“Antar aku pulang.”
Gara menoleh, mendapati Pevita menatap dengan tatapan anak kucing. Sungguh tidak sesuai dengan penampilannya yang tampak dewasa. Sungguh. Gara hanya menatapnya sebentar, kemudian mengalihkan lagi tatapannya ke depan, tak peduli pada wanita itu.
Bukan Pevita namanya jika dia menyerah begitu saja ketika Gara abaikan. Lihat, dia dengan segera menghadang langkah pria berusia awal 30-an tersebut dan berdiri di depannya.
“Bukankah tidak sopan membiarkan saya pulang sendirian, Pak Gara Narendra?” Perempuan itu mengubah cara bicaranya menjadi formal. Sedikit memicing skeptis seraya sebelah tangannya berkacak pinggang. Sikap angkuh perempuan tersebut entah mengapa begitu cocok dengan dirinya.
Gara menekan bibirnya menjadi satu garis tipis. “Saya memang tidak sopan,” tukasnya tak peduli.
Pevita merengut sesuai dugaan Gara. “Tidak etis juga membiarkan seorang perempuan pulang naik taksi di jam seperti ini. Jika terjadi sesuatu di jalan, misalnya sopir taksi yang ternyata adalah penculik, atau misal dia adalah taksi hantu, bagaimana?” wanita muda itu bicara menggebu-gebu, tanpa titik dan koma, begitu cepat. Gara jadi speechless dibuatnya.
“Apa kamu memang secerewet ini sebelumnya?” tanya pria itu sangsi. Menatap penuh selidik hingga matanya agak menyipit.
Pevita mengangkat bahu ringan, tersenyum. “Tidak. Saya perempuan pendiam, polos, dan—“
“Tukang bohong,” sela Gara datar.
Pevita membeliak. Tidak pernah ada yang seberani ini padanya—kecuali Fiona, itu pun dalam batasan tertentu—tapi pria ini? Dia membuat Pevita semakin ingin mendapatkan hatinya, sungguh.
“Aku nggak bohong!” pekiknya, kembali mengubah cara bicaranya menjadi non-formal. “Kamu bisa tanya ke manajer atau asisten aku. Bisa juga tanya ke siapa pun yang pernah kerja bareng aku.”
Menyaksikan Gara berdecih seraya menggeleng pelan tanda dia meragukan ucapannya, Pevita mengerutkan bibir. “Di sini aku cuma mau mengimbangi kamu saja. Karena kamu jarang bicara, otomatis aku yang harus aktif bicara ini itu supaya pertemuan kita nggak monoton. Bukan begitu?” jelas Pevita, diakhiri dengan pertanyaan yang ditujukan kepada Gara.
Gara hanya membuang pandang. “Terserah.”
Saat Gara akan berjalan pergi, Pevita kembali menghadang pria itu. “Antar aku pulang, ya? Hm?” dia bahkan menautkan kedua jemarinya di depan dagu, memasang mata kucing yang sungguh, dia tidak pernah memperlihatkan mata itu pada siapa pun setelah beberapa tahun!
“Saya harus mampir ke suatu tempat. Silakan hubungi manajer atau asisten kamu supaya menjemput, oke? Saya buru-buru.” Nada bicara pria itu benar-benar malas. Dia sungguh ingin jauh dari wanita itu. Tapi justru dia semakin mendekat, dan itu membuatnya semakin kalut, tidak nyaman, dan ingin kabur dari hadapannya.
Sementara, “Hape aku mati. Serius!” dusta Pevita. Dia tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Pokoknya, malam ini dia harus bisa pulang bersama Gara, apa pun yang terjadi!
“Kamu bisa pakai ponsel saya. Kamu hafal nomor orang rumah atau siapa pun itu?”
“Itulah masalahnya! Aku orangnya pelupa. Nggak ingat nomor siapa pun. Nomor aku sendiri aja nggak tahu.” Lagi-lagi, Pevita berbohong. Jelas saja dia tahu nomor Fiona dan kakaknya. Dia mengingat nomor mereka di luar kepala, karena dia sungguh tidak bisa tanpa mereka. Yah, meskipun sekarang jarang sekali dia menghubungi Evelyn, tetapi dulu, nomor wanita itu adalah yang pertama dia hubungi jika terjadi sesuatu.
“Kalau semua itu kamu tidak tahu, sepertinya kamu hanya harus tahu satu.” Gara berusaha menahan diri, sehingga rahangnya mengeras.
“Apa?” tanya Pevita, tersenyum polos.
“Kamu merepotkan.”
Bukannya tersinggung, Pevita malah semakin melebarkan senyum. Sungguh membuat Gara bergidik ngeri akan keanehan wanita tersebut. “Terima kasih. Satu hal itu aku jelas ingat. Aku memang merepotkan,” ucap Pevita akhirnya.
Gara merotasikan bola mata dengan malas, seraya mengembuskan napasnya jengah. Namun setelah berbagai perdebatan konyol itu, pada akhirnya DENGAN SANGAT TERPAKSA, Gara membiarkan Pevita menumpang pulang bersamanya.
Namun tebak, apa yang membuat Gara semakin sebal? Bukannya langsung masuk ke mobil, Pevita malah berdiri dengan wajah merajuk di sisi mobilnya. Ketika Gara tanya kenapa, dia jawab, “Bukain pintunya.” Bukankah dia keterlaluan?
Gara tidak pernah sekesal ini atas tingkah seseorang. Sungguh.
“Aku terbiasa dilayani oleh asisten. Jadi tolong maklum,” ucap Pevita saat mereka sudah masuk ke dalam mobil.
“Kamu hanya manja dan tidak mengenal situasi,” Gara membalas malas seraya menyalakan mesin mobil dan meninggalkan area restoran barusan.
Pevita tersenyum, mengangkat bahu acuh.
“Kamu pernah nebak nggak, atau mungkin berandai-andai kalau setelah kejadian dua tahun lalu, kamu bakal ketemu aku?” Pevita tiba-tiba membuka percakapan di tengah perjalanan mereka.
Gara tidak repot untuk melirik Pevita saat menjawab, “Saya tidak tahu kejadian mana yang kamu bicarakan,” katanya.
“Ah, kamu masih betah berpura-pura,” keluh Pevita disertai helaan napas pelannya. “Baiklah. Biar aku saja yang cerita,” lanjutnya, seperti bermonolog.
“Sebenarnya, aku sudah nggak terlalu ingat kejadian waktu itu. Tapi beberapa waktu lalu, ketika hujan turun dan aku nyaris nggak sadar, tiba-tiba saja aku teringat malam waktu kita ketemu. Aku berpikir, bagaimana keadaan cowok itu? Apa yang dia alami sampai pernah terpikir mau bunuh diri? Apa sekarang dia baik-baik saja? Kalau kita ketemu lagi, apa dia bakal ingat? Apa kita kemudian akan memutuskan untuk berteman? Aku mau ketemu dia....”
Gara menghidupkan tape radio dan memutar volumenya dengan agak keras sehingga meredam suara Pevita. Membuat Pevita menoleh dengan kesal. Saat wanita itu hendak mematikan tape radio tersebut, Gara mengalihkan perhatian padanya dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. Namun Pevita jelas tidak kalah. Tak mengindahkan peringatan Gara, dia tetap mematikan tape tersebut.
“Oke, aku nggak akan bahas masalah itu. Puas kamu?” Pevita berdecak sebal, lalu menyilangkan tangannya di d**a seraya netranya tertuju lurus ke jalanan. “Kenapa sensitif sekali kalau aku bahas soal hari itu?” gerutunya pada diri sendiri.
Keheningan tercipta selama beberapa waktu, membuat Pevita bosan bukan main. Dia menoleh, melihat Gara yang serius dengan setirnya. Menerobos jalanan ibu kota yang macet di jam-jam malam seperti ini. Entah apa yang terjadi, tetapi melihat wajah pria itu, seketika membuat benak Pevita dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Wajah datar dengan tatapan misterius itu membuatnya semakin penasaran, ada kisah apa di baliknya? Luka sebesar apa di balik setiap perkataan kasar dan perilaku dinginnya? Pevita yakin, semua itu tidak serta merta terjadi. Selalu ada alasan di balik sikap seseorang, bukan begitu?
Ckittt! Mobil berhenti mendadak, membuat tubuh Pevita terpental ke depan sehingga keningnya mengenai dashboard dengan lumayan keras.
“s**t!” umpat perempuan itu. “Kamu gila?!” Pevita memelotot tajam, seraya meringis memegangi keningnya yang terluka.
Di sisinya, Gara menoleh datar. Sedikit mengangkat alis saat Pevita menatap kesal. “Ada kucing lewat,” jawab Gara santai. Pevita sampai harus menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan emosinya.
“Mana ada kucing di jalanan padat begini!”
Gara hanya mengedikkan bahu ringan. “Makanya jangan terlalu fokus memperhatikan wajah orang lain. Itu tidak sopan.”
Pevita mengerang sebal. “Dasar pelit! Orang cuma natap sebentar,” gerutunya. Lalu sisa perjalanan dihabiskannya dengan berusaha meredam kekesalan pada sosok Gara. Menaklukkan pria itu memang tidak mudah.
Pevita menyuruh Gara berhenti di depan gerbang rumahnya yang terletak agak di pinggiran kota. Rumah dengan dua lantai tetapi cukup luas dan memiliki halaman yang besar.
“Lusa jadi, kan? Hari pertama kamu jadi tutor aku,” ucap Pevita setelah mobil berhenti.
“Ya. Silakan keluar.” Gara menjawab malas.
Pevita berdecak. “Seharusnya kamu bilang, 'tentu saja jadi. Ayo masuk rumah, istirahat yang cukup, dan jangan lupa mimpi indah. Selamat malam.’” Dia tersenyum manis seraya menatap hangat Gara saat mengatakan hal itu. Berakting menjadi kekasih yang baik.
“Berisik. Cepat pergi.”
Sungguh jawaban yang sangat jauh berbeda dari apa yang Pevita harapkan. Tapi tidak apa, Pevita mulai terbiasa dengan dingin dan kasarnya pria itu.
“Baiklah. Aku tunggu lusa nanti. Terima kasih tumpangannya malam ini,” ucap Pevita manis. Lalu keluar dari dalam mobil.
Tanpa menunggu lama, Gara sudah menghidupkan mobil dan meninggalkan rumahnya, membuat Pevita menghela napas pelan. “Dasar cowok berhati es. Awas saja, aku bakal buat kamu jatuh cinta ke aku!”
***
“Pevita, kamu gila? Ke mana kamu seharian? Kenapa nggak ngabarin aku dan ponsel kamu mati? Aku sama Gilang sudah nyari kamu ke mana-mana! Kami bahkan hampir melaporkan kehilangan kamu ke pihak berwajib kalau kamu belum pulang juga sampai jam sepuluh malam!”
Kedatangan Pevita ke rumah disambut oleh teriakkan Fiona di ruang tengah. Membuat perempuan bersurai panjang itu memutar bola mata.
“Fiona, please!” tukasnya, “aku hanya pergi keluar sebentar, seharian apanya?”
“Kamu pergi sedari sore dan sengaja nggak balas pesan dan angkat telepon aku. Gimana aku bisa positif thinking, ha?” Fiona masih tak menurunkan nada bicaranya, meskipun Gilang menyentuh pundaknya untuk memberikan pengertian agar dia bisa lebih tenang.
“Kamu itu publik figur. Nama kamu lagi naik-naiknya. Pasti ada saja orang yang mau jahatin kamu, wajar kalau aku khawatir sebagai teman dan juga manajer kamu!” lanjut wanita itu lagi, tampak begitu kalut dan frustrasi. Dia mundur beberapa langkah sambil menyugar rambutnya yang dicat ombre.
“Aku cuma pergi ketemu Gara. Sebentar saja, kok. Jangan berlebihan,” Pevita menukas pelan. Berjalan menuju dispenser air dan menuangkan air mineral ke gelas yang lalu dia tenggak hingga tandas.
“Aku nggak suka kamu seperti ini, Pe. Sudah aku bilang sebelumnya kalau jangan terlihat dengan skandal kencan murahan. Dan apa yang kamu lakukan dengan orang bernama Gara itu? Kamu jelas-jelas kelihatan sangat mengejar-ngejar dia. Apa yang orang pikirkan nanti? Seorang Pevita mengejar laki-laki biasa kayak dia, eh?”
Pevita memejamkan mata mendengar rentetan kalimat yang Fiona ucapkan. Kemudian menyimpan gelasnya di meja dengan cukup keras.
“Apa yang salah dengan itu? Aku manusia juga. Aku punya hati dan perasaan, kenapa aku nggak boleh terlibat hubungan asmara?” Pevita menoleh dan menatap Fiona dengan tatapan nyalang. Sementara, di sisi Fiona, Gilang berusaha menghentikan wanita itu untuk terus berbicara. Dia tahu, jika perdebatan terus berlanjut, mereka hanya akan melukai satu sama lain.
“Tapi kamu kelihatan tergila-gila sama dia meskipun dia jelas nggak suka kamu. Kamu nggak tersinggung? Harga diri kamu nggak terluka?” Fiona berterus terang seraya menepis lengan Gilang yang menariknya.
Pevita tersenyum miris mendengar penuturan Fiona yang mengena tepat di jantungnya. Lalu mengangkat wajah dan menatap tepat ke mata Fiona. “Aku bisa urus perasaan aku sendiri, kehidupan aku sendiri. Hanya karena kamu manajer aku, bukan berarti kamu berhak mendikte seluruh kehidupan aku, Fi. Hidupku masih milik aku,” ucapnya. Jelas dia emosi, terlihat dari sorot matanya yang membara.
Fiona mengembuskan napas lemah. Wajahnya melunak, tidak seemosi tadi. Mungkin, perkataan Pevita sudah menyadarkan bahwa apa yang dia katakan barusan terlalu berlebihan.
“Pe, bukan itu maksud aku,” katanya.
Tapi, Pevita tak lagi mendengarkan ucapannya. Dia melenggang pergi begitu saja meninggalkan wanita itu, memasuki kamar, dan menutup keras pintu sehingga menimbulkan suara debuman yang keras.
Fiona mengerang frustrasi. Mengacak rambutnya hingga benar-benar berantakan.
"Kamu terlalu kasar barusan," ucap Gilang. Tak jauh berbeda dari dirinya, tampak frustrasi.
***