9. Calon Mantu

2229 Kata
~UPIK~ Aku cukup takjub melihat kedatangan Daniyal malam ini. Dari bandara dia langsung pulang ke kosan karena sudah nggak sabar untuk bertemu denganku. Sebenarnya aku juga sudah nggak sabar. Tapi bedanya aku masih bisa menyembunyikan emosiku bila menyangkut soal kerinduan. Beda halnya dengan Daniyal. Dia tidak pernah malu mengakui perasaan rindunya. “Kaki kamu kenapa?” tanya Daniyal saat melihat aku keluar kamar agak tertatih sambil menahan nyeri. “Pas naik ke air terjun kan licin jalannya. Aku kepeleset.” “Kayaknya lebih dari sekali kalau dilihat dari bengkaknya.” Aku hanya menyeringai. Mencegah Daniyal mengomel lewat senyumku yang katanya mampu mengalihkan dunianya. Terdengar lebay, tapi selalu ampuh untuk merayu seorang Daniyal. Bahkan dia mengurungkan niatnya untuk ngambek padaku kalau aku sudah mengeluarkan jurus senyum terbaikku. “Udah dibawa ke dokter?” tanya Daniyal lalu berjongkok untuk memeriksa kakiku. “Tadi waktu sampai langsung minta carikan tukang urut sama bu kos.” “Tukang urut? Kenapa nggak dibawa ke dokter sekalian?” Daniyal mengusap punggung kakiku. Sepertinya dia menekan di tempat paling sakit sehingga membuatku refleks menggerakkan kaki dan meringis kesakitan. "Sakit banget?" tanyanya khawatir. Aku mengangguk sekali. “Cuma terkilir. Istirahat bentar juga udah sembuh lagi.” “Besok nggak usah kerja dulu ya.” “Iya aku besok ambil cuti.” Setelah mendengar kata cuti meluncur dari bibirku barulah Daniyal berhenti mengkhawatirkanku. Dia berdiri dari berjongkoknya lalu duduk di kursi sambil memintaku untuk bercerita tentang perjalananku kemarin lusa. Aku dengan senang hati menceritakan kembali perjalanan kemarin. Tentunya skip bagian yang ada hubungannya dengan Haikal. “Itu nanti ada semacam pameran hasil fotonya nggak?” tanya Daniyal ingin tahu. “Katanya ada. Tapi aku belum tahu pastinya kapan.” “Owh. aku mau datang kalau nantinya diadakan pameran foto.” Setelah Daniyal mendengar cerita dariku, gantian sekarang giliran Daniyal yang bercerita dan aku menjadi pendengar yang baik. Dia menceritakan soal jabatan barunya di salah satu anak perusahaan milik papanya. Bukan manajer atau kepala divisi. Nggak tanggung-tanggung Daniyal langsung menduduki jabatan sekelas direktur utama. “Bulan depan kayaknya aku mulai lebih sering ngantor di Jakarta,” ucap Daniyal. Kelihatan sekali raut wajahnya seperti orang tidak sanggup melakoni apa yang dia ucapkan beberapa saat yang lalu. “Trus perusahaan kamu yang di sini gimana?” tanyaku. Dalam hati aku juga bertanya tentang aku dan hubungan kami. Tapi aku tidak menyampaikan pertanyaan sensitif itu. “Aku tetap mengawasi dari Jakarta. Lagian sebisa mungkin setiap weekend aku bisa ke Surabaya. Gimana? Kamu nggak apa-apa?” “Ya nggak apa-apa kalau memang itu harus.” “Tapi itu nggak mengubah rencana kamu ke Jakarta ya.” “Iya, nggak kok.” Saat aku dan Daniyal sedang bercanda terdengar suara salam dari jarak yang cukup dekat dengan teras kamarku. Haikal sedang berdiri membawa kantong kresek berukuran sedang. "Ada perlu apa?" tanyaku setelah menjawab salam dari Haikal. Laki-laki itu tersenyum padaku juga tak ketinggalan menyapa Daniyal. Tapi dia tidak ambil pusing saat Daniyal sangat menunjukkan wajah tidak sukanya pada kehadiran Haikal. "Aku mau ngantar obat. Bagus buat otot yang baru saja mengalami terkilir." "Tapi aku udah nggak apa-apa kok." "Obat ini juga bisa mengurangi bengkak kaki kamu." Daniyal berdeham cukup keras kemudian menyela obrolan antara aku dan Haikal. "Mana coba gue lihat obatnya?" ucap Daniyal dengan nada bicara yang jelas-jelas ingin menunjukkan dominannya di sini. "Udah! Aku nggak sakit. Nggak butuh obat apa-apa," kesalku. Rasa ingin meninggalkan teras lalu pergi dari kosan. "Ini bukan obat yang mengandung bahan kimia. Obat ini racikan ramuan Cina. Salah satu kolektor fotoku kebetulan Chinese dan punya toko obat tradisional," jelas Haikal masih bersikeras menunjukkan usahanya. "Bisa pas gitu ya kebetulannya?" celetuk Daniyal. "Dani!" Ucapku memperingatkan Daniyal supaya tidak memperkeruh suasana. Aku memergoki Haikal sedang melihat ke arah jam tangannya, kemudian berkata, "aku harus pergi dulu. Ini obatnya aku tinggal di sini. Diminum ya kalau masih percaya aku nggak ada niat mencelakai kamu." "Gue yakin tujuan lo ngasih obat itu ke pacar gue bukan untuk menyakiti dia. Tapi justru untuk nyari masalah sama gue. Iya kan?" sinis Daniyal. Haikal tersenyum lalu menepuk pundak Daniyal. Sebelum pergi dari hadapan kami berdua Haikal berkata pada Daniyal. "Kamu masih ingat Samantha? Sekarang dia ada di Indonesia. Tapi nggak bilang di mana tepatnya. Dia tanya alamat kamu, tapi belum aku kasih. Aku cuma kasih nomor Indonesia kamu saja," ucapnya lalu pamit pergi padaku. Daniyal mengurungkan niatnya hendak mengejar Haikal saat menoleh padaku dan mata kami bertemu di satu titik. “Samantha siapa?” tanyaku. “Aku bisa jelasin soal itu,” ucap Daniyal berbarengan dengan pertanyaan yang aku ajukan padanya. “Ya udah jelasin.” “Aku pernah dekat dengan Samantha. Dia model amatir kenalan teman-teman fotografernya Haikal juga." "Sedekat apa? Pacaran?" Daniyal mengangguk. "Iya tapi cuma sebentar. Nggak lama aku pulang ke Indonesia." "Kalian tinggal bareng?" "Siapa?" Dadaku tiba-tiba terasa sesak dan nada bicaraku naik satu oktaf. "Ya kamu sama Samantha itu. Memangnya ada lagi pacar kamu selain Samantha selama di Amerika?" tanyaku penuh kekesalan. "Aku cuma kenal dan pernah pacaran sama satu Samantha. Kamu kenapa kayak kesel gitu? Ada yang salah dari ucapanku?" "Nggak kesel. Biasa aja…Tapi Masa sih? Hampir tiga tahun tinggal di luar negeri pacaran cuma sekali?" cibirku. Daniyal menunjukkan wajah putus asa dan mengacak rambutnya penuh frustrasi. "Harusnya kamu bangga, dong, pacar kamu yang jujur dan baik hati ini di luar negeri nggak neko-neko sama cewek." "Terus cewek itu sekarang di Indonesia ngapain?" "Ya, mana aku tahu???" "Dia udah dapat nomor kamu, masa nggak menghubungi kamu sama sekali?" "Nggak ada." Suasana hatiku tiba-tiba merasa kacau. Aku merasa malas berinteraksi dengan Daniyal berlama-lama. "Kamu pulang aja. Istirahat sana. Aku juga mau istirahat." Daniyal tidak protes. Sepertinya dia juga lelah dan ingin beristirahat seperti saranku. Dia lalu memesan taksi dan meminta untuk menemani sampai pesanan taksinya datang tanpa membahas soal Samantha lagi. *** Touchdown Jakarta. Lupa kapan terakhir menginjakkan kaki di ibukota. Sepertinya waktu masih kerja di agensi iklan Bandung. Tita menjemputku di bandara karena Daniyal sedang ada pertemuan penting di kantor papanya. Bulan ini Daniyal pulang pergi Jakarta Surabaya sudah seperti Surabaya Malang rasanya. Sebenarnya Daniyal bisa mengirim supir untuk menjemputku. Namun aku menolak dan memilih merepotkan Tita. Kapan lagi kan ngeropotin itu orang. “Pacar lo kan anak sultan, kenapa nggak minta dikirim jet pribadi, sih, Pik?” tanya Tita saat menjemputku di bandara sore ini. Aku terbahak mendengar pertanyaan konyol itu. “Kangen ngerepotin kamu, Eonni,” jawabku sambil merangkul pundaknya. “Sa ae lo. Ngomong-ngomong lo seminar berapa hari?” “Tiga hari. Tapi sorry, Tit...Jadwal aku padat,” kelakarku. Tapi memang benar aku hanya tiga hari dan jadwal acaraku padat. Aku membatalkan acara pulang kampungku juga karena harus mengurus banyak hal setelah seminar nanti. “Heh! Trus lo kenapa minta jemput gue? Kenapa nggak panitia seminar lo aja!” kesalnya. Aku semakin terbahak mendengar jawaban Tita itu. Kami berdua berjalan beriringan meninggalkan bandara. Sambil ngobrol panjang lebar karena memang sudah cukup lama tidak saling berjumpa. Daniyal beberapa kali mencoba menghubungi untuk menanyakan keberadaanku. Padahal aku sudah menjawab, tapi seperti biasa bukan Daniyal kalau terima begitu saja. Tapi kadang aku juga seperti itu kalau dia sudah pamit ke Jakarta. Nggak bisa tenang sebelum dia menunjukkan foto lokasi tujuannya. Misal kantor papanya, apartemennya, atau rumah papanya. “Lo tidur di mana? Apartemennya Daniyal? Gue tahu tempatnya, kalau lo mau diantar ke sana,” ujar Tita. “Gila aja! Amak tahu anak gadihnya ini nginap di apartemen cowok, auto digantung di jam gadang.” “Bukannya rumah lo bukan di Bukittinggi ya, Pik?” “Emang.” “Tapi masih kudu jemput elo di Surabaya dulu. Kenapa nggak digantung di tugu pahlawan aja. Lebih praktis.” Lagi-lagi aku berakhir tertawa setiap kali mendengar celotehan Tita. Dia masih tetap Tita yang dulu aku kenal ceplas ceplos. “Terus lo nginep di mana selama di Jakarta?” “Udah disediain hotel sama panitia seminar. Harusnya aku rombongan naik bus. Tapi aku ketinggalan bus karena masih harus nyelesein proyek mahasiswa. Jadi, ya, aku terpaksa naik pesawat biar cepet.” “Enak banget. Dibayari kampus?” “Bayar sendiri,” jawabku sambil pura-pura lesu. “Habis jatah skincare aku buat beli tiket pesawat.” “Rembeus sama Daniyal.” “Belum waktunya.” Gantian Tita yang tertawa seolah bisa membaca isi pikiranku saat ini. “Lo kapan dinikahin Daniyal? Jangan mau lama-lama dipacarin, nanti bukannya dinikahin malah ditinggalin,” komentarnya. Aku hanya membalas dalam sebuah senyuman lalu pilih diam tidak membahas soal itu. Sebenarnya bukan Daniyal masalahnya kami belum menikah hingga detik ini. Tapi akulah akar masalahnya. Sesampainya di hotel Tita hanya bisa menemani sebentar di kamar. Kami janjian ketemu nanti malam karena aku butuh waktu untuk istirahat. Padahal perjalanan Surabaya Jakarta kepalaku sudah seperti berputar tujuh keliling rasanya. Apa kabar Daniyal yang naik pesawat seperti naik motor seringnya. *** “Kayaknya ada yang manggil elo,” ujar Tita saat menemaniku jalan di sebuah pusat perbelanjaan ibukota malam ini. Di tempat sebesar Pasific Place ada seseorang yang mengenalku, hal itu tentu membuatku terkejut dan agak merasa khawatir saat mencari asal suara seseorang memanggil namaku. Dari jarak 45 derajat tempat aku sedang berdiri mendapati seorang wanita modis sangat aku kenal berjalan menuju ke arahku sambil tersenyum semringah. “Awalnya saya kira salah orang. Ternyata benar kamu. Apa kabar?” ujarnya sambil memelukku. “Baik. Tante apa kabar?” balasku canggung. “Baik-baik aja. Kamu lagi ada kepentingan apa di Jakarta?” “Ada seminar dosen selama tiga hari.” “Dani tahu?” “Iya tahu.” “Kamu sudah makan? Kita ngobrol sambil makan yuk. Kebetulan saya mau makan malam sama teman-teman. Sekalian ngenalin kamu ke teman-teman dekat saya.” “Tapi saya lagi bareng teman,” tolakku secara halus. “Bentaran aja, yuk. Temannya saya pinjam dulu ya,” ujarnya sambil merangkul lenganku lalu sedikit menyeretku supaya mengikuti langkahnya. Tita hanya mengangguk setuju lalu memberi kode ‘telpon aja kalau udah kelar’ lewat gerakan tangannya. Aku serba salah. Seandainya yang mengajakku bukan mamanya Daniyal mungkin aku akan bersikukuh menolak atau harus mengajak Tita turut bersamaku. Aku berusaha menghormati wanita itu karena beliau orang tua dari laki-laki yang sedang dekat denganku. Sebenarnya kalau disuruh memilih aku lebih pilih menolak. Di sinilah aku berada saat ini. Di sebuah restoran yang terletak di bagian outdoor lobby, tepatnya di depan sebuah galeri pakaian terkemuka. Tempatnya nyaman dan memiliki view yang unik. Aku jadi kepikiran Tita. Padahal kami tadi ke sini tujuannya mau makan makanan Jepang di lantai lima. “Kamu sudah ketemu papanya Dani?” Tiba-tiba beliau bertanya seperti itu. “Belum, Tante. Rencananya setelah kegiatan seminar saya selesai, Dani mau ajak saya ke rumah papanya.” “Baguslah kalau gitu. Kamu mau makan apa? Cake di sini semuanya juara. Tapi kalau kamu suka makanan berat saya rekomendasikan mushroom pasta atau creamy chicken. Andalan di sini,” jelas Tante Ana antusias. “Saya pesan cake aja. Soalnya saya udah janjian mau makan sama Tita.” “Oh, gitu. Ya udah pesan cake aja. Saya lagi tunggu teman-teman, mereka sedang belanja di Lafayette,” ucap Tante Ana dengan wajah tidak sesemringah seperti barusan. “Maaf ya, Tante. Lain kali kita bisa makan bareng.” Tak lama kemudian wajahnya kembali ceria saat menyambut tiga wanita yang menghampiri meja kami. Mereka siapa, Tuhan? Jangan sampai saja di antara mereka tante-tantenya Daniyal. Tapi kata Daniyal tante-tantenya tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan mamanya. Jadi amat sangat tidak mungkin mereka akan hangout bareng seperti sekarang ini. “Jeng, kenalin ini calon mantu,” ucap Tante Ana memperkenalkan aku sambil menumpukan kedua tangannya di atas pundakku, seperti seorang guru sedang memperkenalkan murid baru di depan kelas. Aku lalu menyalami satu per satu tiga wanita yang memiliki penampilan layaknya sosialita yang sering seliweran di media sosial maupun televisi, sambil menyebutkan namaku. “Lulusan magister. Masih muda udah jadi dosen,” ucap Tante Ana tak lupa menyebutkan nama kampus tempat aku mengajar. Aku cukup speechless beliau masih mengingat hal itu dengan sangat baik. “Wah, hebat. Dulu kuliah S2-nya di negara mana?” tanya salah satu temannya Tante Ana. “Dalam negeri aja, Tante.” “Oh…” jawab mereka bertiga nyaris bersamaan. “Kirain di Amerika juga sama seperti Daniyal.” “Duh, nggak penting mau kuliah di luar atau di dalam negeri. Yang penting itu berpendidikan tinggi dan profesinya mulia. Ya kan?” bela Tante Ana, kemudian mengusap bahuku seperti sedang mencoba menenangkan aku. Padahal jujur aku sama sekali tidak merasakan hal yang gimana-gimana sampai harus tersinggung. Justru yang membuatku agak pissed off adalah sikap Tante Ana yang kelihatan sok akrab denganku di hadapan teman-temannya, padahal selama ini kami sama sekali tidak dekat. Bahkan setelah bertemu aku di Surabaya untuk pertama kalinya, kami sudah tidak pernah bertemu lagi meski Tante Ana mengunjungi Daniyal sudah beberapa kali dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Aku juga tidak tahu alasannya kenapa tidak mau menemuiku. Pernah sekali aku berkunjung ke rumah Daniyal dan ada Tante Ana. Namun beliau tidak sekalipun menampakkan batang hidungnya selama aku ada di rumah Daniyal tiga jam lebih hari Minggu itu. Meski Daniyal sudah berusaha memberi pengertian kalau mamanya itu sedang tidak enak badan, tapi entah kenapa rasa sebalnya belum hilang sampai detik ini. Dan sekarang tiba-tiba dia bersikap layaknya ibu peri yang baik hati. Seperti manusia yang memiliki kepribadian ganda. Mengingat hal itu lagi membuat aku tidak tahan berlama-lama berada di antara ibu-ibu sosialita ini. Aku lalu memutuskan untuk pamit. Tante Ana tidak menahanku. Namun kata-kata terakhirnya cukup meresahkan. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN