Nyaring suara ketikan di atas keyboard terdengar dari setiap sudut ruangan, tidak ada yang beranjak dari meja kerja, kecuali untuk Shalat dan makan siang. Semua orang begitu sibuk dengan tugas masing-masing hingga lupa untuk saling bertegur sapa dan sekedar basa-basi. Hal ini terjadi sepanjang minggu yang hening dan mematikan ini.
Sejak Audit eksternal mulai dilakukan bersama Badan Pengawas Keuangan dan Kantor Akuntan Publik, kantor berubah menjadi perpustakaan, jika ada yang bersuara nyaring, maka akan langsung mendapat sorotan tajam dan menusuk. Berbeda dengan audit internal yang dilakukan sebelumnya, kini audit eksternal dilakukan dengan pihak ketiga yang melakukan pekerjaan dengan sangat detail dan menyeluruh. Yah, Mengingat perusahaan yang sedang memiliki masalah serius dan terancam bangkrut, mereka tidak main-main dalam melakukan pekerjaannya.
Divisi CSR cukup kena getahnya, ternyata Audit checklist mereka mendadak bertambah, laporan anggaran dan kegiatan lima tahun ke belakang mesti diserahkan, sementara mereka hanya menyiapkan laporan selama dua tahun saja. Komunikasi yang tidak lancar akibat kehebohan audit internal bersama nama-nama masyhur Atmajaya group sebelumnya membuat audit eksternal semua divisi menjadi keteteran.
Nas baru saja keluar dari ruang auditor untuk menyerahkan dokumen yang kurang dan wawancara dengan mereka. Ia terlihat lemas dan pucat akibat melewatkan sarapan, makan siang dan lebih parah lagi, kini mungkin ia telah kehilangan banyak darah akibat tamu bulanan yang datang. Perut Nas melilit dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia bersumpah akan makan dan istirahat dengan layak setelah ini.
“Nas!” Bu Santi memanggil dari depan ruangannya.
Melihat raut wajah Bu Santi yang panik, Nas segera berlari menuju tempat pimpinannya berada. “Ya, Bu?”
“Sekarang tanggal berapa!”
“Sembilan belas Desember, Bu.”
Bu Santi melotot, kedua alisnya naik. Ia terlihat lelah tapi tidak mengurangi aura tegas dan disiplinnya.
Nas mencoba mengingat-ingat, apa gerangan yang membuat pimpinannya harus melotot dengan kedua alis yang terangkat seperti itu. “Etalase!!” seru Nas ketika ingatan itu berhasil dikembalikan, setelah entah disembunyikan di mana oleh otaknya.
“Iya, etalase!” Bu Santi menepuk kening tak habis pikir, bagaimana bisa dia lupa akan hal ini. “Kamu sudah selesai berurusan dengan auditor, kan? Renata, Yoga dan lainnya masih belum selesai…”
“Saya yang akan mengurusnya, bu. Lagi pula ini tugas saya dan hanya saya yang tahu tempatnya.” potong Nas. Ia merasa tidak enak karena telah melupakan tugas ini.
Bu Santi mengangguk menyetujui, “Tapi kamu tidak usah khawatir, saya sudah minta tolong Dhika untuk menemanimu ke sana…”
Rasanya seperti mendengar petir di siang bolong yang cerah ceria. “Tapi bu…” Nas hendak memprotes. Ia tidak ingin pergi berdua saja dengan pria penuh pesona itu.
“Tidak usah merasa tidak enak. Saat makan siang tadi, Dhika sendiri yang menawarkan karena semua pekerjaannya sudah selesai. Jadi, ayo cepat siap-siap. Dhika menunggumu di parkiran…” Bu Santi berkata dengan sangat cepat, tidak memberikan Nas kesempatan untuk membalas. “Jangan lupa dokumentasinya, ya!” kemudian berbalik kembali menuju ruangannya.
***
Mobil Bu Santi yang dikendarai oleh Dhika terasa begitu hening. Hanya basa-basi yang sempat terucap di antara mereka dan sisanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Terutama Nas yang tengah berputar-putar dalam ingatannya saat terakhir kali mengobrol dengan Dhika.
“Saya tidak bisa berjanji, tapi saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya.”
Ujar Dhika kala Nas menegurnya untuk tidak mengagetkannya lagi. Saat itu Nas tidak bisa menjawab apa-apa. Ia hanya terdiam dan berbalik memunggungi Dhika.
“Apa serunya menatap dan mengagetkan orang yang sedang tidur?” Herannya saat itu.
Tak diduga-duga, mobil yang mereka kendarai berhenti di depan sebuah masjid, Nas menoleh menatap Dhika penuh tanya.
“Barangkali Mbak Nas mau mampir untuk salat dulu.” Ujar Dhika.
Sebuah lampu merah menyala begitu terang memberi peringatan. Dunia seolah menutup telinganya, Nas tidak bisa mendengar apa-apa kecuali detak jantung yang berdetak semakin cepat di setiap detiknya. Bulu kuduknya merinding dan nafasnya tercekat disaat yang bersamaan. Nas bingung, apa ia harus ketakutan atau ia harus tersanjung karena pria itu begitu tahu tentang dirinya. Apa Dhika benar-benar memperhatikannya sampai pria ini tahu jika dirinya belum salat?
Nas punya kenangan buruk tentang pria yang dulu pernah memperhatikan atau menguntitnya diam-diam dari jauh, mengingat hal itu membuat merindingnya semakin parah. Nas menggeleng-gelengkan kepala. Mengusir setiap kenangan yang muncul. Memantrai dirinya bahwa ini bukanlah apa-apa, bahwa ini hanyalah reaksi berlebihan yang biasa ia miliki jika ada pria mencurigakan yang mendekati, bahwa ini adalah efek trauma berkepanjangan dan tidak mendapat perawatan dengan baik, Bahwa Dhika hanya peduli dan mereka memang bekerja dan salat di tempat yang sama, jadi pasti Dhika tahu banyak hal tentang kegiatannya.
“Saya tidak melihat Mbak Nas di masjid siang ini, jadi…” jari-jari tangan kanan pria itu menyapu rambutnya ke belakang, lalu mengelus lehernya bolak-balik, sambil berpikir jika hal itu bisa mengurangi rasa malunya karena telah ketahuan memperhatikan seorang wanita dengan begitu intens.
Benar. Nas sering dan bahkan hampir selalu bertemu Dhika di Masjid. Ia bahkan memperhatikan setiap gerak-gerik pria itu setiap kali selesai berwudu. Ia juga ingat betul wajah bersinar Dhika yang baru saja disucikan.
Wait, what? Benar juga, Selama ini aku telah diam-diam memperhatikan Dhika dari jauh? Apa itu berarti aku juga menguntitnya? Oh, No! You’re the worst, NAS!
Dhika semakin salah tingkah saat melihat ekspresi Nas yang tergambar saat ini, kening wanita itu berkerut dan bola matanya bergerak ke sana kemari. Terlihat gelisah dan terganggu oleh apa yang ada di dalam kepalanya.
Sebuah kesimpulan tercipta di dalam benak Dhika, “Oh, maaf… saya tidak peka dengan hal ini, kalau begitu kita lanjutkan perjalanan saja, ya?” Dhika kembali berfokus pada kemudi dan menjalankan mobil untuk menjauhi masjid.
“Ya? Apa? Tidak peka apa?”
Nas bingung dengan perubahan alur pembicaraan yang tiba-tiba. Apalagi melihat tingkah Dhika yang sok sibuk memperhatikan jalanan lengang di depan sana. Telinga dan wajah pria itu memerah.
“Mas?”
Dhika tak jua menjawab. Pria itu malah berdeham beberapa kali untuk melegakan tenggorokan.
“Apa lagi, Mbak. Wanita yang biasanya salat, tiba-tiba tidak melakukannya. Tidak ada alasan lain selain ‘itu’, kan?”
Nas tersedak ludahnya sendiri, pria itu mengambil kesimpulan yang tepat tapi rasanya tetap memalukan walau dirinya tidak perlu menjelaskan lebih jauh tentang kondisi yang ada. Ia membuang muka untuk menyembunyikan malunya dan menutup wajah dengan telapak tangan.
“Duh malu banget!!” Nas membatin.
Mobil kembali berhenti, Nas memperhatikan lingkungan yang ada.
“Dan sekarang kenapa kita berhenti di sini?”
“Makan siang dulu, yuk?”
“Loh, Bu Santi bilang, kalian sudah makan siang bersama tadi?”
“Bu Santi yang makan siang, saya tidak.”
“Kenapa?”
Kedua bahu Dhika terangkat, bibirnya cemberut. “Tidak berselera, mungkin?”
Nas mengecek jam yang terletak di dashboard mobil, makan di restoran bergaya barat ini pasti akan menghabiskan banyak waktu, sementara sekarang sudah hampir lewat pukul dua. Ia berjanji untuk sampai rumah Bu Kusuma pukul tiga. Ia lapar, Dhika juga pasti lapar. Tapi waktu tidak memungkinkan. Bagaimana ia harus menjelaskan ini pada Dhika, ini adalah pekerjaannya tapi Dhika harus terpaksa menunda makan siang karena dirinya.
“Kalau Mbak Nas tidak mau makan di sini, tidak apa-apa. Kita bisa makan di tempat yang Mbak mau, bagaimana?”
***