7. Reuni Tipis2

1730 Kata
~UPIK~ Bisa dibilang ini semacam reuni dadakan dengan Haikal. Karena memang aku sudah cukup lama tidak bertemu dengan dia. Terakhir itu saat aku menjelaskan pada mamanya kalau hubunganku dengan Haikal sudah berakhir. Bersyukur mamanya mengerti dan tidak menuntut penjelasan lebih jauh waktu itu. Sementara Haikal kelihatan cukup kesal karena aku terlalu terus terang katanya. Kalau bicara soal perasaan, aku sudah sama sekali tidak merasakan hal istimewa pada Haikal. Biasanya jantungku akan berdebar saat mendengar orang lain menyebutkan namanya, kini hal itu sudah tidak terjadi lagi. Aku benar-benar tidak memiliki rasa apa pun terhadap laki-laki itu. Hanya saja Daniyal selalu mudah terpancing bila menyangkut hal sekecil apa pun yang menyangkut temannya itu. Aku dan Haikal sebenarnya jarang bertemu. Meski aku adalah dosen pembina UKM Fotografi, dan Haikal adalah tutor untuk anggota UKM Fotografi tidak lantas menuntut kami harus bertemu setiap saat. Aku punya kesibukan mengajar. Begitupun dengan Haikal sibuk dengan urusannya yang tidak ingin aku cari tahu lebih jauh. Jadwal acara perjalanan ke Madakaripura saja aku dapat dari ketua UKM bukan dari Haikal. Selama perjalanan tidak sekali Haikal menghampiri bangku depan. Ada mungkin tiga sampai empat kali. Ada saja keperluannya. Bahkan yang terakhir kali dia cukup lama duduk di samping supir sambil mengobrol dengan pemandu yang kami temui tadi saat bus memasuki kota Probolinggo. Entahlah disengaja atau dia ke depan karena memang punya kepentingan. Aku tidak berpikir terlalu jauh soal itu. Air Terjun Madakaripura berada di sekitar 30 kilometer arah selatan Kota Probolinggo. Untuk menuju ke sana, pengunjung bisa mengendarai kendaraan roda empat atau roda dua. Begitu sampai di lokasi, jalan sejauh 3 kilometer hanya bisa dilalui kendaraan roda dua hingga menuju pos tiket. Sesampai di pos tiket, kendaraan roda dua juga harus diparkir di tempat penitipan. Karena akses menuju lokasi air terjun hanya berupa jalan setapak. Jarak yang ditempuh dengan tracking sekitar 1,3 kilometer. Melewati bibir sungai yang merupakan aliran dari Air Terjun Madakaripura. Sepanjang perjalanan, mata pengunjung akan terus dimanjakan indahnya hamparan pegunungan. Ada beberapa pos pemberhentian yang bisa dimanfaatkan wisatawan untuk beristirahat sejenak. Sekitar 300 meter sebelum sampai Air Terjun Madakaripura, pengunjung harus melewati ngarai. Dari sanalah rasa lelah terbayar lunas. Dari sisi kiri tebing, kucuran air yang menyerupai tirai menyambut pengunjung. Kondisi sekitar masih sangat alami. Udara segar terasa sejak pengunjung melintasi jalan utama menuju lokasi wisata. Tanaman dan bunga liar tumbuh subur. Membentuk lukisan alam yang selalu sukses menyejukkan mata. Tidak hanya itu, sesekali, burung-burung liar nan cantik menyapa dari sela-sela pepohonan. Melewati jalan setapak di tengah ngarai, pengunjung wajib selalu waspada. Karena jalan yang mayoritas berlantai batu itu terbilang licin. Berjalan setapak demi setapak hingga menaiki bukit setinggi 3 meter. Dan di sinilah aku tergelincir dua kali hingga pergelangan kakiku terkilir. Beruntung ada yang siap siaga menangkapku sebelum aku semakin jatuh saat tergelincir yang kedua kalinya. Saat menoleh ternyata Haikal yang menolongku. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Haikal khawatir. “Aku nggak apa-apa. Makasih bantuannya,” jawabku kikuk, lalu meminta Haikal untuk melepas tangannya dari badanku. Aku merasa nggak enak karena semua pasang mata sedang menatapku, terutama para mahasiswa yang sedang melihat skinship antara aku dan Haikal. “Kamu kuat jalan?” tanya Haikal lagi sambil berjongkok untuk melihat kondisi kakiku. “Kuat kok.” “Kalau nggak kuat aku gendong aja ya? Sepatu kamu juga basah loh.” “Eh..nggak usah,” jawabku lalu memanggil salah satu mahasiswiku dan memintanya untuk menjadi peganganku selama melewati jalan licin ini. Haikal menatap dingin padaku. Namun aku segera membuang muka supaya tidak berlama-lama beradu tatap dengannya. Dan, pada akhirnya setelah berjuang berjalan dengan menahan sakit di pergelangan dan punggung kaki, Air Terjun Madakaripura dapat dilihat dengan jelas. Dengan ketinggian sekitar 200 meter, tetesan air terjun tertinggi di Pulau Jawa itu bisa berhamburan ke segala arah akibat tertiup angin. Percikannya akan membasahi wajah dan kulit setiap pengunjung. Rasanya begitu segar sekaligus menyeka lelah. "Air Terjun Madakaripura itu dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakhir Gajah Mada. Dari sana pula nama Madakaripura itu berasal," jelas seorang warga Desa Negororejo, Kecamatan Lumbang yang menjadi pemandu rombonganku. Menurut penduduk setempat, nama Madakaripura berarti “tempat terakhir” yang diambil pada cerita zaman dahulu, dimana konon Patih Gajah Mada menghabiskan akhir hayatnya dengan bersemedi di dalam goa yang terdapat di balik air terjun. Itulah sebabnya mengapa terdapat arca Gajah Mada di area pintu masuk lokasi wisata. Aku menjadi penonton saat Haikal dan para mahasiswa mulai mengambil foto di tempat ini menggunakan kamera-kamera mereka yang super canggih itu. Aku tahu sesekali Haikal mengarahkan kameranya padaku. Namun aku berusaha berpaling dan menatap ke segala arah untuk menghindari bidikan lensa kamera Haikal yang terkenal handal. Saking profesionalnya dia dalam dunia fotografi, gambar ngeblur pun tetep kelihatan aesthetic di tangan Haikal. Aku bukannya memuji dia secara berlebihan. Tapi itu memang kenyataannya. Sebenarnya aku ingin bermain air di bawah air terjun Madakaripura. Sepertinya seru dan airnya kelihatan segar karena alami. Tapi apalah daya, nyeri di kakiku sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Jadi aku harus berpuas diri hanya dengan menikmati pemandangan air terjun dari satu tempat. Sesekali aku mengambil gambar dengan kamera ponselku. Meski hasilnya tidak sebagus kamera mahal para mahasiswaku, tapi aku cukup puas dengan hasilnya. Kami berada di tempat ini selama tiga jam. Tubuhku sudah mulai kedinginan. Dari tempatku duduk, aku lihat Haikal sedang berjalan ke arahku. Dia mendekati ransel yang dia letakkan tak jauh dari sampingku. Dari ekor mataku bisa kulihat dia sedang mengeluarkan sebuah sweater warna teracota. Kemudian dia memberikannya padaku. “Pakai ini. Kayaknya masih lama karena mereka berencana mau mandi,” ucap Haikal. “Aku sudah pakai jaket,” jawabku sembari menunjukkan jaket yang sedang kukenakan. “Kamu itu kedinginan. Jaket kamu nggak bisa nahan dinginnya udara di sini. Pakai aja,” ujar Haikal melebarkan sweaternya kemudian menyampirkannya di pundakku. Setelah menyimpan kembali kameranya di dalam ransel, Haikal bergabung kembali dengan para mahasiswa UKM fotografi. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku saat aku sedang menunggu rombongan mahasiswa yang masih betah berada di sekitar air terjun nan dingin. Daniyal menanyakan soal kepastian aku akan menginap di mana malam ini. Dia sudah berusaha menelepon tapi karena sinyal di daerah sini sangat susah dan kami seperti orang sedang bertengkar, aku memutuskan untuk mengakhiri panggilan telepon kami. Setelah puas bermain-main di air terjun Madakaripura, aku dan rombongan beristirahat sejenak di sebuah warung untuk mengisi perut dan melepaskan dahaga. Walaupun saat itu kami tengah beristirahat dan agak lelah, tapi para mahasiswa itu tidak kehilangan keceriaannya dan tetap asyik berfoto ria bersama. Sekitar pukul tiga sore Haikal mengajak rombongan meninggalkan lokasi wisata Air Terjun Madakaripura dan langsung menuju penginapan yang sudah dekat dengan tujuan berikutnya yakni Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Hampir semua peserta rombongan tertidur di sepanjang perjalanan, sementara aku sungguh menikmati pemandangan berupa pegunungan, perbukitan, dan pepohonan yang begitu indah dari jendela bus sambil mengambil beberapa foto dengan kamera ponsel. Keindahan yang sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Penginapan yang dipilih oleh ketua panitia terletak di dekat gerbang Kawasan Wisata Bromo. Sesampainya di penginapan sekitar pukul lima sore, aku bersama dengan enam mahasiswi langsung menempati sebuah kamar luas dengan tiga tempat tidur ukuran queen dan sebuah kamar mandi yang dilengkapi air panas. Sementara Haikal dan lima mahasiswa menempati kamar lain dengan fasilitas sama seperti kamarku. Setelah menaruh barang-barang bawaan di penginapan dan membersihkan diri, aku keluar penginapan dan menyantap semangkuk hangat bakso bakwan Malang yang dijual di sebuah gerobak oleh seorang lelaki paruh baya, lalu sesaat menikmati pemandangan sore hari di sekitar kawasan wisata itu. Sebenarnya Daniyal sudah menawarkan belasan bahkan puluhan kali hotelnya untuk rombonganku. Namun aku menolak karena berbagai pertimbangan terutama budget yang sudah diatur oleh kampus, sementara itu Daniyal juga menolak sepeserpun uang dariku. Meski aku sudah mengatakan kalau itu bukan uangku dia tetap tidak mau menerima. Jadi supaya adil lebih baik nggak menginap di hotelnya Daniyal. Beruntung Daniyal sedang ada kesibukan di kantornya dan ada urusan penting dengan papanya yang mengharuskan dia kembali secepatnya ke Jakarta. Kalau dia sedang santai sudah bisa dipastikan laki-laki itu sudah berada di tempat ini dalam beberapa jam ke depan. Sebenarnya dia tidak berbuat hal aneh yang membuat aku malu juga. Kalau dia disuruh diam ya dia nggak akan berulah. Namun aku yang merasa kurang nyaman ada Daniyal di sekitarku saat seperti ini. Aku terkejut saat tiba-tiba ada cangkir dengan kepulan asap di atasnya tepat di depan wajahku. Sampai aku harus memundurkan wajahku. “Sorry ngagetin,” ucap Haikal sambil menyerahkan cangkir yang aku tebak berisi teh dari aromanya. “Makasih,” jawabku sambil meniup permukaan cangkir untuk menyingkirkan asap. “Susah sinyal ya?” tanya Haikal mengambil duduk agak menyerong dan sedikit lebih rendah dari tempat dudukku. “Iya, nih. Padahal udah agak ke atas.” “Lagi gerimis mungkin. Kena angin tower provider terdekat.” “Iya kali,” jawabku singkat. “Kaki kamu gimana? Masih sakit?” “Udah mendingan,” jawabku sambil melirik ke arah punggung kakiku. “Aku carikan tukang urut ya. Tadi nanya-nanya sama yang jualan bakwan. Katanya di dekat sini ada tukang urut perempuan. Kalau kamu mau nanti bisa dijemput tukang urutnya.” Aku terdiam sejenak sambil mempertimbangkan tawaran kebaikan itu. Lalu aku memutuskan untuk menggeleng. “Nggak usah deh. Biar nanti diobati di Surabaya aja,” ucapku sesopan mungkin. “Takutnya bengkak. Besok masih mau naik juga kan,” tandas Haikal. “Aku nggak ada rencana naik,” jawabku cepat. “Udah sampai sini nggak naik? Rugi loh.” “Yang mau dilihat juga aku udah lihat.” “Ya tapi itu udah lama, kan.” “Apa bedanya? Bukit teletubies berubah jadi sawah? Pasir berbisiknya udah nggak bisik-bisik lagi kalau ngomongin tetangga tapi malah ngomong blak-blakan? Atau gunung batoknya udah terbalik? Enggak kan,” balasku. Haikal tertawa mendengar jawaban panjang dariku. “Ya nggak berubah gitu juga. Tapi pengalamannya beda. Karena kita akan melakukan tracking dari dini hari." Lalu Haikal menjelaskan panjang lebar perjalanan yang akan ditempuh oleh rombongan menuju Gunung Bromo. “Aku nunggu di sini aja,” jawabku lebih tegas dan tidak bisa diganggu gugat. “Oh...Oke," balasnya singkat. Dia merasa kali ini jawabanku sudah tidak bisa diubah lagi. Haikal kemudian beranjak dari sampingku. Sebenarnya aku sangat tertarik pada rangkaian acara yang telah disusun oleh panitia acara ini. Namun aku lebih memilih tidak berurusan dengan Haikal daripada berdampak buruk pada hubunganku dengan Daniyal. Karena cemburunya Daniyal itu lebih parah daripada cemburunya seorang perempuan. Dia akan terus-terusan mengungkit dan mengejekku. Dan aku malas mendengar ejekan dari dia, karena aku tidak bisa membalas mengejeknya dengan kesalahan yang sama. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN