Mata wanita itu mengerjap beberapa kali dan kaget setengah mati saat menyadari bahwa ada wajah yang begitu dekat dengannya.
Ada mata coklat terang yang tengah menatapnya.
Ternyata itu bukan mimpi!
Bukan sama sekali!
Si mata coklat sedang menatapnya. Benar-benar menatapnya dengan intens!
“D… D.. Mas Dhika?” Suaranya tercekat, terdengar persis seperti decitan lemari yang menggesek lantai.
Sepanjang matanya terbuka Nas tidak berani bernafas sama sekali. Wajahnya berada terlalu dekat dengan wajah pria ini. Bagaimana mungkin!?
Di tengah rasa bingung yang melandanya, Nas mendapati kedua sudut bibir pria itu tertarik lebar di kiri dan kanan.
What a smile!
Tidak! Tidak! Bukan saatnya untuk terpesona dengan senyum yang menampilkan gigi putih dan rapinya itu.
Dhika memundurkan wajah dan mulai berdiri tegak. Pria itu menjulang tinggi di depan Nas. Sangat-sangat tinggi!
Sementara Nas bergerak sangat gesit dan cepat, kondisi yang tidak diduga-duga berhasil membuatnya panik bukan main. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, sementara kedua tangannya mulai terkepal erat. Segera saja Nas mengerahkan seluruh syarafnya untuk bangkit dan menjauhi lelaki berbahaya itu.
Matanya menangkap pergerakan tubuh Dhika yang perlahan mundur, memberi jarak di antara mereka. Pergerakan itu pun berhasil membuat Nas merasa lega, Nafasnya yang sejak tadi tertahan, mulai berhamburan keluar dan melegakan dirinya.
Wanita itu terus mengelus daadanya, ia merasa sedikit aman sekarang. Ya, walau harus kehilangan kesempatan untuk memandang mata sebening madu dan senyum lebar yang mencapai mata itu lebih lama, tetapi kondisi ini jauh lebih baik untuk kesehatan hatinya.
“WVD#* O@ YhQG O*QD.”
Nas tidak benar-benar mendengarkan apa yang Dhika katakan, otaknya hanya mampu menerima informasi secara sepotong-sepotong. Senyum dan kehadiran mendadak pria itu benar-benar seperti racun yang menghentikan kerja otaknya. Terlalu berbahaya!
Apa katanya tadi?
Bu Santi?
Iya… Bu Santi, apa?
Apa? Mencarinya?
OH NO! SURVEY!
JAM BERAPA SEKARANG!
Oksigen yang dihirup Nas berhasil mengembalikan kerja otaknya yang buntu. Bahkan batinnya mulai mampu berteriak kencang, “Ini adalah waktu yang tepat untuk menyelamatkan diri, Nas!”
“Ma…Ma... Makasih sudah memberitahu saya. Saya permisi dulu, Mas.” walau tergagap, Nas berhasil menyelesaikan kalimatnya dan berlalu tanpa menunggu jawaban Dhika.
Ia sadar bahwa setiap tindak tanduknya sedang diperhatikan, tetapi biarlah, dia tidak punya waktu dan nyali untuk memperpanjang situasi canggung, kikuk dan memalukan seperti ini.
Sekuat tenaga Nas membuat langkahnya terlihat wajar, tapi dorongan untuk melarikan diri terasa begitu kuat, hingga dalam sedetik saja, langkah ringannya berubah menjadi terburu-buru, dan langkah terburu-burunya berubah menjadi berlari-lari.
“Ya Tuhan, yang tadi itu apa?!”
Flashback off.
***
Kembali ke kubikel di siang hari.
“Gak makan siang, Nas?” Maria, dari departemen quality control menyadarkan Nas dari lamunan.
Nas mengecek jam di dinding, 12.20.
“Enggak ah, malas.”
Maria mengangguk sambil mengingat-ingat, “Sudah salat?”
Mata Nas membulat, “Astagfirullah! Belum!” wanita itu segera berdiri dan terburu-buru merapihkan meja kerja.
“Nas ini, kebanyakan melamun makanya sampai lupa salat.”
“Iya, Mar. Semalam gak bisa tidur, jadi kacau banget hari ini.”
“Ya sudah, sana salat dulu, baru makan siang.”
“Iya. Makasih ya, sudah mengingatkan.”
Wanita itu menenteng tas mukena hingga buku-buku jarinya memutih akibat mengepal terlalu keras pada tali tas tersebut.
Ia tidak habis fikir, bagaimana mungkin dirinya melupakan kewajiban hanya karena lamunan tentang hujan, malam, dan kejadian memalukan pagi tadi.
Tertidur di ruang loker, terpergok Dhika, ditatap Dhika dan senyuman Dhika. Semua itu berputar-putar dalam otaknya selama lebih dari satu jam. Melalaikannya dari hal-hal yang seharusnya ia kerjakan.
“Kamu kenapa sih, Nas!” Bisik Nas kesal, ia memijat keningnya yang berdenyut semakin parah.
Harinya kacau sekali, berawal dari begadang dan gelisah, berakhir dengan kelalaian-kelalaian yang semakin siang semakin parah. Ia lalai hingga tertidur pada jam kerja. Ia lalai terhadap tugasnya untuk survey. Ia lalai terhadap salat wajib tepat waktu. Dan kemungkinan besar, ia akan lalai pada tubuhnya yang kelaparan. Semoga setelah salat napsu makannya akan kembali.
Ditempat salat, Nas bertemu dengan Renita dan Bu Santi. Ternyata mereka telah kembali dari survey dan sekali lagi, Nas meminta maaf pada mereka yang dijawab santai oleh Bu Santi.
Bu Santi yang santai adalah pertanda bahwa survey berjalan lancar.
Pagi tadi pimpinannya itu terlanjur kesal dan meninggalkan Nas karena Renita tak kunjung menemukannya. Nas kesal pada dirinya sendiri karena telah melewatkan tugas survey itu, andai dia terbangun lebih cepat, mungkin ia masih sempat ikut survey.
Penyesalan benar-benar hanya datang belakangan.
***
Berkat ajakan Bu Santi, Nas berhasil mencegah kelalaian lainnya, kini dirinya bersama Bu Santi dan Renita sudah berada di antrian kantin untuk mengambil jatah makan siang.
Hari ini banyak vendor-vendor yang sedang berwara-wiri di perusahaan, beberapa diantaranya untuk mengurusi perbaikan gedung, maintenance mesin dan lain sebagainya. Itulah mengapa antrian kantin masih terus berdatangan walau jam istirahat sudah hampir selesai dan meja-meja mulai terlihat sepi.
“Maaf…” kata itu terdengar dari belakang kepala Nas. Membuat wanita itu terkejut dan menoleh cepat kepada asal suara.
Seorang pria yang paling Nas hindari sedang berdiri tepat di belakang antrianya, berdiri menjulang hingga Nas harus mengangkat kepalanya untuk memastikan siapa gerangan yang tiba-tiba meminta maaf.
“Mas Dhika?” Gumam Nas.
Jarak mereka yang super dekat membuat Dhika menundukkan kepala sepenuhnya, perbedaan tinggi tubuh mereka kini terasa begitu nyata.
Melihat Dhika dari bawah, berhadap-hadapan dan sedekat ini, membuat Nas menyadari jika pria itu menampilkan kesan yang berbeda, entah ini perasaan Nas yang berlebihan atau memang benar adanya. Tatapan Dhika yang biasanya terlihat hangat kini terasa sangat tajam dan menusuk, ada sesuatu yang mengganggu atau membuat pria itu kesal. Entah apa yang mengganggunya, tapi anehnya Nas bisa mengetahui emosi itu tanpa perlu bertanya.
Nas juga menangkap kesan santai yang kelewatan dari bahasa tubuh pria yang setiap hari menjadi bulan-bulanan perundungan itu, kedua pergelangan tangannya dimasukan kedalam saku celana, daadanya yang tegak dan lebar terlihat dari balik kemeja putih yang ia kenakan. Nas baru menyadarinya sekarang karena Dhika sedang tidak menggunakan kardigan rajut berukuran besar yang biasa dia gunakan.
Pria sebugar ini, kenapa membiarkan dirinya menjadi korban bully?
“Mbak Nas, saya minta maaf karena sudah mengagetkan Mbak tadi pagi.”
Wanita itu agak enggan membahas kejadian tadi pagi, tapi jika dibiarkan berlarut-larut, pasti akan semakin membuatnya kacau. Lebih baik Nas berdamai dengan apa yang sudah terjadi.
Nas berdeham kecil, lalu menjawab, “Saya ini anaknya… hmn.. gak bisa dikagetin begitu, Mas. Jadi tolong jangan diulang, ya?”
“Semudah itu?” heran Dhika.
Dhika mengangguk, menerima teguran halusnya.
Semudah itu masalah ini selesai dan semudah itu pula Nas menyadari jika rasa kesal dan terganggu yang terpancar telah menghilang dalam sekejap dari mata Dhika yang sebenarnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya sebuah pengertian kecil yang hatinya rasakan saat kedua mata Dhika mengerjap dan tampak seolah sedang tersenyum.
Apa pria itu juga merasa bersalah dan terganggu karena kejadian tadi pagi?
Ada sebersit rasa senang yang muncul didalam dirinya, ternyata ia tidak sendirian, ternyata pria itu juga merasa terganggu.
“Saya…” Dhika terdiam.
“Mas?”
“Saya tidak bisa berjanji, tapi saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya.”
***