Gara terjaga dari lelap dan mendapati dirinya berada di studio, sesuatu yang bukan hanya sekali terjadi. Tak terhitung berapa malam dia habiskan di dalam ruangan berbau cat air itu dalam dua tahun terakhir. Bahkan saat tiga bulan pertama kematian Vanilla, setiap hari nyaris dia habiskan di sana. Dia sudah seperti zombie dengan jam tidur dan makan yang tak manusiawi. Kadang kala yang dilakukannya hanyalah diam, merenung, lalu diam-diam air matanya menetes. Dia menghancurkan dirinya sendiri dengan menenggelamkan diri di dalam masa lalu.
Mendesah pelan, Gara bangkit dari duduknya. Berdiri di depan sebuah jendela yang membuat cahaya mentari dari luar masuk ke dalam ruangan tersebut. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, sekaligus berdo'a dalam hati, agar Vanilla bahagia di atas sana. Do'a yang tak pernah dia lewatkan, yang selalu diakhiri dengan permintaan maaf yang tak tersuarakan.
"Kamu tidur di studio lagi?"
Suara rendah Amanda, ibunya, terdengar ketika Gara keluar dari tempat itu. Wanita tersebut sudah rapi dengan setelan tunik trendi di kalangan ibu-ibu fashionable. Tampak cantik dengan tataan rambut dan make-up yang tidak berlebihan. Mungkin karena dia mendedikasikan diri untuk salon kecantikan selama puluhan tahun, makanya meski di usia yang tak lagi muda, dia masih terlihat cantik. Dia pandai mengurus dirinya, sungguh. Dan wajar saja Jeffrey mau pun Agnes memiliki paras yang rupawan, Amanda sendiri sangat cantik.
"Mama mau pergi ke salon lagi?" Alih-alih menjawab pertanyaan Amanda, Gara malah balik melemparkan pertanyaan.
Amanda mendesah pelan. Meski Gara tak menjawab, sudah pasti dia tahu jawabannya. "Iya. Mama baru mau susul kamu. Ada Intan di dalam, nyari kamu," katanya.
"Intan?" Gara mengernyit. Lalu buru-buru masuk ke dalam rumah, dan benar saja, sosok perempuan bernama Intan terlihat tengah duduk di salah satu sofa ruang tamu seraya menggendong Thalia yang sepertinya sudah dimandikan, terlihat dari pakaian yang berbeda dengan semalam dan juga bedak yang membuat pipi cabinya belepotan.
"Gara!"
Suara Intan yang agak serak basah terdengar kemudian. Perempuan dengan kemeja polos berwarna biru tua itu menatap Gara dengan senyum sumringah.
"Ada apa, Ntan? Tumben kemari?" tanya Gara, duduk di sofa single dan meraih Thalia ke gendongannya. Sayang, anak itu malah meronta dan ingin kembali digendong oleh Intan.
Intan tersenyum pada Thalia, mendudukkan anak itu di gendongannya, kemudian menatap Gara. "Aku mau membicarakan soal pekerjaan, sih," jawabnya. "Kamu tahu, kan, projek film Pelangi yang aku garap setahun belakangan?"
Sebagai informasi, Intan adalah seorang penulis. Biasanya dia menulis n****+ dan naskah skenario FTV untuk sebuah rumah produksi. Sejauh ini, dia sudah menulis tujuh n****+ yang terbit mayor dan lebih dari 50 judul FTV yang tayang di beberapa chanel teve. Selain itu, dia memiliki beberapa projek film layar lebar meski bukan sebagai penulis utama. Baru setahun belakangan dia benar-benar memberanikan diri menulis naskah film sendiri dan mengajukannya pada rumah produksi tempatnya bekerja.
Ketika itu, Gara menjadi saksi dari betapa antusiasnya Intan dalam menggarap naskahnya tersebut. Dia bahkan jadi orang yang paling direcoki karena kebetulan pekerjaan tokoh utama yang Intan tulis adalah seorang pelukis.
Dan hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Beberapa minggu lalu, Intan memberi kabar bahwa naskahnya disetujui oleh produser rumah produksi tersebut.
"Sutradara minta aku hubungi kamu untuk mengajari dasar-dasar teknik melukis ke aktris yang berperan nanti."
"Aku?" Gara mengernyit.
Intan merotasikan bola matanya lalu menggeleng pelan. "Ya, kamu. Siapa lagi? Orang aku datangnya ke kamu," balasnya.
Gara geming sejenak. "Aku nggak bisa," tukasnya kemudian.
"Plis, Ga. Aku cuma punya kamu. Ini demi kesuksesan film perdana aku. Lagian selama penggarapan Pelangi, kamu yang bantuin aku untuk riset. Sekali lagi aja, ya?" Intan menatap Gara dengan tatapan penuh permohonan. Tentu saja membuat Gara tidak tega.
"Perempuan?" tanya Gara kemudian, memastikan.
Jika ya, tentu saja Gara harus pikir ulang. Dia tidak begitu suka berhubungan dengan perempuan sekarang. Takut ada hal-hal lain yang terjadi. Dan itu pernah terjadi beberapa waktu lalu, ketika dia bekerja sama dengan sebuah yayasan untuk memasarkan salah satu lukisannya untuk kemudian hasil penjualan diberikan pada panti asuhan. Kebetulan orang yang ditugaskan diskusi dengannya perempuan. Bisa ditebak, perempuan itu jatuh hati pada Gara, dan Gara harus memukul mundur gadis itu.
"Memang aku pernah bilang kalau Pelangi itu sosok laki-laki?" Intan menatap Gara tak habis pikir. Gara selalu saja melupakan beberapa hal. "Ya? Gara, ya? Sekali lagi aja," pinta Intan sungguh-sungguh.
Setelah beberapa pertimbangan, Gara akhirnya bersuara, "Ini yang terakhir," katanya.
Dia sudah berteman cukup lama dengan Intan sejak SMA. Secara kebetulan juga, gadis tersebut adalah anak dari dosennya. Melalui Intan, Gara memiliki koneksi dengan orang-orang yang membantu Gara memasarkan hasil karyanya. Mengingat, keluarga Intan kebanyakan satu profesi dengan Gara, pelukis, hanya Intan yang banting setir menjadi penulis. Jadi, rasanya akan sangat canggung jika Gara menolak permintaan Intan.
Setidaknya, Gara berharap, kali ini tidak akan ada insiden yang menciptakan hal-hal rumit dalam hidupnya.
"Deal!" Intan mengulurkan tangan dengan antusias. Yang lalu dibalas oleh Gara. Mereka berjabatan tangan selama tiga detik. Intan dengan tampang sumringah, sementara Gara masih dengan wajah tanpa ekspresi.
"Kamu luang hari ini?" Intan bertanya seraya memainkan pipi gembil Thalia yang masih anteng di gendongannya.
"Ya, aku selalu luang setiap hari, kecuali kalau sedang ada pameran atau kegiatan-kegiatan penting lain."
"Kalau begitu kita berangkat sekarang!" ujar Intan, menghadirkan reaksi terkejut orang yang dia ajak.
"Apa? Sekarang? Thalia gimana?"
Dan entah kebetulan macam apa hari itu, sosok Agnes tiba-tiba muncul dari belakang. Masih mengenakan piyama tidur dan wajah bantal yang kentara.
"Thalia biar sama aku. Aku libur dan Lucas nggak ada kabar."
"Kamu yakin?" Gara menoleh ke arah kedatangan Agnes. Menilik penampilan adiknya tersebut lalu menggeleng pelan. Tumben gadis itu bangun agak siang.
"Iya. Nanti aku ke rumah Kak Jeffrey juga soalnya. Ada janji sama Lana. Dia pasti seneng kalau aku bawa Thalia."
Akhirnya, karena mendadak hari itu Agnes menjadi malaikat yang bersedia menjaga Thalia, Intan dan Gara pergi ke tempat yang telah ditentukan untuk bertemu sutradara dan juga aktris yang akan berperan.
Lalu, Gara harus dikejutkan dengan kenyataan bahwa aktris yang akan belajar dengannya adalah ... Pevita.
Bukankah ini kebetulan paling tidak menguntungkan untuk Gara? Dia jadi mengingat kejadian beberapa hari lalu ketika Pevita bicara kalimat absurd dengan lantang di depan kantor Jeffrey. Dan itu, sungguh, sangat memalukan.
"Dia ... pelukisnya?"
"Dia ... aktrisnya?"
Gara dan Pevita berucap bersamaan. Keduanya menatap Intan dengan dua bola mata membulat. Meski Intan tidak menjawab, jelas mereka tahu jawabannya. Lantas ...
"Great!"
"s**t!"
... lagi-lagi keduanya berucap bersamaan. Membuat orang-orang lain yang tidak tahu menahu masalah keduanya saling melempar pandang dengan bingung.
"Semoga bisa bekerja sama dengan baik. Tolong ajari aku, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh!" Pevita memekik senang seraya mengulurkan tangan pada Gara. "Siapa namamu?" tanyanya seraya memiringkan kepala dengan senyum lebar yang terpatri.
***