Jangan Kabur Lagi, Oke?

1434 Kata
Hari ini Minggu, tetapi Renisha tidak berani berangkat kuliah dan menampakkan diri di depan Aksa. Renisha merasa bersalah karena sudah merusak hubungan Aksa dengan kekasihnya. Ia juga menyesali tindakannya semalam. Kenapa, dia harus berbuat t***l dengan melimpahkan tanggung jawabnya pada Aksa? Renisha... benar-benar malu untuk bertemu dengan Aksa. Cowok itu sudah membantunya, tetapi, apa balasan Renisha? Malah sengaja mencoreng arang ke mukanya. Renisha mengusap wajahnya sebelum kemudian menepuk kedua pipi untuk menyadarkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Ia akan bicara pada Maharani, menjelaskan semua kesalahpahaman di antara mereka sehingga Aksa bisa segera berbaikan dengan Rani. Setelah itu, Renisha tak lagi merasa bersalah dan berani berhadapan dengan Aksa lagi. Meski itu berarti, Aksa benar-benar akan menikah dengan wanita lain. Astaga Renisha, memangnya kenapa? Aksa toh, tidak akan pernah mungkin mau sama kamu, meski dia putus dengan Maharani sekali pun. Renisha jelas bukan sosok cewek yang memenuhi standar seorang Aksara. Baru saja Renisha hendak memasuki kantor, ponselnya berbunyi. Telpon dari Sashi. Ia mendesah sebelum mengangkat panggilan. Tebakan Renisha, Sashi pasti belum tahu soal kejadian semalam. "Halo?" sapa Renisha. "Semalam gimana? Lo berhasil kan? Soalnya gue liat mukanya Mas Aksa kayak tertekan gitu pas pulang semalam," Sashi berujar antusias. Renisha duduk di kursinya dan menyandarkan punggung. "Ya, ada kesalahpahaman mengerikan semalam. Sesuatu di luar rencana yang bikin aku pengin menghilang aja ditelan bumi." "Hah? Kenapa emangnya? Cerita dong. Aku penasaran sama detailnya. Atau sekarang aku ke tempat kamu aja?" balas Sashi, cepat sekali seperti kereta listrik. "Nggak, jangan, aku lagi sibuk hari ini," balas Renisha. "Pokoknya, salah paham ini mungkin bikin Rani seketika mutusin Aksa." ia memijit ujung hidungnya. "Astaga, aku nggak tau harus ngapain buat benerin semuanya. Nggak ada ide." "Jangan dibenerin," kata Sashi. Nadanya kelewat riang. Dari kejadian ini, memang Sashi yang paling diuntungkan. "Biarin aja kayak gitu. Kan, tujuan awal kita emang mau misahin Rani sama Mas Aksa. Kalau emang bisa terjadi dalam waktu semalam aja, justru bagus dong? Kita nggak perlu berusaha keras. Aku, jadi penasaran semalam ada kejadian apa." Respon Sashi malah membuat Renisha semakin pusing saja. "Aku tutup ya, ada tamu." Lagi-lagi, Renisha tidak menunggu jawaban Sashi dan menutup teleponnya. Renisha tidak bisa hanya berdiam diri setelah membuat kekacauan di hubungan orang lain. Sebab, Renisha sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati oleh orang ketiga. Renisha tentu tak mau mejadi jalang, apalagi di kehidupan percintaan Aksa yang notabennya adalah... teman Renisha. Atau, seseorang yang ia sayangi? Sejak kecil? Renisha mengambil napas dalam. Ia harus menyelesaikannya hari ini juga. Tidak boleh ditunda lagi atau d**a Renisha akan meledak oleh perasaan bersalah. Cepat, Renisha menyambar tasnya, hendak pergi ke butik Rani untuk menjelaskan kesalahpahaman semalam. Mana mungkin, Renisha hanya berdiam diri sementara ia punya kesempatan untuk memperbaiki? *** Renisha tiba di depan butik milik Rani tepat pukul setengah dua belas siang. Ia hendak membuka mobilnya, tetapi kemudian menenemukan Rani baru saja keluar butik bersama sesorang lelaki muda, mungkin seusia Aksa tetapi tidak lebih tinggi dari Aksa. Tangan Rani menggelayut manja di lengan cowok itu, dan mereka saling bertatapan penuh... cinta? Siapa pria itu? Pacar baru Rani? Atau cuma kakaknya? Renisha tidak mau terus berasumsi dan memilih turun untuk bertanya langsung. Ia menghampiri Rani yang agak terkejut saat bertemu pandang dengannya. Renisha tersenyum tipis dan menguatkan diri agar tidak goyah jika mendapat makian. Memangnya wanita mana yang tidak marah saat dibohongi? "Maharani, bisa kita bicara berdua aja? Ada hal penting yang pengin aku omongin sama kamu," ujar Renisha pelan. Cowok di samping Rani menatap Renisha ramah, kemudian menepuk puncak kepala Rani pelan. "Yaudah, kalian bicara dulu, aku tunggu di mobil." Rani mengangguk dan tersenyum lebar. "Oke, aku nggak akan lama kok." Setelah pria itu pergi, Maharani memandang Renisha dengan tatapan dingin. Tangannya bersedekap dengan dagu terangkat menantang. "Mau apa ke sini? Jelasin soal semalam? Nggak perlu lagi." Rani mengibaskan tangan. "Aku, udah milih buat lepasin Aksa. Dia buat kamu saja." "Kemarin malam itu cuma salah paham," kata Renisha cepat. "Rudi itu mantan pacarku. Dan dia salah paham tentang hubunganku sama Aksa dan berakibat kejadian semalam." "Sudahlah," kata Rani santai, cenderung tidak tertarik. "Tanpa kejadian semalam pun, aku emang udah berencana buat lepasin Aksa. Meski Aksa tampan dan kaya, tapi dia terlalu dingin buat dijadikan teman seumur hidup. Bagi Aksa, aku ini seperti properti, sebuah barang yang bisa dipamerin kapan aja kalau butuh." Renisha terdiam, mencerna kalimat demi kalimat yang dilontarkan Rani. Padahal, Renisha sudah mempersiapkan diri untuk ditampar dan dimaki-maki, tetapi jawaban dari Rani justru di luar ekspektasi. Jadi, hubungan keduanya memang tidak ada cinta, ya? Lantas, apakah Aksa memang sejahat itu? Hanya menganggap Rani sebagai... barang? Sebenarnya, hubungan Aksa dan Rani itu seperti apa, sih? Apa benar yang dibilang Sashi, bahwa Maharani hanyalah cewek jahat yang berusaha memanfaatkan Aksa? Dalam kalimat Maharani, tak ada satu indikasi pun bahwa cewek itu sakit hati akibat kejadian semalam. "Lagian, aku udah punya pacar baru, " sambung Rani lagi, entah kenapa nadanya terdengar sombong di telinga Renisha. "Aku hargai niat baik kamu, Renisha. Tapi aku udah enggak butuh Aksa." "Kamu juga berkata kalau seolah-olah, Aksa itu juga cuma barang di matamu," balas Renisha tajam. Ternyata ia salah dalam menilai Rani. "Kamu bahkan cuma perlu waktu satu hari buat dapat pacar baru. Atau jangan-jangan, selama menjalin hubungan sama Aksa, diam-diam kamu jalan sama cowok lain?" "Itu bukan urusan kamu," balas Rani tak kalah tajam. Ia memiringkan kepala dan memandang Renisha dengan sorot menilai, "Kamu... suka sama Mas Aksa kan? Aku ingat kamu pernah ke butikku pas grand opening dan nanyain catering di acaraku." "Ternyata ingatan kamu tajam juga," balas Renisha santai. "Berarti sia-sia saja aku ke sini buat jelasin kesalahpahaman semalam. Nyatanya, Aksa cuma kamu jadikan cadangan aja kan?" Maharani tertawa sinis. "Ya, silahkan saja bilang sama Aksa tentang apa yang aku ucapin hari ini. Lagian, aku juga udah males ngomong sama Aksa," Rani mengambil sesuatu di dalam tasnya dan mengulurkan sebuah cincin bermata berlian yang sangat cantik. "Sekalian, kasih ini ke Mas Aksa. Aku udah enggak butuh lagi." Renisha mengerjab. "Kenapa enggak kamu kasih sendiri ke Aksa?" "Udah kubilang kalau aku malas," jawab Rani, kemudian mengambil tangan Renisha dan menaruh cincin itu di telapaknya. "Tolong bilangin ke Mas Aksa kalau dia adalah lelaki pertama yang melamar aku langsung. Sayangnya, aku nggak bisa nerima dia, karena aku nggak suka tipe laki-laki dingin dan irit bicara." Rani tiba-tiba mengedipkan mata dan tersenyum. "Ya, meskipun Aksa emang punya bibir paling seksi di antara semua cowok yang kukenal. Kamu setuju juga kan?" Memang benar, tetapi, tentu saja Renisha tidak akan secara gamblang menyetujui perkataannya. Maharani tersenyum tipis dan menepuk pundak Renisha sebelum berjalan menjauh, membuat Renisha hanya bisa mengerjab kebingungan. Ia menatap cincin berlian di tangannya, yang tampak semakin berkilau di bawah sinar matahari, terbuat dari emas putih yang begitu manis, cantik, sederhana tetapi juga terlihat anggun. Sayang sekali, belum pernah ada satu cowok pun yang memberikan Renisha cincin, bahkan si b******k Rudi. Renisha menghela napas dan memasukkan cincin itu ke dalam saku celananya. Sekarang, apa yang harus Renisha lakukan? Bagaimana caranya untuk menjalankan pada Aksa tentang apa yang ia dengar barusan? *** Renisha tidak tahu apakah Aksa masih mau mengambil pesanan stiknya besok pagi, tetapi, ia tetap membuatkan untuk Aksa saat para karyawannya sudah pulang. Mungkin jika Aksa tidak datang, ia akan mengantarkan cheese stik ini ke kantor Aksa, mengembalikan cincin dari Maharani sekaligus meminta maaf. Dia... tidak bisa terus-terusan kabur dan bersikap seperti seorang pengecut kan? Setidaknya, rasa bersalah Renisha sudah berkurang karena Maharani sejak awal memang berniat untuk melepaskan Aksa. Renisha menyetel musik kencang-kencang untuk menemaninya menguleni adonan dan mulai mencetaknya di gilingan. Kalau pun Aksa menolak dan mengusirnya, Renisha bisa menaruh cheese stik ini di toples untuk camilan. Sambil menggiling adonan, Renisha menggerakkan badannya mengikuti alunan musik. Sesekali menggumakan lagu yang ia hafal liriknya. Renisha suka musik pop, juga ost drama korea yang ia tonton ketika sedang stres. Mungkin karena terlalu asik dengan dunianya sendiri, Renisha jadi tidak menyadari ada seseorang di belakangnya, sedang bersandar di tembok, bersedekap sambil menatapnya datar. Renisha sedang bergoyang ke belakang ketika matanya bertemu pandang dengan Aksa. Nyaris saja dia terjengkang. Astaga! Sejak kapan Aksa masuk ke dalam tokonya? Kenapa ia tidak dengar? Cepat, Renisha mengelap tangannya yang belepotan tepung dan mematikan musik. Jantungnya tiba-tiba berdebar keras sekali, seakan mau keluar dari rongganya. Aksa, ke sini mau memarahi Renisha, ya? "Ak... aku lagi buat cheese stik pesanan Pak Aksa," kata Renisha, nadanya pelan sekali seperti tikus terjepit. Kedua jemarinya meremas-remas celemek tanpa berani menatap Aksa. "Pak Aksa, ada perlu apa ke sini?" Di luar dugaan, bukannya marah-marah dan mulai membentaknya, Aksa justru berujar, "Cheese stiknya, udah jadi? Udah bisa dimakan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN