisa disentuh, tapi sangat sulit bahkan hanya untuk dia lihat. Intan merasa memiliki kesempatan, tetapi kesempatan itu bagaikan hal tak kasat mata. Dia ada, tetapi Intan hanya bisa merasakan tanpa bisa melihatnya, apalagi memilikinya.
Mengejar hati Gara, bagaikan mencari secercah sinar di tengah lorong sempit dan gelap. Bukannya menemukan jalan keluar untuk mendapatkan cahaya, Intan justru kehilangan napas dan sesak. Jika memaksakan, mungkin dia akan berakhir tewas di tengah-tengah perjalanan. Jauh sebelum dia melihat sinar yang dicarinya. Namun untuk menyerah pun ... Intan belum bisa. Sekuat apa pun dia mencoba. Menyerah, sama saja dengan bunuh diri.
***