Gara tidak melupakan perempuan itu, tetapi bukan berarti dia juga selalu mengingatnya. Dan Gara sendiri tidak menyangka bahwa perempuan di malam mengerikan itu masih mengingatnya. Padahal, waktu sudah berlalu. Gara juga menyaksikan perempuan tersebut tampak baik-baik saja di televisi. Oh, Gara tahu bahwa televisi hanya menampilkan sisi terbaiknya, tapi dia melihat perempuan tadi memang baik-baik saja. Jadi, untuk apa dia mengingat Gara sementara Gara ingin melupakan semuanya? Termasuk melupakan fakta bahwa ada orang asing yang tahu tentang borok yang dia derita.
Gara masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin. Tapi belum sempat dia meninggalkan kantor Jeffrey seusai menitipkan Thalia pada Lana, ponselnya berbunyi.
“Iya, Lan—“
“KAK! Lupa, ya, Thalia nggak dikasih pampers? Dia pup tahu di ruangan Mas Jeffrey!”
Gara seketika menepuk jidat. “Astaga. Aku lupa,” gumamnya meringis. “Habisnya lagi buru-buru banget. Lagian kamu kenapa harus di kantor Jeffrey coba? Makin jauh ke galeri tempat pameran berlangsung.”
“Aku harus jagain dia lah. Biar nggak banyak yang menel. Kan ngeri, katanya kalau istri lagi hamil suka banyak godaan, contohnya suami yang kepincut sama perempuan lain.”
Gara memutar bola mata malas seraya mulai tancap gas meninggalkan gedung perkantoran besar itu. Acara pameran yang digelar di pusat kota yang melibatkan dirinya mungkin akan mulai beberapa saat lagi. Dan sebagai penyumbang terbanyak lukisan di sana, rasanya amat canggung jikalau Gara harus terlambat.
“Kamu, tuh, kebanyakan nonton film teve istri yang tersakiti, Lana,” decak Gara tak habis pikir. “Lagian, Jeffrey bucin banget sama kamu gitu, gimana dia mau selingkuh coba?”
“Namanya juga jaga-jaga,” gerutu Lana di seberang sana. “Ya udah, sekarang gimana?”
“Apanya? Ya, kamu bawa Thalia ke toiletlah. Nanti tolong pakai-in pampers.”
“CELANANYA PENUH PUP, KAK GARAAA! KOTOR!”
Gara memejamkan mata, merasa pening mendengar teriakkan adik iparnya yang ajaib itu. Setelah hamil, kelakuannya semakin tidak terkendali. Untungnya yang jadi suami perempuan itu Jeffrey, coba kalau Gara? Mungkin sudah dia tinggalkan Lana sejak jauh-jauh hari. Heran juga kenapa Jeffrey begitu mencintai sosok itu. Dan ketika ditanya, adiknya itu selalu menjawab, “Lo belum aja ketemu orang yang lo cintai dengan tulus tanpa alasan lagi. Kalau lo udah nemu, dijamin nggak bakal ngeledek gue bucin.”
“Suami kamu, tuh, sultan. Beli celana satu doang mah seharga permen karet. Beli sama tokonya juga dia nggak keberatan, Svetlana. Udah, ya. Aku tutup. Lagi di jalan. Jaga Thalia.”
Gara menutup sambungan telepon begitu saja. Yakin, bahwa di seberang sana Lana pasti akan mengumpati dirinya. Sudah biasa.
Beberapa menit kemudian, Gara sudah sampai di depan gedung tempat pameran digelar. Tentu saja sudah banyak orang-orang dari berbagai kalangan yang mencintai lukisan berada di sana. Gara turun dan berjalan memasuki gedung itu dengan langkah pasti. Sesekali tersenyum tipis pada orang yang menyapanya.
“Gara!”
Gara mengangguk kecil mendapati Azka, teman sekaligus pimpinan yayasan seni yang selama ini membantunya dalam memasarkan lukisan yang dia buat, melambaikan tangan.
Umur lelaki itu dua tahun lebih tua darinya. Menyukai karya seni, terutama lukisan, sangat ramah dan sopan santun, serta berpenampilan sebaik karakternya. Gara sudah tak aneh, banyak kaum perempuan tergila-gila pada lelaki itu, tapi sepertinya, dia tidak pernah tertarik untuk menjalin hubungan, entah apa dasarnya. Jadi karena hal itu, Gara merasa nyaman dekat dengan Azka. Pun sebaliknya. Mereka sama-sama lebih senang melajang tanpa repot membicarakan perihal wanita.
“Pak, ini Gara, seniman di balik lukisan yang Bapak bilang luar biasa ini,” ucap Azka segera ketika Gara tiba di hadapannya dengan seorang pria paruh baya yang sepertinya orang asing. “Dan Azka, ini Pak Robert. Profesor di salah satu universitas seni di Singapore.”
“Ah, ini, ya? Pelukis jenius itu?”
Gara terkekeh pelan. “Tidak. Anda terlalu memuji, Pak,” katanya, merendah.
Pameran berlangsung lancar hingga sore hari. Dan selama itu pula, Gara berbicara dengan berbagai orang berpengaruh dalam seni. Tak heran, setahun belakangan ini namanya semakin dikenal di kalangan penikmat seni, khususnya lukisan. Karya seni yang memiliki nyawa, yang hanya melihatnya saja mampu membuat beberapa orang sensitif menangis. Lukisan yang entah mengapa memiliki sisi yang terlihat begitu sedih. Seolah sang pencipta tengah menuangkan setiap kesakitan atas lukanya ke dalam karya seni tersebut.
“Langsung pulang? Nggak sekalian kita makan malam dulu?”
Gara menggeleng pelan. “Lain kali, mungkin? Takut Thalia rewel,” balas Gara pada Azka.
Lelaki itu tersenyum lebar. “Oh, oke kalau begitu. Kapan-kapan kita makan atau apa di luar pekerjaan. Kangen nyubit pipi tembam Thalia,” balas Azka seraya terkekeh di akhir kalimat.
“Astaga. Kamu punya dua ponakan kembar di rumah, Ka. Apa masih belum cukup?”
Azka tertawa ringan, sementara Gara hanya tersenyum tipis dibuatnya. Sudah sejak lama, sejak Thalia hadir menggantikan mamanya, Gara kehilangan banyak hak untuk bahagia. Bahkan untuk tertawa pun, Gara merasa berdosa. Orang-orang bilang, Gara berhati dingin dan beku. Padahal, Gara memiliki hati yang terlampau hangat dan lembut. Makanya itu, satu kesalahan fatal yang mengantarkan Vanilla pergi, membuat Gara dirundung rasa bersalah yang tak berkesudahan.
Gara tidak langsung pergi ke rumah setelah menyelesaikan pameran di hari pertama, melainkan ke rumah Jeffrey terlebih dahulu. Dia harus menjemput Thalia yang sementara diasuh oleh Lana—terkadang Agnes—karena beberapa waktu lalu pengasuh Thalia mendadak berhenti dan sampai saat ini belum menemukan penggantinya.
“Mas, kamu tuh makin hari makin m***m tahu, nggak?”
Samar-samar Gara mendengar suara orang tengah berbincang ketika memasuki rumah Lana dan Jeffrey.
“Biarin, kan, sama istri sendiri? Kalau sama perempuan lain baru nggak boleh. Iya, kan?”
“Cih, bisa aja ngasih alesannya, Pak Tua!”
Gara speechless ketika sampai di pusat suara-suara itu lantas menemukan Jeffrey dan Lana dalam keadaan yang kurang pantas dilihat. Untungnya baik Gara, Agnes, mau pun Lucas sudah terbiasa dengan pemandangan dua makhluk bucin yang tak tahu adab itu. Sering kali bermesraan tidak tahu tempat. Dan apa sekarang? Itu Thalia di hadapan mereka, astaga!
“Heh! Dasar pasutri ulat bulu! Kalian nggak malu mesra-mesraan depan anak kecil?” teriak Gara murka. Tak lupa melempar bantal sofa ke kepala Jeffrey saat dia melewati dua orang di sofa depan televisi.
Dua orang yang dimaksud hanya diam, saling melempar pandang sesaat, kemudian berdeham membenarkan posisi duduk mereka. Sementara Gara mengambil Thalia yang tengah duduk sambil memainkan boneka Barbie-nya yang bisa mengeluarkan bunyi 'mama-mama-mama!’ di lantai.
“Lo ngapain ke sini, Kak? Nggak ngetuk pintu atau apa main nyelonong!”
Gara menatap setajam silet pada Jeffrey. “Lo pikir apa? Ngambil Thalia, lha. Ketuk pintu ketuk pintu, kebiasaan kalian tuh nggak pernah kunci pintu! Untung nggak pernah kemalingan!”
Jeffrey memutar bola mata dengan malas. Rasanya, menghadapi berbagai perkataan tajam dan sinis Gara sudah menjadi hal biasa untuknya. Padahal dulu, Jeffrey-lah yang berperan sebagai si pria dingin. Dan sekarang, tepatnya setelah dua tahun lalu, posisi itu berubah. Yeah, Jeffrey paham, tentu ada alasan masuk akal di balik perubahan sikap Gara. Dan dia mengetahuinya dengan sangat jelas. Jeffrey juga pernah merasa sangat menyesal dan begitu kesakitan karena kesalahannya. Untungnya, Tuhan masih baik untuk tetap membiarkan Jeffrey membayar kesalahannya kepada Lana, sementara Gara? Tuhan benar-benar mengutuknya.
“Apa kabar anak kalian nanti kalau udah lahir? Setiap hari disuguhi pemandangan kotor. Kasihan.” Gara menggeleng tak habis pikir seraya meraih Thalia ke gendongannya. “Kita pulang.” Lalu berlalu begitu saja dari hadapan sepasang sejoli yang masih menatapnya dengan picingan sebal.
“Nggak bilang makasih? Istri gue ngurusin Thalia dari pagi sampai jam segini, lho?”
“Iya. Makasih,” ujar Gara tanpa berbalik sama sekali.
Melihat mereka dalam keadaan itu sungguh membuatnya panas. Bagaimana bisa—astaga!
***