Agnes datang ke kantor dengan keadaan kurang begitu baik. Sejak bangun pagi, rasanya tubuh terasa begitu lelah dan sakit. Gadis tersebut melakukan olahraga ringan, memijit-mijit ototnya yang kaku, tetapi tetap saja keadaannya belum membaik. Sepertinya, itu efek dia bergadang menamatkan satu drama semalam. Bukankah sudah kubilang kalau Agnes ini pecinta drama dari negeri ginseng? Ya, jika pikirannya kacau, menonton drama adalah hal yang dia lakukan. Termasuk saat dia ingin menangis tetapi tidak memiliki alasan.
“Lo kenapa, Nes? Putus cinta? Kantung mata item, bengkak, mata belel, muka pucet, nggak b*******h. Mengenaskan banget tahu nggak?”
Agnes menoleh malas, mendapati teman kerjanya—Sena—menatap dengan agak skeptis padanya. Perempuan yang umurnya beberapa bulan lebih muda darinya itu mengambil satu saset kopi instan dan menuangkannya ke dalam gelas, di sisi Agnes yang juga tengah melakukan hal sama.
“Putus cinta pala lo!” gerutu Agnes lemah. “Maraton drakor gue. Sampai subuh.” Gadis itu mengaduk kopinya dengan gerakan pelan. Bukan karena ingin hati-hati, tetapi karena tubuhnya sama sekali tak memiliki tenaga.
Sena berdecak di sisinya, seraya menuangkan air panas ke dalam kopinya. “Dasar sinting! Udah tahu besoknya kerja, malah nonton drakor sampai mata belel. Cari penyakit lo, Agnesia!” pekiknya, memarahi Agnes yang sudah dia kenalnya selama setahun belakangan.
“Nama gue Agnes. Agnesia mantannya si Fino!” balas Agnes agak kesal, tetapi tidak bisa menggunakan nada tinggi, terlalu membuang-buang tenaga.
“Ya elah, sama aja.” Sena tergelak pelan. Menyimpan sendok kecil yang dia gunakan untuk mengaduk kopinya barusan, kemudian berbalik, menyandarkan pinggangnya pada meja pantry seraya tangan menggenggam gelas kopi. “O ya, lo dateng kan ke birth day party-nya Dilara?” tanyanya, setelah meniup minuman panas tersebut dan menyeruputnya sedikit.
“Nggak, ah. Males.”
“Nolep banget lo. Tiap ada acara apa jarang ikut.”
Agnes agak merengut. “Gue kurang nyaman pergi ke pesta gituan.”
Memang benar, sejak dulu Agnes jarang sekali ikut ke pesta-pesta seperti itu. Kecuali memang jika pesta tersebut diadakan di rumah atau tempat yang sekiranya aman seperti restoran dan kafe. Jika itu di bar atau kelab, Agnes benar-benar angkat tangan. Ya, biarpun Agnes memiliki kekasih seorang bartender, tidak harus membuatnya menjadi terbiasa dengan itu, kan?
“Karena nggak bisa minum alkohol? Elah, jus jeruk juga bisa entar lo pesen.” Sena mengibaskan tangan di depan wajah.
“Bukan kayak gitu,” kilah Agnes, tetapi bingung juga menjelaskan bagaimana alasannya. Intinya, dia memang tidak begitu suka datang ke pesta-pesta seperti itu. Pesta ulang tahun dengan konsep yang agak bebas dan dilakukan di tempay seperti bar. Ya, itu bukan gayanya.
Sena mengembuskan napas pelan. Kemudian menatap Agnes lurus. “Dateng aja, udah. Kita pergi bareng-bareng, kok. Lo tahu sendiri Dilara gimana orangnya. Kalo lo nggak dateng, dia bisa manyun berapa abad,” katanya.
Agnes mengembungkan pipi. Pada akhirnya, dia harus mengalah sepertinya. “Gue usahain, deh,” ujarnya, terpaksa.
Sena menggeleng tegas. “Harus, Nes.”
Memicing, Agnes mengembuskan napas kasar. “Oke. Oke. Dasar pemaksa!” tukasnya. Lalu Sena tergelak pelan seraya berjalan meninggalkan dapur, pergi menuju bilik kerjanya. Tak berapa lama, Agnes juga menyusul. Masih tetap berusaha menyegarkan dirinya.
***
Pevita sudah standby sejak pagi. Sibuk memilih pakaian, lipstik warna apa yang akan dia pakai, parfum yang mana, dan banyak hal lainnya. Pevita akui dia memang gila. Kehadiran pria itu awalnya hanya membuat Pevita penasaran, tapi semakin dia dekat, Gara terasa seperti misteri yang begitu menarik untuk dia pecahkan. Ada sesuatu yang entah mengapa membuat Pevita sangat ingin masuk ke dalam hidupnya. Sesuatu yang masih belum begitu jelas dan belum terlalu dia pahami. Namun, Pevita hanya akan mengikuti alurnya.
Bel rumah berbunyi tepat pada pukul sepuluh. Pevita segera saja meloncat dari sofa dan berlari menuju pintu. Tapi sebelum membuka pintu tersebut, dia berusaha menetralkan napasnya, memperbaiki penampilan dan berlatih menampilkan senyum tercantik yang dia punya.
“Kamu datang cepat,” sambut Pevita begitu membuka pintu dan menemukan pria tampan berstelan kemeja denim di hadapannya.
“Saya selalu tepat waktu,” tukas Gara, dengan gaya datarnya seperti biasa. Pevita jadi semakin tertantang untuk meruntuhkan sikap datarnya itu.
“Oh, okay. Silakan masuk!” Pevita memiringkan sedikit tubuhnya seraya tersenyum kecil, memberi ruang agar Gara bisa masuk ke dalam rumah dengan leluasa.
Pria itu berjalan tenang, duduk di sofa berukuran raksasa di tengah ruang tamu Pevita. Tatapan matanya berjelajah, melihat-lihat sekeliling ruangan dengan saksama, sampai akhirnya dia bersuara, “Di mana manajer dan asisten kamu?” tanyanya, menatap Pevita yang tengah menuangkan es jeruk dari teko kacanya ke dalam gelas tinggi.
Mengangkat bahu dengan ringan, Pevita membalas, “Di rumah mereka. Toh, nggak ada jadwal ini.”
“Orang tua kamu?” Gara bertanya kembali.
“Sudah lama meninggal.”
“Dan?”
“Apa?” Pevita meletakkan tekonya, kemudian mengangkat wajah, memusatkan atensi pada pria yang tengah menatap dengan waspada padanya. Dia jadi agak tersinggung sekaligus merasa lucu akan reaksi Gara tersebut. Kesannya seperti pria itu takut Pevita akan berbuat tak senonoh padanya. Padahal, bukankah seharusnya Pevita yang merasa begitu? Oh, ayolah!
“Kamu tidak tinggal dengan siapa pun?” Pria itu melebarkan mata. Sungguh reaksi yang agak berlebihan, Pevita pikir. Tapi senang rasanya melihat mimik wajah pria itu berubah, tidak begitu datar seperti biasanya.
“Iya. Kenapa? Kayaknya kamu terkejut.” Pevita terkekeh pelan, sangat santai, jauh dari perkiraan Gara.
“Tentu saja! Kamu perempuan, saya laki-laki, dan kita hanya berdua di suatu tempat. Kamu tidak takut terjadi sesuatu?” Gara memelotot, rahang pria itu menegang, pun punggungnya begitu tegap lurus.
Dengan santainya Pevita duduk, “Terjadi apa?” tanyanya.
“Kalau-kalau saya melakukan sesuatu yang buruk.”
“Kamu nggak akan pernah melakukan itu," Pevita berujar yakin. Wanita itu mensedekapkan tangan di d**a, menatap Gara dengan senyuman simpul yang agak mengerikan di mata Gara.
“Apa kamu selalu sesantai ini terhadap lawan jenis? Kamu tidak takut apa pun?”
Pevita terkekeh, meraih jus jeruknya di meja lalu menyeruputnya sedikit. Begitu tenang dan santai. “Tentu saja aku takut, lebih dari apa yang kamu kira. Tapi, entahlah. Aku merasa aku bisa percaya sama kamu. Aku nggak takut dan juga nggak was-was," katanya. Senyuman lebar yang terpatri di wajah ayunya seolah menegaskan apa yang dia katakan.
Sementara Pevita begitu santai, Gara tampak agak kesal sekaligus waspada.
“Kamu memang aneh," ucapnya, sedikit memicing.
"Bukan aku yang aneh," balas Pevita. Dia memegang gelasnya dengan gaya elegan. Tampak sensual dan cantik.
"Lantas? Saya?" Gara bertanya skeptis.
"Bukan," kata Pevita. "Yang aneh itu perasaan aku."
"Maksudnya?"
"Aku suka kamu."
Senyum sinis dan kesal seketika terbit di wajah Gara. "Kamu memang benar-benar...." dia kehabisan kata, sungguh. "Di mana kita akan berlatih?"
Gara harus segera menghentikan pembicaraan absurd ini. Pevita memang agak gila sepertinya. Gara membatin dalam hati.
***