~DANIYAL~
Setiap ada waktu luang gue dan Upik selalu menyempatkan diri untuk makan bareng. Entah itu siang maupun malam. Nggak harus makan di luar. Kadang Upik masak bergantian di rumah gue atau di kosan dia.
“Seminar dosen yang waktu itu diundur akhir tahun ini?” tanya gue di sela acara makan kami.
“Iya, aku berangkat hari Rabu. Seminarnya Kamis sampai Sabtu.”
“Jadi ambil cuti?”
Upik mengangguk. “Senin dan Selasa minggu berikutnya.”
“Kok dikit? Di Jakarta cuma berapa hari itu?”
“Rabu sampai Sabtu aku mau pulang kampung. Mau nengok Mamak. Terakhir ketemu lebaran.”
“Ya udah.”
Gue lihat gestur tubuh Upik agak gelisah. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu pada gue tapi bingung mau mulainya dari mana. Padahal dari tadi kami mengobrol dia terlihat santai saja.
“Weekend ini kalau nggak ada acara-”
“Aku udah ada acara dan pernah ngobrolin soal itu sama kamu.”
Omongan gue sudah dipotong begitu saja oleh Upik. Padahal dia paling nggak suka sama orang yang punya kebiasaan seperti itu. Sekarang malah dia yang melakukan kebiasaan buruk itu.
“Acara apa?”
“Acara UKM fotografi yang ke Madakaripura.”
“Madakaripura? Yang dekat Bromo itu?”
“Jauh banget. Nggak sampai Bromo.”
“Ya tapi searah itu. Nggak sampai tiga jam juga masuk kawasan Bromo. Bukannya kamu bilang nggak mau ikut ya?”
“Aku harus ikut karena dosen pendamping yang aku tunjuk kecelakaan. Jadinya nggak bisa mendampingi acara itu.”
Gue diam. Malas memberi komentar. Beberapa bulan yang lalu gue dan Upik berdebat panjang gara-gara itu. Dan kini ketemu lagi dengan persoalan yang sama.
“Ayo dong, Dan. Boleh ya, aku ikut rombongan UKM fotografi ke Madakaripura,” mohon Upik ke gue.
“Boleh aja, asal aku dibolehin ikut juga,” balas gue malas. “Sekalian aku mau kunjungan ke hotel.”
“Ini acara kampus. Nggak mungkin banget aku bawa orang luar.”
“Aku bayar sendiri akomodasinya. Aku juga bakal bawa kendaraan sendiri. Kamu nanti tidur di hotel aja. Kalau perlu untuk akomodasi menginap semua peserta aku yang tanggung.”
“Aku udah bilang berapa kali ini acara kampus, bukan perkara biaya. Kenapa, sih, kamu jadi ribet gini?”
“Aku nggak ribet.”
“Trus apa namanya kalau nggak ribet?”
“Pakek nanya lagi.” Gue mulai kesal. Tapi gue nggak bisa marah kalau lihat mukanya Upik manyun gitu. Lucu-lucu tapi nyebelin.
“Karena ada Haikal dalam rombongan itu? Kamu nggak percaya sama aku?”
“Aku bukan nggak percaya sama kamu. Tapi Haikal. Dia sama sekali nggak bisa dipercaya.”
Upik mendesah pasrah. Dia mulai kehabisan kata-kata menjawab sanggahan gue. Bikin gue jadi merasa bersalah. Lagian kenapa mesti ada acara motret bareng di luar kota sih. Gue pengin protes soal ini dari sejak dia bilang bakal ada acara seperti itu saat awal semester ganjil.
“Kamu pikir aku bisa percaya kamu nggak ngapa-ngapain setiap kali pulang ke Jakarta?”
“Loh! Emangnya aku ngapain? Aku nggak ngapa-ngapain. Apanya yang mau kamu bikin curiga? Aku bahkan selalu pamitan sama kamu setiap kali ke mana-mana kalau lagi ada di Jakarta.”
Upik berdecak. Dan gue paling nggak suka kalau dia mulai seperti itu. “Kamu nggak usah melebarkan masalah.”
“Aku nggak suka cowok posesif,” kesalnya lalu beranjak dari kursi teras kamar kosnya.
“Andalan kamu banget nih! Setiap kali dilarang ini itu pasti senjata pamungkasnya itu,” teriak gue dari balik pintu kamarnya yang sudah tertutup rapat.
SHIT! Gue memaki sambil ingin menendang pintu kamar itu sekarang. Lima menit, sepuluh menit dan setelah lima belas menit Upik belum mau keluar juga, akhirnya gue pergi tanpa berpamitan.
Tiga hari kemudian Upik mengabari kalau dia sedang dalam perjalanan menuju Madakaripura bersama rombongannya. Nggak enak banget, sumpah. Upik pergi dalam kondisi kami sedang dalam keadaan bertengkar. Selama tiga hari kemarin kami benar-benar nggak saling tegur sapa. Sebenarnya ini bukan yang pertama kami alami. Kami biasa bertengkar seperti tiga hari yang lalu. Nanti biasanya ya Upik juga yang menyapa duluan, nanya kabar bahkan nyamperin duluan, tapi tanpa mau membahas persoalan terakhir yang membuat kita bertengkar hebat. Seperti sekarang ini contohnya. Nggak ada angin nggak ada hujan tahu-tahu kirim pesan kalau sudah mau berangkat aja busnya.
Gue berusaha menghubungi ponselnya. Hingga percobaan panggilan ketiga barulah Upik menerima panggilan telepon dari gue.
“Sibuk apa sampai telpon aku nggak diangkat dari tadi?” tanya gue tanpa basa basi.
“Waalaikumsalam,” jawabnya santai.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Tadi masih absen, briefing singkat sekarang busnya udah jalan. Ini udah masuk tol.”
“Kenapa baru ngabarin?”
“Nanti kamu ribetin lagi kayak kemarin.”
“Iya maaf. Ini kamu duduk di mana? Trus Haikal di mana?”
“Di belakang sopir. Dia di belakang kayaknya. Harusnya di depan juga kayak aku.”
“Nggak usah mancing-mancing. Aku samperin beneran loh.”
Gue dengar Upik seperti sedang tertawa kecil. Setelah gue memberi wejangan singkat dia mengakhiri panggilan telepon dari gue karena mau melanjutkan tidurnya. Semalam baru menyelesaikan sebuah drama korea. Astaga, rasa pengen jadi laptopnya Upik kalau kayak gini. Cemburu buta gue sama benda mati satu itu.
Sampai detik ini Haikal selalu membuat gue muring-muring nggak jelas seperti tadi. Sebenarnya Upik sudah presentasi dari beberapa bulan sebelumnya kalau akan diadakan acara seperti ini di UKM yang berada di bawah bimbingannya. Namun yang masih gue nggak bisa terima ada Haikal di dalam rombongan itu. Gue yakin Haikal pasti curi kesempatan untuk menarik perhatian Upik.
Gue ingat banget waktu itu pernah bilang, “saingan aku sekarang cuma kamu yang baru Upik kenal. Dulu sainganku lebih berat. Aku bersaing sama orang yang sudah belasan tahun dekat sama Upik.”
Bikin gue penasaran orang yang menjadi saingan Haikal waktu itu. Namun gue belum pernah membahas soal itu. Karena Upik sendiri juga tidak pernah menyinggung soal itu. Gue sendiri merasa takut Upik nggak nyaman kalau tiba-tiba gue bahas soal orang yang dianggap saingan berat oleh Haikal itu.
*****
~UPIK~
Aku merasa kesal kalau Daniyal bersikap posesif seperti itu. Namun aku juga nggak bisa menyalahkan Daniyal karena sifat posesifnya itu tumbuh subur juga karena aku. Aku percaya pada Daniyal. Namun mengapa rasanya aku tidak ingin membagi kebahagiaan di hatiku ini dengan orang lain. Meski sepanjang hari Daniyal tidak pernah putus memberi perhatian padaku tapi kalau dia sudah berada di Jakarta aku selalu tidak tenang.
"Kata Mas Haikal Madakaripura itu tempat bersejarah," ujar salah satu mahasiswa yang duduk di belakangku.
"Tempat bertapanya patih siapa sih itu yang punya sumpah palapa?"
"Gajah Mada? Astaga gitu doang nggak tau? Sejarah kamu dapat berapa sih?" Sahut yang lainnya.
"Oiya, aku lupa," jawab mahasiswa yang bertanya tadi sambil tertawa kecil. Ternyata mahasiswi-mahasiswi tadi masih terus beradu argumen.
"Pas pelajaran sejarah banyak bolosnya sih kamu!"
"Ya gimana lagi dong, otak aku mampunya mengingat sejarah hidupku doang, bukan sejarah bangsa ini".
Itulah obrolan unfaedah mereka bertiga pagi ini. Lalu tiba-tiba ada yang menepuk pundakku pelan. Saat aku menoleh mendapati Haikal tengah tersenyum padaku. Mahasiswa yang tadinya duduk di sampingku segera berdiri melihat keberadaan Haikal bahkan memberikan tempat duduknya pada laki-laki itu.
"Kirain kamu nggak ikut?" basa basi Haikal setelah duduk di sampingku.
"Iya, dosen pendamping yang harusnya ikut, tiga hari yang lalu kecelakaan. Aku juga penasaran sama bentuknya Madakaripura."
"Air terjunnya lumayan besar. Katanya kalau bawa kendaraan musti jalan kaki dulu kira-kira satu setengah kilometer dari parkiran. Kamu bawa jas hujan dan sandal jepit? Karena lokasi yang akan dikunjungi penuh guyuran air dari balik tebing dan jalanannya berbatu, licin juga," jelas Haikal.
Aku menoleh pada Haikal dan berkata, "jas hujan yang nggak bawa. Tapi moga aja cerah. Kan nggak enak banget motret hujan-hujan."
"Kalau aku terserah. Peralatan motretku waterproof, jadi meski kena cipratan air sekalipun tetap aman. Cuma ya itu, karena nggak bawa jas hujan musti rela basah-basahin dikit," sambil menahan senyum Haikal berusaha memberi pencerahan padaku.
"Nggak masalah itu. Jauh-jauh ke sini cuma nungguin bus, ya, rugi." Jawabku akhirnya.
"Oke, baik!" jawab Haikal penuh keyakinan. Dia mengangguk lalu tersenyum. Sebelum beranjak kembali ke belakang lagi, Haikal menyempatkan diri melihat ke arahku untuk melempar senyum padaku. Aku pun membalasnya dengan sebuah senyuman. Salah satu mahasiswa yang menyadari perbuatan Haikal tersebut berdecak sambil pura-pura tepuk tangan padaku.
Ternyata perjalanan kami melewati kaki gunung Bromo. Saat perjalanan, beberapa kali Haikal meminta berhenti untuk mengabadikan keindahan dari balik gunung Bromo. Hasil memotretnya ia tunjukkan padaku dan ikut dinikmati oleh mahasiswa yang lainnya. Aku dan para mahasiswa dibuat terkagum-kagum oleh keindahan gunung Bromo yang masih menyimpan misteri soal statusnya. Kekaguman kami ternyata tidak berhenti sampai di situ. Haikal kembali membuatku, dan mahasiswa lain nggak berhenti berdecak kagum. Setiap hasil memotretnya, kita seolah melihat tempat menakjubkan di bumi yang membuat kita seperti berada di dunia lain.
"Saya punya rekomendasian salah satu destinasi wisata air terjun yang menakjubkan selain Madakaripura," ujar sopir bus pada Haikal.
"Di mana, Pak?"
"Air terjun tumpak sewu dan goa tetes. Lokasinya di Lumajang. Katanya orang-orang, air terjun Niagaranya Indonesia."
"Serius?" tanya Haikal antusias. Sopir bus mengangguk cepat.
"Jauh nggak, lokasinya?"
"Kira-kira satu setengah sampai dua jam lah."
"Gimana? Madakaripura apa Tumpak Sewu?"
"Madakaripura aja. Muternya kejauhan nanti kalau pulang ke Surabayanya dari Lumajang. Bisa-bisa bablas ke Jember nanti," celetukku, disambut tawa oleh yang lainnya. Bisa dibilang aku cukup familiar dengan kota Lumajang, karena saat bekerja di showroom dulu beberapa kali diajak pemilik showroom ke Lumajang.
"Boleh, tuh, idenya. Kali aja kamu mau napak tilas di Jember. Mengulang kembali kenangan indah yang pernah terjadi di kota itu," jawab Haikal lalu pergi begitu saja dari hadapanku.
Aku merasa nada bicaranya kurang bersahabat saat mengucapkan kalimat itu. Ada kesan sinis yang sulit untuk disembunyikan.
~~~
^vee^