Kemarahan Yang Meledak

1304 Kata
"Cheese stiknya, udah jadi? Udah bisa dimakan?" Renisha mengerjabkan mata, beberapa kali, seolah tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia dengar. Aksa, memang segila itu ya dengan cheese stik? Bukannya kemarin dia bilang bahwa orang yang menyukai cheese stik itu adalah Chika dan Naren? Tapi kenapa, perilaku Aksa mengatakan hal sebaliknya? Bisa-bisanya, Aksa melupakan kejadian semalam hanya karena cheese stik. "Eng... adonannya udah selesai dicetak, tinggal digoreng aja," balas Renisha akhirnya. Ia kemudian ingat jika masih punya lebihan cheese stik untuk pesanan kemarin. "Ah, iya. Aku masih punya setoples. Pak Aksa mau kuambilin sambil sekalian nunggu cheese stiknya mateng?" Aksa mengangguk singkat, kemudian berjalan menuju meja makan yang berada paling sudut. Ia duduk di sana dan menghadap Renisha, selayaknya anak kecil yang menunggu ibunya memasak untuk makan malam. Renisha, tidak salah kan? Bahwa Aksa tidak keberatan berada dalam satu ruangan yang sama dengannya dalam jangka waktu lama? Sebenarnya apa yang sedang merasuki Aksa? Renisha menyembunyikan senyumnya dan mengambil toples cheese stik di dalam lemari penyimpanan, kemudian menaruhnya di depan Aksa. "Pak Aksa mau minum apa? Teh atau kopi?" "Teh panas saja," balas Aksa datar. Ini, bukan mimpi, kan? Bahwa hubungan mereka sedikit mengalami... kemajuan? Atau ini hanya halusinasi Renisha saja? Padahal, semalaman Renisha tidak bisa tidur memikirkan bahwa Aksa sangat membencinya. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Renisha geleng-geleng kepala, memasukkan minyak ke dalam wajan besar dan menghidupkan kompor. Sambil menunggu minyaknya panas, ia membuatkan teh untuk Aksa. Suara gigi-gigi Aksa yang sedang mengunyah cheese stik langsung mendominasi ruangan. Astaga, Aksa itu... Renisha benar-benar tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya sekarang. Selesai dengan tehnya, Renisha menghampiri Aksa. "Silahkan diminum, Pak Aksa." "Hmm," gumam Aksa sebagai balasan. Cowok itu sibuk mengunyah sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Renisha kembali untuk menggoreng adonan yang sudah dicetak dan dipotong-potong. Biasanya, jika sedang membuat cheese stik dengan skala besar, Renisha akan menyerahkan pembuatan pada karyawannya dan mereka akan menggunakan dapur bagian belakang yang mempunyai perlatan untuk skala besar. Dapur ini hanya dikhususkan untuk Renisha bereksperimen dengan masakannya. "Pak Aksa sudah makan malam?" tanya Renisha, menoleh untuk memandang Aksa. "Mau aku buatin sesuatu?" Aksa menggeleng. "Nggak perlu." "Tapi ini gorengnya lama, loh. Bisa sampai dua jam," kata Renisha. "Kalau Pak Aksa nggak mau, yasudah. Aku mau buat sendiri. Lapar soalnya." Renisha sudah biasa multitasking seperti ini. Selagi menunggu untuk membalik gorengan, ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sup ayam. Kebetulan tadi Bu Retno ke pasar dan membawakan Renisha sesuatu untuk dimasak, karena Renisha cerita kalau dia tidak pulang ke rumah malam ini. Aroma sedap kaldu ayam yang berpadu dengan rempah-rempah langsung memenuhi ruangan, campur aduk dengan aroma keju gurih yang sedang digoreng. Renisha mematikan kompor berisi sup ayam dan mengambil mangkok. Ia berencana untuk membuat Aksa tergoda dengan masakannya. Siapa yang tahu, kalau dari perut bisa naik ke hati? Renisha mengecilkan api kompornya dan duduk di depan Aksa untuk makan. "Mas Aksa beneran nggak mau?" tanya Renisha, bersiap untuk menyendok supnya. "Padahal enak banget loh, soalnya aku yang masak." Renisha terkekeh kecil. "Saya nggak lapar," balas Aksa datar. Hanya saja, perut dan bibir Aksa tidak singkron. Renisha bisa mendengar suara perut Aksa yang protes karena kelaparan. Wajah Aksa tampak memerah hingga ke telinganya, terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Sambil menahan tawa, Renisha kembali dan mengambilkan sup untuk Aksa. Dasar Aksa, gengsinya saja sebesar langit. Aksa hanya diam saat Renisha menaruh semangkuk sup ayam ke depannya. Tatapannya meragu antara ikut makan atau mempertahankan gengsi. Pada akhirnya, Aksa kalah dan mulai menyendok supnya hati-hati. Dari aroma dan penampilan, sup buatan Renisha tidak pernah mengecewakan. *** Aksa tidak memuji atau mengatakan bahwa masakan Renisha tidak enak, tetapi ia menghabiskan miliknya hingga tandas, membuat senyum Renisha merekah lebar. Hari ini, meski pendiam, Aksa bersikap lebih jinak dari sebelum-sebelumnya. Semoga saja, hubungan ini bisa terus berjalan ke arah yang lebih baik. "Pak Aksa nggak pengin muji masakanku?" tanya Renisha, nadanya terdengar menggoda. "Kata ibuku, aku paling jago kalau masak sesuatu yang berbau sup dan makanan berkuah. Kapan-kapan Pak Aksa kumasakin lagi kalau mau." "Nggak perlu," balas Aksa datar. "Saya nggak berencana lagi buat datang ke sini." Bibir Renisha mengkerut kesal mendengar jawaban Aksa. Memangnya apa susahnya sih bilang enak? Pakai mengancam enggak mau ke sini, lagi. Dasar, kekanakan. "Ucapan Pak Aksa bikin aku sakit hati, loh," kata Renisha, sambil mengambil mangkuk milik Aksa yang sudah kosong. "Padahal niatku kan, baik. Bukannya mau apa-apa." Aksa menatap Renisha datar. "Maaf." Astaga... Renisha ingin mengetuk kepala Aksa saking gemasnya. Bisa-bisanya cowok itu meminta maaf dengan nada sedatar triplek. Meski begitu, Renisha tetap menghargai niat baik cowok itu. Setidaknya, ia tidak mencoba untuk memprovokasi Renisha lagi dengan kata-kata jahatnya. Setelah membersihkan mangkuk dan mengangkat cheese stiknya dari penggorengan, Renisha membawa contoh cheese stiknya yang sudah matang dan masih hangat ke depan Aksa. Tak perlu waktu lama untuk Aksa mencoba cheese stiknya yang masih sangat renyah dan hangat. Apalagi, tadi sempat Renisha beri ekstra keju agar semakin terasa gurih. "Tadi siang aku ke tempat Maharani," Renisha memulai percakapan saat Aksa mengunyah cheese stiknya dalam diam. "Dan dia nitip sesuatu sama aku buat dikasih ke Pak Aksa. Tapi bendanya ada di tasku. Bentar, aku ambilin." Renisha berdiri, tetapi kemudian perkataan Aksa selanjutnya membuat gerakannya terhenti. "Buat kamu saja cincinnya," kata Aksa datar. Ekspresinya juga tidak menunjukkan kemarahan maupun rasa sakit hati. Bagaimana bisa, Aksa menebak seakurat itu? "Maharani, saya udah liat dia sama cowok lain. Dari awal, dia emang udah enggak berniat serius sama saya. Jadi ya, sudah. Biarkan dia sama pilihannya sendiri." "Nggak bisa," balas Renisha, tajam, sambil menatap Aksa tepat di mata. "Kalau Pak Aksa ngasih cincinnya ke aku, berati kita tunangan." Renisha menaruh kedua tangannya di atas meja, menunduk untuk mengintimidasi Aksa. "Pak Aksa mau, tunangan sama saya?" Aksa langsung tersedak dan terbaru-batuk. Wajah dan matanya seketika memerah. Cepat, Renisha menuangkan air putih dan memberikannya pada Aksa. Setelah batuknya mereda, Aksa memandang Renisha dengan tatapan kesal. "Kamu... sudah keterlaluan. Kamu pikir--" "Keterlaluan dari mananya?" Renisha memotong cepat. "Pak Aksa yang keterlaluan sama saya! Bapak pikir saya tong sampah? Yang bisa buat nampung sampah sembarangan?" Renisha bergegas mengambil tasnya di atas konter dan menaruh cincin berlian itu ke depan Aksa. "Itu, cincinnya saya balikin." Enak saja. Buat apa Renisha menyimpan benda yang sejatinya bukan miliknya? Renisha memang tidak pernah mendapat cincin, tetapi tidak begini juga caranya. Aksa, hanya melukai hati Renisha dengan melakukan itu semua. Aksa terdiam sambil menatap cincin di atas meja. Ia menghela napas, kemudian mengambil benda bulat itu dan menyimpannya di dalam saku kemeja. "Kalau begitu, saya pulang dulu." Aksa berdiri dan memakai jasnya dengan tenang. "Besok, suruh karyawan kamu buat antar cheese stiknya ke kantor saya." Aksa berjalan melewati Renisha, tetapi kemudian langkahnya terhenti sejenak. "Satu lagi. Jangan pernah nguntit saya kayak yang biasa kamu lakuin pas kita masih SD. Saya yang sekarang, bukan lagi pecundang seperti dulu. Kalau bukan karena cheese stik sialan itu, saya juga nggak sudi ada di sini. Dari dulu sampai sekarang, kamu... tetap seorang pengganggu di mata saya." Bagaimana mungkin, Aksa bersikap sekejam itu padanya? Seolah-olah, Renisha hanya monster jahat yang pekerjaannya hanya mengganggu hidup Aksa? Hati Renisha seperti teriris ribuan jarum, nyeri dan terasa sesak sekaligus. Jadi, bagi Aksa, sejak dulu sampai sekarang, Renisha memang tidak ada artinya, ya? Jadi untuk apa Renisha capek-capek bersikap baik pada Aksa? Berharap bahwa setidaknya, meski tidak menyukai Renisha, Aksa akan bersikap baik padanya? "Aksara!" Renisha berujar lantang, membuat langkah Aksa seketika berhenti, tetapi tidak sama sekali menoleh. "Kenapa kamu bersikap kejam banget sama aku? Dari dulu sampai sekarang, aku nggak pernah tahu alasan kamu sebenarnya itu apa! Berhenti kabur dan beri aku jawaban sekarang! Jangan plin-plan dan ambigu! Aku bukan cenayang yang bisa nebak jalan pikiran kamu." Napas Renisha terengah-engah karena amarah. "Kamu pikir, enggak capek, berusaha melakukan sesuatu tapi nggak pernah dihargai?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN