~DANIYAL~
Gue melangkah turun setelah memarkir mobil di area parkir mahasiswa. Gue sengaja menjemput Upik di kampus. Dia selalu menolak setiap kali gue tawarkan jemputan. Kali ini dia tidak bisa menolak karena sekarang gue sudah berada di depan pintu ruang dosen.
“Cari siapa, Mas?” tanya seorang perempuan berjilbab yang nggak gue kenal saat gue celangak celinguk seperti orang b**o di kaca jendela ruang dosen.
Setelah gue menyebutkan nama depan Upik, perempuan itu mengatakan kalau orang yang sedang gue cari saat ini sedang berada di ruang kelas. Gue memutuskan menunggunya di kursi stainless yang tersedia di lorong dekat ruang dosen.
“Psst…” goda gue saat melihat Upik melintas di seberang lorong.
Karena area sekitar sedang sepi mahasiswa maka Upik bisa mendengar meski tidak dipanggil dengan benar. Dari gerakan kepalanya kelihatan sekali kalau dia pasti ingin marah pada orang yang baru saja mengeluarkan suara untuk memanggilnya. Upik memutar haluan setelah dia menemukan keberadaan gue sedang melambaikan tangan dibarengi senyum termanis gue untuk Upik.
“Kamu ngapain di sini?” bisiknya dengan suara tertahan yang membuat gue gemas.
“Mau jemput pacarku. Abisnya nolak mulu kalau ditawarin jemputan.”
“Aku masih ada kelas setengah jam lagi.”
“Yaaah...penonton kecewa!” seru gue. “Padahal udah dandan maksimal ini mau ngajak kamu jalan,” protes gue.
“Apaan, sih, kamu. Salah sendiri juga. Udah tahu jam efektif kerja malah sok-sokan ngajak jalan. Udah sana kamu balik ke kantormu aja.”
“Makan siang bareng aja kalau gitu.”
“Aku selesai kelas jam dua, Danial. Kamu bisa nahan lapar selama itu?”
Bahu gue merosot mendengar penjelasan dari Upik. “Ya udah. Aku balik ke kantor sekarang. Tapi sebagai gantinya aku jemput kamu pulang ngajar,” ucap gue pura-pura serius.
“Siapp! Ya udah aku masuk ruanganku dulu.”
Gue menahan lengan Upik. “Buru-buru amat? Kan, masih setengah jam lagi ngajarnya?” protes gue.
“Mau nyiapin materi dulu. Hari ini ada kuis."
Gue menunjuk pipi gue sendiri menggoda Upik. Kode gue minta cium. Sesuai dugaan gue, perempuan itu mengancam akan melempar laptopnya ke muka gue. Namun bukannya marah gue malah tertawa penuh kemenangan karena berhasil menebak jalan pikiran Upik.
“Nggak usah ganjen. Ini tempat umum!”
“Berarti kalau di tempat private boleh ganjen, dong?”
Upik tertawa kemudian benar-benar berlalu dari hadapan gue. Dia selalu seperti itu, menjaga image-nya sebagai dosen yang tegas, berwibawa dan pendiriannya tidak mudah digoyah di depan para mahasiswanya. Nggak tahu aja kalau kadang dosen kesayangan mereka itu juga manusia biasa yang terkadang bertingkah konyol dan menggemaskan.
“Aku pulang, ya, sayang! I love you,” ujar gue dengan suara sengaja agak gue kencengin. Namun setelah melihat dia melotot ke arah gue, detik itu juga gue segera kabur dari tempat ini.
Gue melangkah santai kembali ke tempat mobil gue diparkir. Saat membuka pintu mobil gue melihat Haikal sedang berjalan bersama beberapa mahasiswa yang mengikutinya dari belakang. Sudah cukup lama gue nggak pernah ketemu Haikal lagi semenjak dia memutuskan keluar dari rumah gue. Gue sudah mencoba menahan dia supaya tetap tinggal, bukan sebagai bentuk basa basi semata, tapi gue tulus pengin dia tetap tinggal. Sebenarnya gue pengin menghampiri Haikal, tapi telepon dari asisten gue membatalkan niat menghampiri Haikal.
“Ya, Ham? Ada apa?” gue menjawab panggilan telepon dari asisten pribadi gue yang bernama Ilham setelah masuk ke mobil.
“Anak desain mau presentasi, Bos,” ujar Ilham, menyampaikan tujuannya menghubungi gue.
“Oke, paling lama lima belas menit lagi gue nyampek.”
Gue segera menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas menuju kantor gue. Kantor yang belum lama ini gue dirikan. Gue memang sedang melakukan pembuktian diri ke bokap gue. Gue ingin menunjukkan kalau gue mampu survive di tengah hiruk pikuk dunia perbisnisan tanpa mendompleng nama besar bokap gue. Ya, meski nggak dapat gue pungkiri kalau duit bokap gue dipertaruhkan dalam perusahaan rintisan yang belum setahun ini gue dirikan. Sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang teknologi pengembangan game bernama The Danial’s. The Danial’s sendiri tercipta karena kecintaan gue pada hampir semua genre game yang pernah tercipta di dunia ini. Gue pengin suatu saat punya game yang dikeluarkan menggunakan merek gue pribadi dan dimainkan oleh seluruh lapisan masyarakat di muka bumi ini. Mimpi gue memang terlalu tinggi. Mau gimana lagi, bokap gue selalu mengajarkan untuk punya prinsip selama mimpi itu masuk akal untuk diraih, maka gapailah mimpi itu meski harus membuatmu menembus kaki langit. Intinya seperti itu.
Beruntung Surabaya sedang bersahabat menjelang siang seperti ini karena gue bisa datang tepat waktu di tengah kebingungan keluar dari jalan alternatif yang tadi diberikan oleh Upik untuk menghindari macet di jalan yang akan gue lewati. Begitu sampai lobi gue mempercepat langkah masuk ke ruang pertemuan yang terletak di lantai dua. Gue mengambil satu unit ruko di sebuah kompleks pertokoan yang secara peta lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus tempat Upik mengajar. Namun karena di Surabaya kebanyakan jalannya menggunakan sistem satu jalur, jadi gue terpaksa berputar kalau mau kembali ke kantor. Dan itu cukup menyita waktu sebenarnya.
“Hari ini siapa yang presentasi?” tanya gue saat menerima materi presentasi dari Ilham.
“Gideon, Bos,” jawab Ilham bertepatan dengan gue mendorong pintu ruang pertemuan. Di dalamnya sudah berkumpul karyawan dari tim Gideon yang akan melakukan presentasi hari ini.
Lima menit kemudian gue larut dalam presentasi yang disajikan oleh Gideon dan timnya. Mata gue dimanjakan oleh berbagai desain gambar dengan warna-warna unik dan colorful. Gue beruntung dipertemukan dengan anak-anak muda berbakat dan jenius seperti Gideon dan timnya. Mereka semua yang membantu gue mewujudkan mimpi gue.
***
"Aku ada rencana ke Jakarta minggu depan. Kamu ikut ya. Sekalian mau kenalin kamu ke keluargaku," ujar gue setelah Upik masuk mobil dan gue mulai melajukan mobil meninggalkan pelataran parkir kampus.
"Aku nggak bisa ambil cuti. Bulan depan aja gimana? Aku ada seminar dosen di Jakarta. Sekalian aja nanti mampir ke rumah orang tuamu," jawab Upik.
"Bulan depan masih lama. Sekarang aja baru awal bulan," keluh gue.
"Aku mau nyiapin ujian tengah semester."
Gue mendengkus pelan. "Dari semester yang lalu juga alasan kamu gitu tiap kali aku ajak ketemu sama keluargaku."
Selanjutnya Upik jadi pendiam sepanjang sisa perjalanan kami. Gue sendiri juga lebih memilih fokus pada jalanan di depan gue sebagai upaya gue mengendalikan diri supaya tidak terus mendesak Upik. Ini sudah ketiga kalinya obrolan kami soal kelanjutan hubungan ini ke tingkat pertemuan keluarga menemui titik buntu. Awalnya mengobrol santai dan sisanya berakhir dengan kondisi yang sama seperti sekarang ini. Salah satu dari kami tidak ada yang berniat untuk menghentikan aksi saling diam sampai mobil gue berhenti di depan pagar kosan Upik.
"Aku langsung pulang ya," ujar gue setelah mengantar Upik sampai ke depan pintu kamar kosnya.
"Oke. Makasih ya sudah diantar," jawabnya, tanpa bertanya tumben gue nggak mampir seperti biasanya.
~~~
^vee^