5. Circle Pertemanan

1311 Kata
~UPIK~ Beberapa bulan terakhir aku cukup antusias setiap kali menghadiri acara pernikahan. Apalagi sekarang aku datang ke acara pernikahan dengan seseorang yang spesial di hatiku. Sudah nggak ngenes-ngenes amat karena seringnya datang ke pernikahan orang sendirian aja. Sebuah ketukan terdengar dari balik pintu kamar kosku. Itu pasti Daniyal. Sebelum keluar sekali lagi aku mematut refleksi tubuhku di cermin. Sempurna! Ucapku dalam hati. Tadi sore aku sengaja memanggil salah satu mahasiswiku yang jago make up untuk mendandaniku. Dia nggak meminta bayaran berupa uang. Dia hanya minta dikasih bocoran kapan kuis dariku untuk minggu ini. Dia tertunduk lesu saat aku lebih memilih memberinya uang dari pada jadwal kuis yang selalu diadakan secara mendadak. Namun saat melihat penampilanku secantik ini, aku berubah pikiran. Aku mengirimi mahasiswiku tadi jadwal kuis untuk minggu ini. Begitu aku membuka pintu pemandangan pertama yang kulihat Daniyal sedang berdiri sambil memunggungiku dengan satu tangan tersimpan di kantong celana bahan, sementara tangan lainnya sedang memegang ponsel. Dari gesturnya dia terlihat sedang menelepon seseorang. “Iya, beres, Pa. Bisa diatur itu,” ujar Daniyal dengan orang yang sedang berbincang dengannya di telepon. Aku tebak mungkin papanya. Tiba-tiba Daniyal berbalik. Dia tersenyum kemudian berkata, “udah dulu ya, Pa. Pacarku udah siap. Bye…” Aku melotot dan meneguk ludah mendengar ucapan Daniyal. “Telponan sama siapa?” tanyaku. “Papaku,” jawabnya singkat lalu menilik penampilanku dari ujung kaki hingga kepala. Benar dugaanku. Daniyal sedang berbicara dengan papanya tadi. Hatiku menghangat mendengar dia dengan gentle-nya mengakuiku sebagai kekasihnya. “Cantik banget, sih? Kamu pacarnya siapa?” canda Daniyal. “Jangan mulai!” balasku. Daniyal mengulum senyum. “Yuk, berangkat!” ucapnya, sambil menggandeng tanganku menuju mobilnya. Aku tidak bisa memungkiri kalau malam ini Daniyal setingkat lebih tampan dari biasanya. Saat ini dandanannya khas eksekutif muda yang menarik perhatian berbagai kalangan. Aku merasa ada banyak pasang mata yang terarah pada kami. Aku yakin objek dari retina mereka bukan aku, tapi laki-laki yang kini berada di sebelahku, yang rasanya lebih pantas disebut sebagai model majalah ketimbang pemilik perusahaan rintisan. Dia punya postur tubuh yang bagus. Tinggi, tegap dan terlihat atletis tapi nggak yang gempal seperti pelatih gym. Wajahnya khas Asia Timur, kulit putih bersih dan mata agak sipit dengan sorot mata yang menunjukkan kecerdasan. Aku merasa beruntung. Dengan sekian kelebihan yang dia miliki dalam dirinya, dia memilih aku sebagai kekasihnya. Bahkan saat kami berdua berada di ballroom, tangannya tak lepas dari menggenggam tanganku. Dia turut memperkenalkan aku sebagai kekasihnya pada orang-orang yang kebetulan dikenal atau mengenalnya. Bahkan dia tidak membiarkanku merasa asing di tempat ini saat dia sedang asyik mengobrol dengan kenalan-kenalannya, sementara aku tidak mengenal satupun orang yang hadir di acara super mewah ini. Sesekali dia akan melibatkanku ke dalam obrolan dengan kenalan-kenalannya tadi. Topik yang mereka bicarakan tidak jauh-jauh dari urusan bisnis, ekonomi dan koloni-koloninya. “Eh, mau ke mana?” tanyaku saat Daniyal hendak beranjak dari kursinya. “Mau ambil es krim.” “Tadi udah abis satu cup kan?” “Pengen lagi.” “Biar aku yang ambilin,” ucapku. Daniyal menggeleng. Dia memintaku untuk duduk manis saja di kursiku. Dia berjalan santai menuju stan es krim yang terletak berseberangan dengan meja kami. Daniyal benar-benar berdiri lalu melangkah melewati kerumunan orang-orang yang sedang mengikuti prosesi lempar buket bunga. Namun saat Daniyal berhenti di belakang kerumunan tiba-tiba dia berhenti dan berbalik badan. Dari gesturnya sedang melongokkan kepala, dia seperti ingin mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang tengah berkumpul di depan panggung pelaminan. Dan voila tiba-tiba buket bunga yang dilempar oleh mempelai wanita mendarat tepat di depan d**a Daniyal dan dengan refleks Daniyal menangkap buket bunga tersebut dengan tangannya. Ekspresinya antara bingung atau terkejut. Kerumunan bubar setelah tahu siapa yang berhasil menangkap buket bunga pengantin. “Maksudnya apa ini?” tanya Daniyal, menunjukkan sekaligus menyerahkan buket bunga tadi padaku. Aku terkikik geli. “Emangnya kamu nggak pernah datang ke acara pernikahan sebelum ini? Biasanya kan ada prosesi lempar bunga. Nah, yang dapat buket bunga pengantin itu dipercaya akan segera menyusul ke pelaminan,” jelasku dengan senyum tertahan. “Nggak lama lagi nyusul nikah juga gitu?” Daniyal memperjelas penjelasanku dengan bahasanya yang lebih sederhana. “Nah, semacam itu mitosnya.” “Tahun depan. Amin paling kenceng,” ucapnya penuh semangat. Aku menatap buket bunga yang tadi diberikan oleh Daniyal padaku. Dalam hati aku juga mengamini apa yang diamini oleh Daniyal. “Kamu kenapa senyum-senyum nggak jelas gitu?” tanyaku saat Daniyal tak berhentinya menatapku sambil tersenyum. “Lagi bayangin kamu pakai baju pengantin yang dipakai pengantin itu,” ujarnya sambil menunjuk ke arah panggung pelaminan. “Kamu pasti cantik banget kayak bidadari,” sambungnya. “Kamu kalau muji aku terus, aku beneran ngilang ke dasar bumi, loh, abis ini.” “Iya, iya, bercanda. Tapi kalau kamu cantik, itu beneran kok.” “Gombal aja terus anaknya Pak Luthfi.” Daniyal tertawa mendengar aku menyebut nama papanya. Dia lalu beranjak lagi dari kursinya sambil mengancingkan jasnya dan menatapku. “Mau ke mana lagi?” tanyaku, menahan tangannya. “Ambil es krim. Tadi kan nggak jadi ambil gara-gara buket bunga,” jawabnya. “Kamu mau juga? Enak loh.” Aku hanya menggeleng. Perutku sudah terasa penuh dengan berbagai hidangan yang silih berganti dihidangkan di atas meja selama hampir satu jam berada di tempat ini. Sedangkan Daniyal masih belum juga selesai dengan urusan mengisi perutnya. Saat baru saja Daniyal kembali duduk di kursinya, seseorang menepuk pundaknya. Pria berusia paruh baya yang sepertinya kenal dengan Daniyal. Pria tersebut menduduki kursi yang kebetulan sudah kosong karena ditinggal penggunanya beberapa waktu lalu. “Kamu sama siapa, Dan?” tanya pria tersebut. “Oh, sama pacarku, Om,” jawab Daniyal setelah menyalami pria tersebut dengan sopan. “Papa sama Mama kamu?” “Ada di Jakarta. Nggak bisa datang jadi aku yang datang sebagai perwakilan,” jelas Daniyal sopan. “Sayang sekali ya. Padahal saya mau ngobrol banyak sama papa kamu. Tapi Papa dan Mama kamu sehat, kan?” Daniyal mengangguk yakin. “Sehat semua, Om,” jawabnya. Tak lama kemudian pria tadi pergi. Daniyal kembali memfokuskan dirinya padaku dan tentu saja es krimnya. Di saat orang-orang yang tadi duduk semeja dengan kami sudah berganti tempat perkumpulan, tidak halnya dengan Daniyal. Dia lebih memilih bertahan di meja ini untuk mengajakku mengobrol sambil menikmati es krimnya. “Sepanjang acara dan ketemu dengan banyak orang yang kenal sama kamu, yang ditanya cuma papa dan mama kamu doang ya? Baru soal kamu,” ujarku. “Ya kan ini acara kenalan papaku. Otomatis kenal juga sama mamaku. Aku? Cuma pelengkap,” jawab Daniyal sambil menyeringai. “Bukan gitu maksud aku. Orang tua kamu, kan, udah pisah. Papa kamu juga sudah menikah lagi. Memangnya mereka nggak tahu? Kesannya kok nggak etis aja gitu menanyakan kabar dua orang yang sudah nggak tinggal bareng tapi di waktu yang bersamaan. Kalau memang mereka pengertian harusnya kan cukup tanyakan kabar papa kamu atau mama kamu saja,” ucapku ingin menyuarakan pendapatku. Daniyal menghela napas panjang. “Kamu pikir aku suka ditanya kayak gitu? Aku mau menjawab hanya untuk menjaga nama baik papaku aja,” jawabnya, sambil menunjukkan wajah jengah. “Sebelum aku berangkat tadi, papaku udah berpesan, di tempat seperti ini kita dituntut untuk bermuka dua. Menjadi baik dan busuk dalam satu waktu. Sampai sini kamu paham kan, maksud aku?” sambungnya. “Basa basi busuk,” jawabku. “Nah, itu tahu,” ucap Daniyal, menjentikkan jarinya kemudian menyentuh ujung hidungku. “Orang tuaku itu circle pertemanannya luas. Sampai aku sendiri juga nggak tahu siapa saja teman-teman mereka yang tulus dan yang fake. Dan sekarang ini aku sedang dituntut untuk melanjutkan circle pertemanan yang sama, dengan cara yang sama juga.” “Ngeri juga circle pertemanan orang kaya. Papa kamu juga kayaknya masih belum siap melepas kamu sendirian untuk bergabung dengan mereka," komentarku. Daniyal hanya tertawa, tidak berkomentar lebih jauh lagi. Aku bersyukur karena dia akhirnya mengajakku untuk segera meninggalkan tempat ini. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN