~DANIYAL~
Holy s**t! Kadang-kadang gue merasa pekerjaan gue makin ke sini makin sinting. Gue kabur ke Surabaya, selain karena ingin mengejar cinta gue, sejujurnya juga karena ingin melarikan diri dari bokap gue. Bukannya apa, gue yakin aja bokap gue yang banyak maunya itu, soal bisnisnya, pasti sudah menyiapkan segala macam amunisi untuk bisa menarik gue untuk memegang salah satu anak perusahaannya. Dan benar saja, yang gue khawatirkan selama ini akhirnya terjadi. My f*****g uncle itu berbuat ulah dan gue yang kena getahnya. Ini sudah sampai di titik terdidih gue. Dia merusak rencana jangka panjang yang sudah gue susun serapi mungkin yang tujuan cuma satu, gue pengin buktiin kalau bisa berdiri tegak dengan kedua kaki gue sendiri tanpa bantuan dari bokap. Ah sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.
Dan di sinilah gue berada sekarang. Jakarta lagi padahal baru dua minggu yang lalu gue dari sini. Bedanya sekarang gue langsung ke rumah Bokap dan dapat titah disuruh menjadi direktur utama untuk salah satu anak perusahaan bokap. Gue kira bokap bercanda waktu bilang, “Saya sudah menunjuk Daniyal sebagai direktur utama Elka Group. Kebetulan perusahaan rintisan milik Daniyal sudah bergabung di bawah bendera Elka Group.” Di depan suami tante gue yang bermasalah. Gue kira bokap cuma sekadar gertak sambal supaya Om Aries bisa memperbaiki kinerjanya. Maka dari itu gue diam saja waktu bokap bersandiwara tanpa diskusi terlebih dulu dengan gue, saat mengatakan bahwa perusahaan rintisan gue sudah bergabung di bawah bendera Elka Group. Dan gue lupa siapa yang gue hadapi hari itu. Luthfi Khawas yang punya kuasa penuh atas Khawas Group dan Elka Group dan diam-diam punya kemampuan lain selain menguasai berbagai sektor bisnis, yakni menguasai garis hidup orang lain, termasuk gue.
Otak gue mau meledak rasanya saat melihat sekilas portofolio Elkafood, nama perusahaan yang gue pegang saat ini sampai entah beberapa bulan ke depan. Dan yang lebih bikin mood gue buruk sepanjang waktu adalah Upik lagi ada di Bromo sama mantan pacarnya. Woah! Pengen makan orang gue.
Tapi yang paling bikin gue hampir sakit jiwa adalah membayangkan dia tertawa lepas bersama mantannya itu.
“Mas Dani mau makan? Kalau mau aku siapin sekalian,” tawar Jinan saat aku melintasi ruang makan dari ruang kerja bokap.
“Enggak!” jawab gue, lalu melangkah cepat keluar rumah. Semilir gue dengar suara bokap gue lagi ngobrol sama Jinan, nanya apa gue sudah ditawarin makan? Trus Jinan jawab ‘sudah, tapi cuma dijawab enggak!’ Bokap gue cuma nanggepin tertawa dan nggak bertanya lebih jauh.
Dari nada bicaranya Jinan lagi niruin nada bicara gue, trus sambil nahan ketawa. Intinya dia ngeledekin gue. This stupid! Memangnya gue kelihatan banget ya kalau lagi badmood? Arrghhh…
Upik belum bisa dihubungi. Dia berjanji begitu mendapat sinyal akan segera mengabari gue. Jujur sebenarnya gue sudah capek menghadapi perasaan cemburu gue yang terkadang suka nggak tahu diri. Bikin malu aja bisanya. Gue sudah berusaha keras untuk mengendalikan emosi gue yang satu itu. Tapi gue takut nantinya malah kebablasan dan nggak bisa merasakan emosi yang kalau kita bijak mengolahnya akan terasa sangat menyenangkan. Itulah mengapa sebagian orang menganggap bahwa cemburu sebagai tanda sayang. Asal yang bener cemburunya.
***
Minggu pagi gue memilih menyibukkan diri di unit apartemen gue untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Elkafood. Saat gue fokus menatap layar laptop tiba-tiba ada sebuah email masuk dari nama yang nggak asing tapi gue lupa pernah dengar nama itu dimana. Namanya Samantha Robert. Tapi emailnya kosong. Gue nggak terlalu mengambil pusing soal email kosong itu.
Sekitar pukul tiga sore Upik mengabari kalau saat ini sudah sampai di Surabaya. Gue memintanya untuk beristirahat dan mengatakan kalau kembali ke Surabaya besok.
Baru saja mengakhiri panggilan telepon gue dengan Upik, ponsel gue kembali berdering. Deretan nomer tak dikenal dan dua angkat terdepan tidak sama dengan nomer ponsel pada umumnya. Kalau dari kode teleponnya itu dari luar negeri dan gue yakin Amerika karena gue familier dengan kode teleponnya. Karena penasaran gue coba mencari kecocokan nomor telepon tersebut di internet. Ternyata nomer telepon yang menghubungi gue beberapa saat yang lalu berasal dari Washington DC. Menarik benang merah antara penelepon dengan email kosong yang masuk beberapa saat lalu gue seketika ingat pada perempuan bule yang pernah gue pacarin kurang lebih dua bulan lamanya. Namanya Samantha Robert. Tapi yang jadi pertanyaan untuk apa bule campuran itu menghubungi gue? Dulu dia yang marah-marah ke gue bahkan ngancam-ngancam gue nggak boleh menghubungi gue karena gue menolak tinggal di Amerika untuk selamanya. Sekarang tiba-tiba perempuan itu menghubungi gue.
Tiba-tiba bulu kuduk gue berdiri. Setiap menyebut nama perempuan itu gue merinding. Gue punya firasat buruk tapi nggak bisa nebak soal apa. Gue berdoa semoga hal buruk nggak menimpa gue dalam waktu dekat. Tak ingin mengambil pusing soal itu gue memilih melanjutkan kesibukan gue yang sempat tertunda karena ingin menghubungi Upik.
Sumpah! Planning gue weekend ini indah banget. Mau malam mingguan nonton bioskop. Trus jogging Minggu pagi bareng Upik, abis jogging makan bubur ayam. Setelah itu ke pasar ngantar Upik belanja karena setiap hari Minggu dia selalu masakin buat gue. Tapi gue nggak nemenin ke dalam karena gue alergi bau pasar. Sorry to say. Gue bukannya mau ‘sok’ kaya. Gue udah pernah coba bahkan nggak cuma sekali ikut Upik ke pasar. Dan setiap kali itu juga pulang-pulang dari pasar gue muntah hebat dan nggak mau makan apa-apa selama satu hari penuh. Gue sudah memberi saran supaya belanjanya di supermarket saja. Tapi calon istri gue itu selalu menolak dengan berbagai alasan yang berujung dia nggak masalah meski gue nggak ikut menemani dia ke pasar. Bahkan dia nggak keberatan meski harus berangkat sendiri ke pasar. Gue-nya aja yang ngotot nganter.
Goosh! Gini amat punya pacar kelewat mandiri.
Tapi gue harus bangga dengan kemandirian yang dimiliki Upik. Karena di luar sana banyak laki-laki yang mencari bahkan mengincar perempuan yang cantik, cerdas dan mandiri seperti Upik. Salah satunya Haikal.
Malam harinya Sagara menghubungi gue dan mengajak gue nongkrong di kafenya, yang dulunya kafe tante gue. Setiap kali ke Jakarta, gue memang biasanya mengabari Sagara. Bahkan gue lebih rajin mengabari Sagara ketimbang nyokap. Bukannya apa, soalnya kalau ngabarin nyokap, yang ada gue selalu disuruh nginep di apartemennya. Dan bakal marah besar kalau sampai ketahuan gue duluan ke rumah Papa ketimbang apartemen nyokap. Nasib anak broken home ya gini.
Kembali ke tawaran Sagara, gue terpaksa menolak. Gue pengen semua ini segera selesai dan bisa cepat kembali ke Surabaya. Sagara nggak masalah dan berharap kalau gue ke Jakarta lagi diusahakan untuk mampir.
Senin paginya gue sudah berada di sini, di kantor bokap gue untuk melakukan serah terima jabatan dengan deputi direktur utama Elkafood. Gue bisa lihat wajahnya Om Aries kayak mau makan gue hidup-hidup. Tolong! Salah gue apa?
Pagi ini adalah pagi pertama gue melakukan meeting dengan dewan direksi Elkafood. Gue mulai berbicara menyampaikan kalimat demi kalimat yang mampu membuat orang-orang yang ada di dalam ruang pertemuan ini cuma bisa bengong. Entah beneran bengong atau b**o karena terkadang dua ekspresi itu agak-agak susah dibedakan. Gue tentunya berkamuflase dengan memasang tampang dan tatapan serius saat kalimat ini meluncur begitu saja. Seperti revenue pool, competitive differentiation, advertising, dan predefined industry targeting meluncur dari bibir gue.
“Nggak nyangka, ternyata kamu jenius juga soal bisnis ini, ya ,Dan,” komentar Tante gue begitu gue mengakhiri pertemuan dan menemui beliau di ruangannya. Tante gue dapat laporan langsung dari salah satu direktur Elkafood soal pertemuan tadi pagi.
Gue menoleh, mengernyit setengah senyum. “Maksudnya gimana, nih?”
“Tante dapat laporan soal meeting kamu tadi. Katanya kamu berhasil bikin dewan direksi Elkafood bengong saat kamu bicara panjang lebar soal revenue pool. Speech kayak gitu kayak bukan kamu banget.”
Gue tertawa terbahak-bahak. “Ini pujian apa celaan? Teta mau muji aku karena aku jenius atau menghina aku karena harusnya aku kelihatan b**o kayak dewan direksi Elkafood tadi?”
Tante gue balas tertawa. “Kamu kenapa sensi banget? Lagi ada masalah?”
“Masalahnya adalah harusnya aku bisa tenang ngurusi perusahaanku sendiri yang udah jalan lebih dari setengah jalan. But now, I'm here,” jawabku kesal. Tapi setelahnya gue menyesal saat melihat raut wajah Tante gue yang tadinya ceria berubah jadi sedih. Nggak seharusnya gue bicara sekasar itu sama perempuan, terlebih perempuan itu tante gue sendiri.
“Oke, Teta minta maaf. Harusnya Teta nggak melibatkan kamu ke dalam persoalan ini.”
“It’s okey. Aku anggap aja ini sebagai challenge untuk menguji sampai di mana kemampuan aku dalam hal berbisnis.”
“Sounds good,” jawab tante gue. “Itu artinya kamu masuk Khawas Group nggak lewat jalur tampang dan nama belakang, tapi lewat jalur otak.”
“Teta lagi ngomongin aku apa Om Aries?”
Tante gue berdecak sambil memukul lengan gue. Sementara gue cuma tersenyum tipis.
“Anyway kapan mau ngenalin pacar kamu?” tanya tante gue.
“Harusnya minggu depan. Kalau nggak ada halangan.”
“Kasih gambaran dia seperti apa? Jadi waktu ketemu nanti, Teta nggak canggung-canggung banget.”
“Dih, ge-er! Siapa juga yang mau ngenalin sama Teta?” canda gue.
“Maksudnya?”
“Orang aku cuma mau ngenalin sama Papa.”
“Eh, nggak adil dong! Teta juga mau kenal. Awas aja kalau diem-diem.”
“Jangan dulu. Takut dia kaget. Karakternya itu nggak suka diburu-buru.”
“Okey. So, kasih gambarannya aja dulu tentang dia. Tiga kata, deh, yang menggambarkan kepribadian dia.”
“Beauty, smart, and…”
“Behavior,” ucap Tante gue, memotong kata-kata yang sedang gue pikirkan untuk menggambarkan sosok Upik di mata gue selama ini.
“Kayak nggak asing sama kata-kata itu.”
Tante gue cuma nahan senyum. “Kamu kelamaan mikirnya. Makanya Teta tadi asal nyebut aja.”
“Cheerful,” ucap gue.
“What? Cheerful? Kamu nggak lagi pacaran sama abege kan, Dan?”
“Nope! Tapi dia memang punya sifat seperti itu. Dan satu lagi, dia itu calon good wife yang nggak terlalu membutuhkan microwave untuk kemudahan hidupnya.”
“Oh, ya? Bisa masak dong.”
“Of course.”
Tante gue tersenyum lalu menepuk pundak gue. “Kalau gitu pertahankan dia,” ucapnya.
Sore itu setelah urusan gue di kantor bokap selesai, gue buru-buru kembali ke Surabaya dengan penerbangan sore. Gue nggak sabar ketemu Upik dan menyampaikan soal Elkafood padanya. Gue pengin lihat reaksinya gimana saat mengetahui kalau gue akan lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta setelah ini.
~~~
^vee^