~UPIK~
Sudah tiga hari ini Daniyal tidak mampir setelah mengantarku sampai kos. Dia juga tidak mengatakan alasannya hingga detik ini. Akhirnya aku memutuska akan bertanya karena sudah tidak tahan dengan caranya mendiamkanku tanpa aku tahu kesalahanku. Namun aku tidak akan langsung menyampaikan inti dari pertanyaanku.
“Sibuk banget kayaknya tiga hari ini?” tanyaku sambil memasang seatbelt.
“Lumayan. Ada project baru dan agak rumit proses pengerjaannya,” jawab Daniyal mulai melajukan mobilnya meninggalkan areal parkir kampus.
“Oh...sampai harus lembur juga?” Aku memulai sesi wawancaraku.
Daniyal menoleh. Awalnya dia ragu saat ingin menggeleng. Namun sedetik kemudian dia mengangguk yakin. Dia seolah mengerti kalau aku bukan hanya sekadar bertanya. Lebih tepatnya sedang menginterogasi dirinya.
“Nanti kalau mau dekat lampu merah berikutnya ambil lajur kiri ya. Turunin aku di depan halte. Dekat situ ada halte seingatku,” ujarku sambil menunjuk kaca depan saat memberi penjelasan pada Daniyal.
“Kenapa?” tanya Daniyal tidak mengerti.
“Kamu tahu sendiri aku nggak suka ngeroptin orang lain. Aku nggak mau sampai orang lain harus mengorbankan urusannya cuma demi aku.”
“Maksud kamu orang lain itu aku?” balas Daniyal.
Aku mengangguk pasti. Dia tiba-tiba tersenyum tertahan. Senyum khas yang menyebalkan tapi membuatku ingin tersenyum juga setiap kali melihatnya. Namun kali ini aku sama sekali tidak terpancing untuk membalas senyuman itu.
“Aku nggak ngerasa direpotin, kok, sayang…”
“Tadi kamu bilang sibuk sampai harus lembur segala. Mana nggak punya waktu banget cuma buat mampir kosan sebentar.”
“Ya, aku sengajain gitu biar cepat kelar. Biar aku bisa buru-buru punya waktu sama kamu.”
"Bener cuma alasan pekerjaan yang bikin kamu nggak mampir ke kos setelah mengantarku?"
Daniyal menatap heran padaku. "Iya karena lembur kerjaan. Emangnya alasan apa lagi yang kamu butuhin?"
Aku menggeleng sambil membuang muka. “Kirain kamu nggak mau mampir kosku karena aku menolak diajak ketemu ortu kamu," jawabku malu-malu.
Daniyal benar-benar tersenyum kali ini. Senyum menyenangkan dalam arti yang sebenarnya. “Aku ngerti, kok. Kamu bukan menolak, tapi karena emang waktunya lagi nggak pas,” jelasnya.
Mobilnya berbelok ke arah jalan menuju kosku. Dan lima menit kemudian mobil Daniyal berhenti tepat di depan pagar kosku.
“Nggak mampir lagi, nih?” tanyaku sambil melepas seat belt.
“Besok aja ya.”
“Besok-besok nggak usah jemput lagi kalau berasa naik grabcar gini,” kesalku, sambil memutar tubuh hendak membuka pintu mobil.
Sayangnya aku kalah cepat dengan Daniyal. Dia sudah lebih dulu mengunci secara otomatis semua pintu, termasuk pintu di sampingku sebelum aku sempat menarik gagangnya.
Daniyal meraih tanganku lalu menggenggamnya. “Grabcar banget ya? Bukannya tadi aku udah jelasin alasannya?”
“Iya ngerti.”
Daniyal menahan senyum. “Ya udah aku turun, mampir bentar,” ujarnya.
“Gitu dong. Buka!” balasku. Lalu Daniyal membuka pengunci otomatis seluruh pintu mobil.
Aku keluar kamar sambil membawa chocolate milk hangat kesukaan Daniyal. Menjadi kekasihnya selama enam bulan terakhir, aku mulai tahu hal-hal apa yang disukai dan tidak disukai oleh Daniyal. Salah satunya tidak suka full cream milk, sukanya coklat.
Daniyal mengambil alih gelas dari tanganku saat melihat kedatanganku. Dia duduk di kursi depan teras kamar kosku lalu meletakkan gelas berisi chocolate milk hangat di atas meja.
“Apa itu?” tanyaku melirik amplop warna merah muda polos dengan hiasan pita silver yang diletakkan Daniyal di atas meja.
“Coba tebak?”
“Apaan tebak-tebakan? Nggak ada hadiahnya juga,” cibirku.
Daniyal balas tertawa cibiranku. “Tebak aja. Bebas mau minta hadiah apa aja kalau tebakan kamu bener,” jawabnya.
“Album EXO terbaru,” jawabku, dengan gaya sok bisa menebak amplop apa yang sedang dibawa oleh Daniyal.
“Album EXO doang? Yakin?”
“Tiket konser EXO.”
“TIket konser EXO di kursi VIP, deh, kalau bener.” Tampak jelas dari wajahnya kalau Daniyal kesal padaku
Aku terbahak lalu memukul bahunya. “Sombongnya anak sultan,” ucapku sambil melanjutkan tawaku.
“Abisnya kamu ngeselin gitu. Belum nebak minta hadiahnya tanggung banget. Gedein sekalian biar seimbang sama energi yang dikeluarin untuk berpikir.”
Aku terus tertawa sambil memegangi perutku. Ada saja jawaban Daniyal yang seringnya di luar dugaan. Apalagi ekspresinya saat bicara tadi, terlalu lucu untuk tidak ditertawakan.
“Udah dong, ketawanya! Nanti kamu batuk trus muntah kayak waktu itu,” ujar Daniyal mengingatkanku pada kejadian beberapa waktu lalu. Saat kami berdua menonton film komedi di bioskop. Aku terpaksa ke kamar mandi di tengah penayangan karena terbatuk saat tertawa dan tidak sanggup menahan diri untuk terus batuk hingga muntah.
Akhirnya aku berusaha berhenti tertawa sambil mengusap sisa keringat dan air mata yang sempat membasahi wajahku. “Undangan pernikahan siapa, sih, itu? Warnanya manis dan cute banget,” ucapku, mengedikkan bahu ke arah benda yang menjadi provokator meledaknya tawaku.
Ganti Daniyal yang tertawa. Dia meraih undangan tersebut lalu menyerahkannya padaku. “Undangan pernikahanku sama anak salah satu klien papaku,” jawab Daniyal dengan mimik wajah serius sepanjang sejarah mengenal laki-laki itu.
“Hati-hati! Omongan adalah doa,” jawabku santai.
“Eh...salah, salah!. Maksud aku undangan pernikahan anak salah satu klien papaku. Dapat orang Surabaya dan aku disuruh mewakili Papa untuk datang ke acara itu,” jelasnya. Aku menanggapi sambil menahan tawa saat Daniyal meralat ucapannya dengan ekspresi yang lucu menurutku.
“Dapat konser EXO kursi VIP, nih,” ucapku, sambil membuka undangan tersebut. Desain undangannya terlihat mewah tapi tidak terlihat sedang memamerkan kekayaan melalui undangan pernikahan. Karena tanpa perlu pamer pun, nama yang tertera di undangan pernikahan itu sudah mampu memberi bukti nyata.
“Eh, enak aja! Kamu kan jawabnya kurang lengkap.”
“Kamu juga pertanyaannya nggak jelas. Tadi kan cuma disuruh nebak itu apa? Aku jawab undangan pernikahan kan? Kurang lengkap apanya?”
“Yang lengkap dong, undangan pernikahan siapa gitu.”
“Ish...nggak ada, nggak ada. Mana hadiahku?”
“Emang kapan konsernya EXO?”
“Nggak tahu!” jawabku tanpa dosa. Dan Daniyal menatap malas padaku, bahkan terlihat sangat ingin segera membalas perbuatanku.
“Kamu temani aku ke acara itu, ya,” ujar Daniyal selanjutnya.
“Minder duluan datang ke acara crazy rich,” jawabku enggan.
“Ngapain minder? Kamu kan, datangnya sama calon crazy rich.”
Aku tertawa. Membaca lagi tulisan-tulisan dalam undangan tersebut, mencari jadwal dan tempat resepsinya. Aku harus menyesuaikan dengan jadwalku.
“Kamu dandan yang cantik ya,” ujar Daniyal lagi.
Aku menatap jengah padanya. Senyum dan tawaku beberapa menit yang lalu seolah terhapus begitu saja akibat ucapannya yang menyebalkan itu. “Yang mau nikah orang lain, kenapa aku yang disuruh dandan yang cantik? Lagian kamu nyuruh aku dandan yang cantik maksudnya apa? Aku nggak cantik kalau nggak dandan, gitu?” cecarku.
Daniyal menatapku dengan wajah bingung selama beberapa saat.. Sedetik kemudian dia mengumpat. “Damn! PMS,” dengusnya, setelah melihat ke arah jam tangannya. Dia memang tahu jadwal datang bulanku dan seperti apa bentukanku saat menjelang datang bulan. Aku sengaja terbuka tentang itu pada Daniyal. Aku mau kami saling terbuka untuk hal sekecil apa pun. Dan dia selalu menghindari perdebatan dalam bentuk apa pun denganku saat jadwal datang bulanku akan tiba. Seperti yang terjadi saat ini.
“Nggak ada maksud apa-apa, sayang...Kamu udah cantik meski tanpa dandan. Aku nyuruh kamu dandan karena pengen aja, lihat kalau kamu dandan kayak gimana,” ucapnya hati-hati dan penuh kesabaran.
“Kamu pengen aku dandan macam apa? Mau lihat aku jadi secantik siapa? Ada dresscode-nya nggak acara itu? Acaranya juga masih lama, jadi aku bisa cari dari sekarang baju pestanya.”
Daniyal tersenyum sambil menepuk pelan puncak kepalaku. Sebuah kebiasaan yang sering dilakukan olehnya dan aku menyukai kebiasaan itu. Aku masih ingat begitu caranya Daniyal meredakan tangisku saat patah hati setelah mendengarkan alasan Haikal menghilang seperti ditelan bumi selama lebih dari tiga tahun. Daniyal yang saat itu sering kena omelanku, justru menjadi orang yang paling sering ada di sisiku bahkan di saat tersedihku. Namun itu mungkin kesalahan terbesar yang pernah kulakukan. Tak mengacuhkan Daniyal hanya demi menikmati keterpurukan bodoh yang pernah kulakukan karena menunggu Haikal. Sejak hari aku menjalin komitmen dengan Daniyal, aku sudah memutuskan untuk tidak mengingatnya lagi. Aku harus fokus pada hubunganku dengan Daniyal, sembari saling menyembuhkan luka masing-masing.
"Nggak makan dulu?" tanyaku saat Daniyal beranjak dari kursi setelah berpamitan harus kembali ke kantornya lagi.
"Karyawanku ngechat udah beliin makan malam buat aku. Dikiranya aku makan malam di kantor kayak kemarin," sesalnya. "Kamu nggak apa-apa ya, aku tinggal? Besok janji, deh, makan malam sama kamu," sambungnya, berusaha mendapatkan pengertian dariku.
"Iya nggak apa-apa. Kamu balik ke kantor aja. Nanti kalau mau makan aku bisa pesan."
"Kabarin aja pengen makan apa, nanti aku yang pesenin."
"Jempolku masih lengkap dan berfungsi dengan baik kalau cuma buat pesan makanan dari handphoneku sendiri, Daniyal. "
Daniyal tertawa. Dia lalu masuk ke mobilnya. Memintaku kembali masuk kos sebelum dia menjalankan mobilnya.
***
Keesokan paginya Daniyal sudah berada di depan kosku sambil membawa bungkusan. Dari aromanya aku tebak pasti bubur ayam. Menilik dari pakaiannya pagi ini, masih sama seperti yang digunakannya tadi malam. "Kamu tidur di kantor? Atau memang belum tidur sama sekali dari semalam?" tanyaku penasaran.
Daniyal nyengir, menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi. Satu dari tebakanku pasti benar melihat dari responnya saat mendengar pertanyaanku. Atau bahkan mungkin dua-duanya benar.
"Kangen makan bareng kamu." Seperti biasa Daniyal memberi jawaban yang sama sekali tidak relevan dengan pertanyaanku.
"Kan, bisa waktu makan siang, atau makan malam? Kamu pasti kurang tidur beberapa hari ini, nanti kalau sakit gimana?" Aku mulai gemas pada alasan tidak masuk akal yang diucapkan oleh Daniyal.
"Kata kamu omongan adalah doa. Kamu ngomong gitu sama aja kayak kamu lagi doain aku sakit," balasnya.
Aku sudah siap memukul kepalanya dengan sendok. Namun dia refleks menangkupkan kedua tangan di depan keningnya, seolah bisa menebak jalan pikiranku.
"Iya, iya. Habis sarapan bareng kamu, aku langsung pulang ke rumah, trus tidur sampai siang. Sampai sore kalau perlu," ujarnya, sambil menyendokkan bubur ke mulutnya.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya sanggup menahan senyum melihat tingkahnya. "Ya udah cepet dihabisin buburnya trus pulang dan segera tidur," ujarku mengingatkan.
~~~
^vee^