Jangan terjebak di masa lalu. Lekas bangkit dan keluar dari sana. Setiap orang berhak bahagia, terlepas dari dosa apa yang pernah mereka perbuat di masa lalu.
▪️Hiraeth▪️
"Thalia! Sayang, kejar Papa sini!"
Gara mengambil boneka Mickey Mouse yang tadi dimainkan Thalia. Dia berinisiatif untuk mengajak anak tersebut bermain kejar-kejaran agar anak tersebut semakin lancar berjalan. Tapi alih-alih mengejarnya, Thalia justru malah menangis seraya meraung keras, membuat Gara menghentikan aksinya lantas menghampiri gadis kecil itu.
"Hei, ini. Kamu nggak mau kejar Papa? Ya sudah, maaf, ya. Jangan nangis." Gara menyimpan boneka tersebut di pangkuan Thalia. Tapi tangis anak itu sama sekali tidak berhenti.
Gara mundur, duduk di hadapan Thalia lalu bertepuk tangan seraya berceloteh. Sayang, Thalia sepertinya membenci itu sehingga tangisnya semakin kencang.
"Astaga, Kak. Kak Gara udah dua tahun jadi seorang ayah dan masih belum tahu cara ngajak main anak-anak?"
Gara menoleh ke sisi kanan dan menemukan Agnes, adiknya, yang berdiri di ambang pintu seraya menatapnya penuh prihatin.
Gara menghela napas. Membiarkan gadis yang kini sudah tumbuh dewasa itu masuk lalu menggendong Thalia. Ajaibnya, digendong Agnes tangis Thalia seketika terhenti. Seketika itu pula, Gara merasa dia sangat payah.
"Kak, ngajak anak kecil main itu harus dengan wajah ceria, penuh senyum, ketawa, bukan muka lempeng begitu."
Gara mendudukkan bokongnya di lantai dengan punggung bersandar pada dinding ruangan berwarna pink fanta, senada dengan barang-barang lain di ruangan tersebut yang berwarna cerah khas anak-anak.
"Kamu udah paham betul soal ngurus anak, jadi kapan mulai bicara soal pernikahan sama Lucas?" tanya Gara, melirik Agnes yang seketika mengembuskan napas keras mendengar pertanyaan yang terlontar.
"Nanti, kalau Kak Gara udah dapatin ibu sambung buat Thalia," balasnya.
Skakmat. Gara kalah telak saat itu pula.
Agnes berdiri. Menggendong Thalia lalu mendudukkan anak tersebut di dalam sebuah mobil-mobilan besar. Berceloteh ria sampai Thalia tertawa gemas dibuatnya.
"Kak Gara harus nikah. Seenggaknya untuk Thalia. Kakak nggak mau, kan, Thalia tumbuh besar tanpa seorang ibu?" ujar Agnes di sela-sela celotehannya pada Thalia.
"Kamu pikir nikah segampang itu?" Gara tanya. "Ada tugas dan tanggung jawab besar yang harus diemban setelah menikah."
Agnes merotasikan bola matanya malas mendengar balasan Gara. "Kakak tahu hal itu, tapi selalu nanya kapan aku nikah. Kak Gara sama Kak Jeffrey sama aja."
"Itu karena hubungan kamu sama Lucas udah lama banget, Nes. Sebagai kakak, kita cuma takut ada kecelakaan, kayak--" kalimat Gara seketika tersangkut di tenggorokan. Dia melirik sekilas pada Agnes yang saat itu juga menatapnya dengan nanar. "Pokoknya kita cuma mau jagain kamu. Itu aja."
Gara berdiri. Berjalan hendak meninggalkan ruang bermain Thalia, tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu ketika Agnes memanggil.
"Jangan terjebak di masa lalu. Lekas bangkit dan keluar dari sana. Setiap orang berhak bahagia, terlepas dari dosa apa yang pernah mereka perbuat di masa lalu."
Gara mengangkat salah satu sudut bibirnya, tersenyum miring. "Setiap orang berhak bahagia, tapi bukan aku," katanya tanpa berbalik. Kemudian kembali melanjutkan langkah, meninggalkan Agnes yang hanya bisa memejamkan mata lirih. Merasa iba sekaligus terluka melihat Gara menghancurkan dirinya sendiri hingga sulit menemukan jalan untuk kembali.
***
Gara memasuki ruangan berukuran 4×6 meter yang berada di sisi kanan rumah. Sebuah ruangan khusus yang dia gunakan sebagai tempatnya menyendiri; studio kecil yang menyimpan banyak kenangan.
Gara menarik kursi kayu di sudut ruangan, menimbulkan suara berderit saat kaki kursi bergesekan dengan ubin. Lalu pria itu mendaratkan b****g di atasnya. Duduk di depan sebuah kanvas polos--yang tidak tahu harus dia torehkan gambar apa dengan warna yang bagaimana sekarang.
Aroma cat air tercium amat pekat. Sesuatu yang selalu membuat Gara merasa nyaman dan merasa... pulang. Apalagi saat netranya menatap lukisan besar yang bertengger di dinding tepat di depannya. Lukisan seorang perempuan buncit bersurai panjang, bergaun putih bak malaikat, dengan senyum paling cantik yang pernah Gara temui.
Jantungnya mencelus lagi-lagi. Sudah ratusan hari terlewati, tetapi kenangan demi kenangan tentang perempuan itu masih melekat kuat di ingatan.
Gara merindukannya. Sangat. Tapi merasa tak pantas setelah apa yang terjadi.
"Apa kabar kamu hari ini?" bisik Gara lirih. "Aku masih sama; menyesali apa yang terjadi pada waktu itu. Aku minta maaf untuk ke sekian kalinya."
Gara menunduk, membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. Berusaha menyembunyikan rasa sakitnya meski hal itu jelas sia-sia.
Lalu seperti biasa, kejadian-kejadian di masa lalu kembali merasuk ke dalam ingatan. Berputar layaknya sebuah film dokumenter, mengundang perasaan-perasaan yang telah lalu untuk kembali datang, menohok dan menghantam hatinya kuat-kuat.
***
"Kita ambil tawaran ini?" tanya Fiona, meletakkan sebuah berkas berupa naskah skenario untuk projek film yang berencana tayang akhir tahun depan.
Pevita yang baru selesai menghapus make-upnya seketika mengarahkan pandangan pada Fiona. "Aku bilang, aku mau cuti," balasnya kemudian.
Fiona menghela napas panjang. "Jangan sekarang, Pe. Kamu tahu, nama kamu sedang di atas-atasnya sekarang. Terus, kamu mau cuti? Kamu benar-benar nggak bisa memanfaatkan kesempatan."
Pevita menaikkan kedua kaki jenjangnya ke atas sofa. Berselonjor seraya memasang sheet mask agar wajahnya tetap terlihat segar esok hari. Ngomong-ngomong, saat ini pukul satu dini hari. Mereka baru pulang setelah menyelesaikan pemotretan untuk majalah terkenal, selain Dazhed tentunya. Bukankah keterlaluan di saat Pevita harusnya beristirahat, Fiona malah masih membahas soal pekerjaan?
"Aku nggak peduli," balas Pevita tenang. "Pada kenyataannya, setiap aku kembali ke layar kaca, namaku tetap bersinar dan aku tetap jadi bahan perbincangan. Istirahat sejenak nggak ada salahnya."
"Sejenak itu satu atau dua hari, Pevita! Bukan enam bulan apalagi satu tahun full!" pekik Fiona tak habis pikir. Saking kesalnya, dia bahkan membanting majalah yang berada tepat di hadapannya.
Melihat itu, Pevita hanya mendesah sebal. "Tolong jangan dibanting. Kamu nggak lihat, sampul majalah itu adalah orang tercantik yang tengah digilai banyak orang? Kalau sampai orang lain memergoki kamu begitu, bisa-bisa kamu jadi pempek dihabisi para fans," kata Pevita disisipi nada jenaka yang sesungguhnya tidak perlu.
"Pokoknya aku nggak mau tahu. Ini projek besar. Nama kamu bisa makin naik. So, please, Pe!"
"Fiona."
"Pevita."
"Oke-oke. Aku cek dulu naskahnya besok pagi. Kalau cocok, aku bakal minta list siapa aja orang-orang yang berperan dalam projek ini. Aku nggak mau kalau sampai ada orang b******k lagi seperti ketika projek iklan biskuit tahun lalu."
"Benar?"
"Ya. Sekarang pergi."
"Ngusir?"
"Iya, ini sudah malam, Ibu Fiona! Nyaris pagi. Saya harus istirahat, begitu pun Anda, Bu Manager."
"Nginap di sini nggak dosa, kan?"
"Terserah."
"Terima kasih banyak, Sayang."
***
Pagi harinya, Pevita berakhir duduk selama dua jam dan membaca naskah skenario yang Fiona maksudkan sampai selesai. Matanya sudah sembab sejak beberapa menit lalu, pun dengan hidung yang berair sebab dia banyak mengeluarkan ingus sejak menangis keras membaca bagian akhir dari naskah itu.
"Gimana? Naskahnya bagus, kan?" tanya Fiona antusias. Pasalnya, Pevita sudah tenggelam di dalam cerita itu sampai dia menangis keras. Biasanya, Pevita hanya membaca bagian awal dan mentok-mentok paling sampai bagian tengah untuk mempertimbangkan apakah naskahnya bagus dan cocok untuknya atau tidak. Sedangkan naskah kali ini, dia membaca keseluruhan naskah itu sampai selesai dan larut dalam emosi di dalamnya.
"Selain itu, seluruh bagian yang bertugas aku jamin benar-benar orang kompeten dan nggak neko-neko. Kamu bahkan diberi kesempatan untuk melakukan pendekatan langsung dengan seniman terkenal supaya bisa mendalami peran sebagai pelukis yang buta itu," ujar Fiona kembali.
Dia benar-benar harus meyakinkan Pevita untuk menerima tawaran film ini. Karena sungguh, semua orang yang terlibat adalah orang-orang yang jam terbangnya sudah tinggi. Menerima tawaran ini akan sangat bagus untuk karier Pevita ke depannya.
Namun, Fiona terkejut begitu Pevita menutup kasar naskah itu dan menyimpannya di meja. Tatapannya nyalang meski air mata yang sempat dia luruhkan belum kering sempurna.
"Aku nggak terima," tukas Pevita tiba-tiba.
Fiona membulatkan mata. "Apa? Kenapa?" pekiknya keras. Ini sungguh di luar dugaan. Dia pikir, Pevita akan menerima projek ini setelah melihatnya menangis selama membaca naskah tersebut. Tapi, ada apa lagi dengannya sekarang?
"Ini nggak masuk akal, Fio!" decak Pevita keras. Lagi-lagi dia menangis, dan Fiona benar-benar tidak paham apa yang terjadi dengannya. "Gimana bisa penulis bikin hidup Pelangi sekelam ini? Bahkan sampai akhir, cuma derita yang dia peroleh. Ini nggak adil. Nggak masuk akal! Harusnya penulis kasih happy ending buat Pelangi, bukannya bikin Irham mati!"
Fiona. Seketika. Speechless.
Jadi, alasan Pevita menolak karena dia terbawa baper dan tidak terima dengan endingnya? Astaga, Fiona tak habis pikir.
Seharusnya Pevita sudah membaca di laman awal bahwa naskah yang ditawarkan kali ini bergenre melodrama. Jelas alur cerita akan sangat menyedihkan. Jika pun endingnya juga sedih, ya, itu sudah jadi risiko. Namanya juga melodrama, angst.
Jadi, naskah yang akan dijadikan film tersebut berjudul "Pelangi". Berkisah tentang seorang gadis berusia 19 tahun bernama Pelangi yang mendedikasikan hidupnya untuk melukis. Sejak kecil, karier melukisnya sudah cemerlang sehingga dia dianggap sebagai jenius dalam bidang tersebut. Dia berencana ke Beijing untuk memperdalam pengetahuan dan keterampilannya. Sebuah universitas seni yang terkenal di sana memberinya beasiswa hingga lulus. Tapi nahas, sebuah tragedi kecelakaan merenggut indera penglihatan sekaligus membuatnya lumpuh sebelum cita-citanya ke Beijing terlaksana. Pelangi sangat terpukul. Dia marah pada keadaan, pada Tuhan, dan pada dirinya sendiri. Selama bertahun-tahun dia tidak bisa menerima keadaan dirinya yang sekarang. Dia depresi berat dan beberapa kali nyaris mengakhiri hidup.
Tapi hidupnya mulai kembali berwarna ketika dia pindah ke pinggiran kota dan bertemu dengan Irham, seorang pianis muda bersuara lembut. Dengannya, Pelangi mulai kembali membuka diri. Sayang, pertemuan mereka selalu dibatasi karena Irham berasal dari keluarga konglomerat yang jadwalnya selalu diatur. Selain itu, ternyata Irham menyimpan rahasia, yakni soal penyakitnya. Dan ya, bisa ditebak akhir seperti apa yang ditulis oleh penulis. Dan Pevita masih saja ngotot untuk memberikan akhir yang berbeda.
"Kamu tahu nggak n****+ 'Seandainya' yang diangkat ke layar lebar beberapa tahun lalu? Yang dibintangi Dinda Hauw?" Fiona tanya. Ketika Pevita mengangguk, gadis itu melanjutkan, "apa yang bikin n****+ itu laku keras sampai produser tertarik untuk membuat film yang diangkat dari cerita tersebut? Karena n****+ itu memiliki ending yang menyayat hati. Ending yang membuat banyak penikmat cerita tersebut tenggelam dalam emosi sampai sulit untuk move on."
Pevita mengulas senyum samar. "Karena rasa sakit biasa meninggalkan bekas yang sukar hilang. Bukan begitu, Fi?" Pevita menatap nanar tumpukkan naskah di meja. "Dan, kenapa orang-orang suka menyakiti diri sendiri dengan menikmati kisah sedih kayak gitu? Aku nggak habis pikir."
"Mana aku tahu? Aku, kan, Squidward?" tukas Fiona jengah.
"Aihs. Dasar gadis gila! Aku serius, Fio!" Pevita memicing tajam pada manajernya tersebut.
Sungguh, Pevita benar-benar sedang serius tetapi Fiona dalam sekejap merusak momen itu.
"Kita hanya akan menghabiskan waktu lebih banyak jika aku terus membalas ucapan kamu itu, Pevita. Dan lihat, ini sudah jam berapa? Satu jam lagi ada jadwal untuk wawancara di salah satu stasiun televisi. Kita harus bergegas, Nona Manis!"
"Terserah," decak Pevita sebal. Lalu berdiri meninggalkan meja ruang tengah rumahnya.
"Projeknya kita ambil, kan?"
Teriakkan Fiona masih bisa Pevita dengar. Tapi perempuan itu memilih untuk mengabaikannya dan masuk ke dalam kamar mandi.
***