10. Rumah Besar

1314 Kata
~UPIK~ Daniyal menjemputku di hotel. Malam ini dia akan memperkenalkanku pada papanya dan ibu sambungnya. Aku merasa cukup nervous. Dari tadi berkutat di depan cermin dan mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan saat perkenalan nanti. "Keluarga kamu kalau makan bersama harus pakai table manner nggak?" iseng aku bertanya pada Daniyal dalam perjalanan kami menuju rumah papanya. "Biasa aja sih. Kami ya ngobrol sambil makan. Paling ya terbiasa pakai sendok dan garpu saat makan. Kalau Papa kurang suka makan yang terburu-buru apalagi sampai kedengaran bunyi dentingan garpu atau sendok yang beradu sama piring." "Nggak pakai tangan langsung? Maksudnya tanpa sendok gitu." Daniyal menggeleng. Kalau diingat-ingat lagi kebiasaannya saat makan di rumah memang dibawa keluar oleh Daniyal. Selama mengenal Daniyal, belum pernah sekalipun melihat dia makan menggunakan tangan langsung. Bahkan saat makan nasi padang pun dia pasti meminta garpu dan sendok. Kalaupun harus makan sesuatu yang akan mengotori jari-jarinya dia akan menyediakan tisu di samping piringnya. Intinya dia tidak akan membiarkan tangannya kotor oleh makanan yang sedang dimakannya. "Jangan grogi ya. Papaku sama kayak kamu dan orang lain juga. Beliau makan nasi bukan makan orang," kelakar Daniyal. Aku tahu dia sedang berusaha menghiburku. Jadi aku membalasnya dengan tersenyum. "Kalau ibu sambung kamu gimana?" "Ya , nanti kamu bisa nilai sendiri kalau sudah ketemu langsung." "Kasih gambarannya, Dani." "Ya nggak gimana-gimana. Aku bingung jelasinnya. Tapi yang jelas dia nggak sama kayak ibu-ibu tiri yang di film-film kok." Daniyal memang paling bisa kalau disuruh berkelakar. Dia bisa tenang saat ini. Lihat aja nanti kalau gantian dia yang aku bawa menghadap orang tuaku. Aku yakin dia pasti lebih heboh saat mencari tahu soal orang tuaku dan kebiasaan-kebiasaan di rumahku. Setelah melalui perjalanan selama setengah jam mobil Daniyal memasuki halaman yang sangat luas dan berhenti di depan teras rumah yang aku tebak adalah rumah papanya. "Ayo," kata Daniyal saat membukakan pintu mobil untukku. Dia juga membuka pintu bagian penumpang untuk mengambil bingkisan yang aku sediakan. Soal bingkisan itu. Bukan bingkisan mahal. Hanya sebuah parsel berisi buah-buahan yang aku pesan sore tadi. Daniyal awalnya melarangku untuk membawa bingkisan semacam itu. Namun aku tidak ingin datang ke rumah orang yang aku anggap penting dan patut dihormati dengan tangan kosong. Aku menunggu di ruang tamu sementara Daniyal masuk ke lebih dalam rumahnya yang sangat luas dan mewah ini. Yakin aja kalau disuruh menjelajahi rumah ini seorang diri bisa dipastikan aku tersesat dan masuk ke ruangan-ruangan yang tidak aku tahu kegunaan sekaligus pemilik ruangan itu. Dan satu lagi, aku tidak mau kalau harus disuruh menempati rumah sebesar ini. Saat menunggu Daniyal, datang wanita paruh baya membawa nampan dan sebuah cangkir di atasnya. Wanita itu tersenyum ramah sambil meletakkan cangkir berisi teh di atas meja. Tanpa berkata-kata wanita itu meninggalkan ruang tamu. Tak lama kemudian Daniyal kembali lagi ke ruang tamu seorang diri. “Lama ya?” tanya Daniyal duduk di sampingku. Aku berdecak pelan. “Tadi sudah aku bilang jangan ninggalin aku sendirian,” dumelku. “Aku kira papa sudah nunggu di ruang tamu. Ternyata masih di kamar. Jangan marah,” pinta Daniyal sambil menunjukkan smile eyes yang menggemaskan. Tidak lama kemudian datang seorang perempuan muda sambil menggendong seorang batita perempuan. Aku tahu perempuan karena batita itu mengenakan baju bayi model rok. Dari wajahnya juga sangat menunjukkan kalau jenis kelaminnya perempuan. “Oh, ini temannya Mas Dani?” ujar perempuan muda tersebut lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa yang tengah aku duduki. “Iya, kenalin, Nan,” jawab Dani. “Jinan,” ujar perempuan muda itu dan aku balas uluran tangannya sambil menyebutkan namaku. “Tinggalnya di Jakarta juga?” tanya Jinan. “Di Surabaya, Tante,” jawabku. Daniyal tiba-tiba menahan senyum mendengar sebutanku untuk Jinan. Aku mencubit lengannya karena merasa telah ditertawakan oleh Daniyal. Kami memang belum sepakat waktu itu akan memanggil Jinan nanti dengan sebutan apa. Kata Daniyal biar Jinan yang menentukan sendiri ingin dipanggil dengan sebutan apa. “Jangan panggil aku tante. Panggil Jinan aja, kayak Mas Dani nggak apa-apa.” Aku masih belum bisa terima. “Tapi kan nggak enak. Kesannya nggak sopan,” jawabku merasa serba salah. “Nggak apa-apa kok. Usiaku aja masih di bawah Mas Dani. Masa iya dipanggil tante,” balas Jinan sambil tersenyum simpul. “Yakin nggak apa-apa?” Jinan tertawa kecil sambil mengangguk. “Aku dari Probolinggo. Deket kan ke Surabaya?” “Iya Dani udah cerita. Bromo kan?” “Eh, Mas Dani cerita apa aja?” Aku hanya menyeringai menyambut pertanyaan klise itu. Daniyal sama sekali tidak tertarik ikut nimbrung ke dalam obrolanku dengan Jinan. Dia malah sibuk bermain dengan adik kecilnya yang aku ketahui bernama Naisa. Batita yang sedang berada dalam gendongan Jinan terlihat sangat aktif dan tertawa ceria saat digoda oleh Daniyal. Aku merasa canggung dan kehabisan bahan obrolan. Agak risih juga melihat kedekatan Daniyal dengan Jinan dan Naisa. Aku tahu bagaimanapun masa lalunya, Naisa itu adik kandungnya Daniyal. Mereka punya hubungan darah yang nggak bisa dipisahkan oleh apa pun. Mungkin saja kalau aku tidak pernah tahu soal hubungan Daniyal dengan Jinan di masa lalu, perasaan seperti ini tidak hadir dengan begitu mudahnya. Beberapa menit kemudian suasana canggung yang aku rasakan terinterupsi karena mendengar suara dehaman pelan dan seseorang datang bergabung bersama kami di ruang tamu. Aku menoleh dan mendapati sosok pria dengan wajah tenang meski tanpa senyum tapi aku yakin kalau pria itu cukup ramah dan bersahabat. “Papaku,” ujar Daniyal. Spontan aku menyodorkan tangan untuk menyambut kedatangan beliau. “Luthfi,” pria itu menyebutkan namanya dengan suara tegas dan penuh wibawa. Semakin dekat aku bisa melihat wajah Daniyal di sana. Mungkin cerminan Daniyal suatu hari nanti ketika berumur seperti pria itu. Batita yang sedang berada dalam gendongan Jinan bergerak penuh semangat saat melihat kehadiran papanya Daniyal. Dia tertawa lalu meminta berpindah gendongan. Hanya sebentar. Jinan mengambil alih Naisa dan membawa bayi itu kembali ke dalam. Terdengar suara tangisan dari Naisa. Mungkin karena dipisahkan oleh papanya. Tapi tidak berlangsung lama karena perlahan suara tangisan itu samar-samar hilang dan tidak terdengar sama sekali. “Apa semua anak perempuan selengket itu sama papanya?” tiba-tiba papanya Daniyal melontarkan pertanyaan itu padaku. “Bisa jadi, Om. Mungkin mereka punya ikatan batin tersendiri." "Kamu akrab nggak sama papa kamu?" Aku mengangguk cepat. "Saya cukup dekat sama ayah. Malah kalau sama amak kurang dekat. Sering nggak sependapat dan ujung-ujungnya cekcok.." "Oh, ya? Dani kebalikan kamu kalau gitu." Aku tersenyum tipis menanggapi pernyataan itu. Selanjutnya obrolan kami diisi seputar pertanyaan-pertanyaan bernada santai seperti pekerjaanku, tempat kuliahku, pengalamanku menjadi dosen dan lain-lain yang bisa dibilang hal yang lumrah dibahas oleh orang yang baru saling kenal. "Kamu sudah pernah bertemu mamanya Dani?" tanya Om Luthfi. Pertanyaan yang berhasil membuat suasana yang tadinya mulai akrab kembali terasa canggung. "Sudah pernah." "Oh, ya? Kapan dan di mana?" Aku bingung mesti menjawab apa. Karena yang aku tahu mamanya Dani sedang berada di dalam pengawasan ketat. Kalau sampai aku bilang ketemu di Surabaya beberapa bulan yang lalu, entah apa yang terjadi. Duh, rasa ingin kabur dari tempat ini. "Di Pacific Place tiga hari yang lalu," jawabku. Daniyal menoleh kepadaku. "Kamu ketemu mama? Kok nggak cerita?" tanya Daniyal dengan volume bicara sedikit lebih pelan dari volume bicara normalnya. "Belum sempet." Ternyata ucapan Daniyal terdengar sampai ke telinga papanya. "Kamu bisa langsung ngenalin mamanya Daniyal di pertemuan pertama?" tanyanya heran. Saat aku hendak memberi penjelasan, Daniyal lebih dulu menyela ucapanku dan mengambil tugasku untuk memberi penjelasan pada papanya. "Sebenarnya mama sempat datang ke Surabaya, Pa. Dari lama Mama pengen banget maen ke tempatku. Kebetulan lagi di Surabaya, jadi sekalian aku ngenalin Upik ke mama. Mama nggak lama kok di Surabaya, cuma sebentar trus balik lagi ke Jakarta." "Oh," jawab Om Luthfi datar. Aku yakin dari raut wajahnya, pria itu agak kurang suka dengan penjelasan Daniyal. Sementara Daniyal seperti sedang berusaha membentengi dirinya supaya bisa memberi perlindungan untuk mamanya. Dan aku merasa seperti berada di posisi yang serba salah sekarang ini. Maju mundur kena. Menghilang sekarang boleh nggak sih? ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN