2. Lelaki Itu

1118 Kata
Sebuah mantel hitam dengan bulu angsa di kerah, satu-satunya mantel yang diproduksi khusus untuk Pevita, aktris cantik yang merupakan satu dari beberapa aktris dengan bayaran termahal. Sebuah pants berwarna senada dan sepatu boots beludru berwarna cokelat membuat penampilannya semakin menawan. Pevita mengibaskan rambut panjangnya yang digerai. Menatap sejenak penampilan wajahnya di cermin, kemudian keluar setelah memastikan bahwa penampilannya saat ini sempurna. “Astaga, aku tahu JJ Company sangat besar. Tapi melihatnya langsung sekarang—“ “Hentikan itu, Fiona. Bersikaplah elegan dan jangan membuatku malu.” Pevita berujar santai. Memakai kacamata hitamnya lantas berjalan dengan dagu terangkat pongah. Fiona hanya bisa mencibir di belakang. Seperti dugaan, hampir semua mata di sekitar tertuju pada Pevita seketika. Wanita itu tersenyum tipis. Dia sangat suka perhatian. “Itu Pevita, kan? Yang tahun lalu main film Winter in Seoul bareng Kim Jaemin itu?” “Dia mau jadi model iklan salah satu produk kita, kamu nggak tahu?” “Kenapa cantik banget? Astaga, lihat wajahnya glowing. Perawatannya pasti mahal.” “Pantes Daniel kepincut. Aslinya emang cantik banget.” “Hubungan mereka cuma gosip, Fe!” “Dia bukan cuma cantik, tapi berbakat dan cerdas. Lihat, astaga, aku iri!” “Tapi dia terkenal sombong dan angkuh. Salah satu temanku editor majalah, dan katanya dia agak kurang ajar.” Pevita memutar bola mata dengan malas. Bagus sekali. Sombong dan angkuh selalu menjadi nama belakangnya. Well, mungkin itu kenyataannya. Pevita tak ingin ambil pusing dengan pendapat orang lain. Yang penting dia bahagia dengan dirinya sendiri. Toh, mendengarkan gunjingan orang lain hanya membuang-buang waktu untuknya. “Mbak Pevita?” Pevita menoleh saat seorang lelaki berseragam kantoran datang menghampiri. “Ini benar Mbak Pevita yang main film First Love dan debut film di Korea itu yang judulnya—“ “Winter in Seoul,” gumam Pevita tersenyum tipis. “Ah, ya, benar itu!” si lelaki tampak membulatkan mata antusias. “Ya, saya Pevita, aktris yang jadi lawan main Kim Jaemin.” “Wah, astaga. Saya tidak menyangka aslinya Anda sangat cantik. Lebih cantik dari yang saya lihat di layar lebar,” ujar lelaki itu lagi, tampak benar-benar tak percaya dengan apa yang dia lihat. “Boleh saya minta foto?” “Hanya satu jepretan,” tukas Pevita, mengerling meski sebenarnya tidak terlihat karena dia mengenakan kacamata. “Tentu!” Setelah sesi foto yang hanya berlangsung tak lebih dari dua menit itu, Pevita kembali melanjutkan langkah ke dalam kantor besar itu. Berjalan dengan penuh percaya diri sampai tiba-tiba, seseorang tak sengaja menabrak bahunya. Tidak keras, tetapi cukup untuk membuat Pevita terkejut dan menjatuhkan ponsel yang tengah dia genggam. “Ah, maaf,” gumam orang itu. Lelaki tinggi berkemeja kotak-kotak yang lengannya ia gulung hingga ke sikut. Wajah yang sangat tak asing bagi Pevita. Lelaki tinggi itu berjongkok, mengambil ponsel Pevita dan menyodorkannya begitu saja. “Ponselnya tidak apa-apa,” ucapnya kemudian setelah memeriksa apakah ada lecet ataukah tidak pada benda pipih itu. Tapi Pevita sama sekali tidak peduli. Dia tidak menaruh perhatian pada ponselnya melainkan pada pria itu. Wajah yang berkali-kali menyapa Pevita dalam sebuah mimpi panjang yang indah sekaligus menakutkan. “Pevita!” tegur Fiona di sisinya. Membuat Pevita harus mengerjap dan sadar. Ponsel di tangan pria itu sudah beralih ke tangan Fiona. Sementara lelaki itu sendiri hendak pergi begitu saja sebelum akhirnya Pevita berlari kecil dan menghadang langkahnya. Wajahnya tampak tirus. Bibir agak pucat dan kering, kerutan halus di sekitar mata dan kantung mata yang menghitam. Pola hidupnya terlihat jelas sangat berantakan. Tapi, dia masih tampan. “Kenapa? Apa ada yang rusak, atau—“ “Kamu tidak kenal saya?” lirih Pevita, menelisik semakin jauh pada wajahnya. Dan kini, dia tenggelam di dalam permata kelam lelaki itu. Permata yang sama dengan beberapa tahun lalu. Permata yang memantulkan sebuah luka menganga. “Siapa?” tanyanya. Pada saat itu juga, Pevita melebarkan mata. “Saya, orang yang pernah kamu tolong beberapa tahun lalu.” Lelaki itu masih geming. Menatap lekat pada wajah Pevita kemudian mengernyit. “Lihat baik-baik!” Pevita menunjuk matanya sendiri kemudian mendekatkan wajah ke hadapan pria itu, semata-mata agar dia bisa mengenali dirinya. “Ini saya. Kamu masih nggak ingat? Saya nyaris mati waktu itu. Saya mau bunuh diri, tapi kamu narik saya. Ingat?” Lama, lelaki itu menatap Pevita dari atas hingga bawah dengan tatapan yang menelisik. Lalu kemudian jawabannya, “Entahlah. Mungkin kamu salah orang.” Dan demi apa pun Pevita kesal bukan main. Tidak pernah sekalipun Pevita melupakan malam itu. Lantas dia? “Tapi kamu benar-benar nggak tahu saya?” tanya Pevita lagi. “Maksudnya, saya sering wara-wiri di teve. Mungkin kalau kamu ke bioskop, kamu juga akan menemukan wajah saya terpampang besar di sebuah poster film.” “Saya tidak suka menonton film. Kamu artis?” Pevita seketika membulatkan mata. “Kamu benar-benar nggak tahu?” jerit Pevita tak terima, menatap berang pada pria tinggi itu. “Kurasa begitu,” jawabnya singkat, kemudian kembali berlalu dari hadapan Pevita. Rasanya, Pevita sangat marah. Harga dirinya terluka mengetahui pria tersebut tidak mengetahui dirinya. Setidaknya meski dia tak ingat kejadian malam itu, dia harus tahu siapa Pevita. Aktris naik daun yang namanya sedang ramai diperbincangkan di berbagai media. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak tahu dirinya? Dan kenapa pula harus pria itu? Jiwa penyihir dalam diri wanita itu jelas saja memberontak bangkit, sampai kemudian Pevita berteriak nyaring, “Berengsek! Bagaimana bisa kamu melupakan malam itu begitu saja, ha?” Pria itu menghentikan langkah. Keadaan mendadak hening. Seluruh orang di sekitar sana—yang jumlahnya lebih dari sepuluh orang—terdiam dengan tatapan sangsi pada Pevita dan juga pria itu. Sementara di belakang Pevita, Fiona membelalak tak percaya dengan apa yang Pevita ucapkan di keramaian seperti ini, dengan suara yang lantang pula. “Kamu baik-baik saja setelah malam itu? Kamu hidup dengan baik? Aihs. Kurang ajar. Laki-laki memang mudah untuk melupakan.” Pria itu membalikkan badan. Menoleh ke kanan dan kiri, sadar bahwa orang-orang berbisik-bisik membicarakannya. Mungkin juga mereka berasumsi berbagai hal yang sesungguhnya tidak terjadi. Kata-kata Pevita memang sedikit ambigu. Pria itu berjalan kembali ke hadapan Pevita, menatapnya tajam. “Tolong jangan buat keributan yang tidak perlu. Saya sedang buru-buru,” ucap pria itu. Pevita kira dia akan meminta maaf atau apa, dan ternyata? “Sial. Apa kamu pikir aku juga nggak sibuk? Aku sibuk. Sangat sangat sibuk!” “Astaga.” Pria itu menggeleng pelan kemudian berjalan begitu saja. Meninggalkan Pevita. Lagi. Kali ini benar-benar tidak lagi berbalik. Dia berjalan dengan langkah lebar dan cepat. “Yash, sialan! Dasar nggak sopan. Dari dulu kelakuannya begitu. Main pergi tanpa pamit. Dasar laki-laki b******k. Nggak punya tanggung jawab. Kenapa harus muncul kalau akhirnya pergi lagi dengan cara begitu, ha? Mati sana. Mati, sialan, aw!” Pevita menoleh ke sisi kiri dan mendapati Fiona yang barusan mencubit keras tangannya. Dia tengah menatap dengan nyalang. “Apa?” Pevita tanya dengan nada ketus. “Kamu benar-benar cari mati, Pe!” desis Fiona seraya melirik sekeliling di mana orang-orang menatap dengan skeptis. “Aku akan membunuhmu sepulang dari sini!” lanjut perempuan itu. Dan Pevita hanya memutar bola mata dengan malas seraya kembali memakai kacamata hitamnya. Sial. Dia masih sangat marah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN