6. DHIKA! - Kopi dan Kamu

1678 Kata
Bu Santi mendengar penjelasan Renita  tentang menghilangnya Nas, wanita itu sudah tercatat fingerprint dan check clock dalam absen pagi ini, yang artinya ia sudah datang dan tidak terlambat, tapi anehnya Nas  tidak bisa ditemukan di mana-mana. Renita sudah bertanya pada satpam yang menjaga pintu masuk dan mereka berkata bahwa Nas benar-benar sudah datang. “Kemana anak itu? Diculik alien atau gimana?” “Sudah saya cari kemana-mana tapi tidak ketemu, Bu.” “Kamu cari lagi, saya tunggu disini, ada email yang harus saya kirim sebentar.” “Baik, Bu.” Renita segera berlalu meninggalkan Bu Santi, berharap segera menemukan Nas sebelum Bu Santi lebih marah. Sekarang sudah pukul 8.20, tidak banyak waktu yang tersisa. Bu Santi menggeleng pada situasi yang ada dan kembali ke dalam mobilnya. Ia memang tidak bermaksud untuk masuk ke dalam gedung pabrik. Ia hanya berencana untuk absensi kehadiran di depan pintu masuk dan menjemput para anak buahnya untuk survey singkat di luar, lalu kembali ke perusahaan dan bersiap-siap untuk audit nanti siang. Hari yang penuh dengan jadwal dan Nas malah menghilang, yang benar saja! *** Dhika mendengar percakapan Bu Santi dan anak buahnya yang bernama Renita itu. Ia mengernyit heran, kemana perginya Nas, padahal  sekitar pukul tujuh lewat lima belas, ia sempat melihat Nas memasuki gerbang depan perusahaan. Saat itu dirinya sedang berdiri di tepi jendela ruang konferensi yang ada di lantai dua gedung utama perkantoran. Ruang itu sepi –selalu sepi kecuali ada rapat besar yang dilakukan atau ada mahasiswa yang melakukan kunjungan. Biasanya para mahasiswa itu akan diberikan pengarahan di ruangan luas ini. Para karyawan diperbolehkan mengakses ruang konferensi melalui lift atau tangga darurat, sedangkan untuk mahasiswa hanya boleh melalui tangga darurat saja. Hanya satu lantai, jadi tidak masalah untuk energi para mahasiswa dan Dhika yang sering menggunakannya. Rutinitas paginya memang begitu, berdiri dalam diam dan memandang karyawan yang memasuki gerbang utama satu persatu. Ia terbiasa menikmati pemandangan itu sambil menyesap pahitnya kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas di ruang konferensi yang sejuk. Tempat sejuk yang dipenuhi aroma kopi dan sepi pengunjung adalah tempat persembunyian terbaik bagi Dhika. Itulah alasan utama keberadaanya di ruang konferensi. Ia butuh menyendiri dan waktu tenang untuk berfikir. Sejak bekerja di Atmajaya F&B, secangkir kopi hitam panas dan sesosok gadis yang berjalan melewati gerbang selalu mampu membangkitkan semangatnya untuk bekerja. Jiwa rebahan dan malasnya meraung-raung penuh protes saat pertama kali Dhika menginjakkan kaki di kota ini, terik mataharinya sungguh menyilaukan, panasnya sampai berkali-kali membakar kulit Dhika yang sensitif, dan debunya sangat-sangat-sangat luar biasa. Tidak jauh berbeda dengan Jakarta atau kota-kota di Indonesia lainnya. Tapi tetap saja, dia tidak pernah tinggal disini, sangat asing dengan bahasa daerahnya dan tidak ada satu pun keluarganya yang tinggal disini. Singkat kata, ia tidak betah. Tapi harus bertahan. Tapi ternyata kata “tidak betah” itu hanya bertahan selama satu minggu. Sisanya, ia sangat menikmati hari-harinya disini. Karena wanita yang menghilang itu. Karena wanita yang diam-diam selalu memperhatikannya dan diperhatikannya. “Kemana dia?” guman Dhika. Dhika berjalan cepat meninggalkan area belakang parkiran, barusan Ardi dan gerombolannya nongkrong di sana sambil menjadikan Dhika kacung mereka. Gerombolan itu telah berhasil menghancurkan kemesraan Dhika dengan secangkir kopi yang panas di ruang konferensi hanya dengan satu deringan ponsel dipagi yang teramat tenang. Para tukang bully yang tak tahu waktu dan tak tahu adat itu menyuruh Dhika untuk membeli nasi pecel dan bubur ayam yang mangkal di perempatan. Tidak lupa ditemani seplastik gorengan, teh dan juga kopi yang dihidangkan di gelas plastik. Sudah pasti gelas plastik itu telah melepaskan banyak rantai carbon yang kelak akan merusak tubuhh para pem-bully itu. Rasakan! Apalagi mereka semua tak pernah membayar makanannya! Tunggu saja Azab mereka! Dhika berdecak sambil melirik ke belakang dengan tatapan malas. Kemeja putih Dhika yang rapih dan licin, kini tetap licin walau sudah keluar dari celana kainnya yang berwarna hitam. Rambutnya yang terbiasa menutupi kening sudah berterbangan ke belakang berkat ulah angin dan sapuan jari-jemarinya. Mata pria itu menyapu setiap pemandangan yang terlihat. Lobby, ruang tunggu tamu, ruang rapat, ruang laktasi, kantin, masjid, ruang merokok… “Ah masa? Tidak mungkin dia disana.” Dhika lega saat Nas tidak ditemukan di ruang merokok yang diisi bapak-bapak. Ruang itu memiliki dinding yang terbuat dari kaca transparan hingga semua orang bisa melihat siapapun yang merokok disana. Tidak ada karyawan yang diizinkan merokok dimana pun kecuali di ruang merokok yang sudah disiapkan, sehingga tidak satupun dari mereka yang berani bolos kerja untuk merokok, karena pasti langsung ketahuan bahkan jika dilihat dari kejauhan sekalipun. Di ruang yang sempit itu terlihat beberapa karyawan yang baru menyelesaikan shift malam dan jam lembur paginya sedang merokok dan mengobrol. Mereka melihat Dhika hanya dengan ujung mata dan mengabaikannya sama sekali. Pikir mereka, makhluk penuh rumor nepotisme seperti Dhika tak usah diladeni. Dhika berbelok, memasuki area loker dan toilet. Ia menyusuri setiap lorong bolak-balik. Sepi sekali, semua karyawan sudah berada di pos nya masing-masing. Untuk sesaat lelaki itu ragu di depan pintu toilet wanita. Bagaimana jika dia memaksa masuk dan diamuk para wanita yang mungkin ada di dalam sana? Bukan hanya gosip nepotisme yang akan terpampang dijidatnya tetapi juga gosip karyawan m***m penerobos toilet wanita jika dia memaksa masuk ke sana!! “Mengerikan!” Lelaki itu memilih berbalik dan kembali menuju area loker, bersandar di sana untuk beberapa saat hingga sudut matanya menangkap sesuatu di ujung loker yang berseberangan dengannya. Sebuah kain pakaian tersampir di sebuah kursi! Ada tiga buah kursi berderet yang diletakkan di ujung belakang ruang loker, sementara kursi lainnya ada di area depan. Kursi yang diletakan menempel pada bagian belakang loker itu hampir tertutupi sebagian, sehingga jika dilihat dari kejauhan seolah tidak ada siapa-siapa disana. Apalagi jarang ada yang melewati area itu karena ada celah seluas pintu yang akan menghubungkan ruang loker dengan halaman belakang yang luas untuk program penghijauan, sebagian ditanami berbagai tumbuhan, dan sebagian lagi dipenuhi rerumputan yang dipotong pendek-pendek. Dhika yang sebelumnya telah mengabaikan kursi-kursi tersebut, kini mulai melangkah perlahan untuk memastikan siapa pemilik kain pakaian berwarna krem muda yang tersampir. Walau sebenarnya sudah bisa dipastikan siapa pemilik jaket krem itu, tapi Dhika tetap menghampirinya. Dhika masih ingat betul kerudung pink dan jaket krem muda yang dia lihat tadi pagi. Jaket yang sering dipakai Nas. “Benar saja!” Senyum terkembang dibibir Dhika, kepalanya menggeleng kecil. Disini rupanya wanita itu berada! Tubuh kecilnya meringkuk di atas kursi, dengan kepala yang bersandar pada dinding dan kedua tangan yang memeluk kaki hingga terlipat rapat di atas kursi. Dhika berlutut di dekat Nas yang tertidur. “Manis sekali.” otak Dhika mulai bekerja keras menyimpan pemandangan ini di dalam memorinya dan berkali-kali melemparkan pujian di dalam hati. Wajah itu begitu damai dalam tidurnya yang lelap, mata ceria yang biasanya menari-nari nakal  ketika memandang dirinya itu tengah terpejam, memamerkan bulu mata yang panjang dan tebal. Hidung gadis ini mungil, ingin sekali Dhika mencubitnya dengan gemas. Alis Nas alami tanpa dilukis, dibiarkan tumbuh sewajarnya tetapi tetap rapih. Dan bibirnya… “Tidak, jangan kesana…” protes nurani Dhika. “Kenapa?” Otaknya bertanya. Tidak menerima protes itu.   “Saya masih ingin tidur dengan nyenyak malam ini.” Dhika bersusah payah memaksa diri untuk memejamkan mata, menghindarkan mata dari suguhan yang begitu lezat di depannya. Tapi setan telah menang atas tekadnya, hingga kini netra Dhika terbuka jauh lebih cepat daripada usahanya menutup. “Terlambat!”  Otaknya sudah merekam keindahan bibir itu. Tidak, Dhika tidak akan menjelaskan tentangnya. Yang jelas ia akan kesulitan tidur malam nanti dan malam-malam berikutnya. “Celaka!” Ia menggumamkan isi nuraninya. Dhika tersadar, tidak seharusnya ia sedekat ini dengan Nas. Kedekatan yang bisa membuatnya melihat dengan lebih detail dan jelas –amat sangat jelas-, bahkan tanpa kacamata atau lensa kontak sekalipun ia bisa menyaksikan bagaimana indahnya wanita ini! Keindahan dan keteduhan yang telah berkali-kali menghanyutkan kewarasannya… Lelaki itu terpaku dalam hening ketakjuban. Ia terlalu sibuk memperhatikan wajah Nas yang terlelap, hingga tidak menyadari ketika mata gadis itu telah terbuka hingga terlambat baginya untuk menjauhkan diri dari wanita itu.   “D… D.. Mas Dhika?” Nas tergugup. Wanita itu segera menegakkan punggung dan memundurkan tubuh sambil mengepalkan tangan di depan d**a. Nafas Nas menderu, ia seperti baru saja menahan nafas selama beberapa waktu yang lama. Mata Nas lurus menatap Dhika, sikap tubuhnya waspada dan seolah siap mengamuk jika Dhika berani mendekat walau hanya sejengkal saja. Dhika yang menyadari kepanikan di mata dan sikap tubuh Nas mulai memundurkan badannya perlahan-lahan. Pria itu pun memperhatikan dengan lekat bagaimana Nas menghempas nafas lega ketika tercipta jarak di antara mereka. Sikap Nas mencerminkan seolah ada beban berat yang menghinggapi pundaknya dan kini telah terlepas berkat jarak yang ada. Wanita itu bangkit, melangkah menjauhi Dhika dengan cepat dan kini jarak aman terbentang di antara keduanya. Semua itu dilakukan dengan gerakan refleks yang sempurna. Dirinya bahkan tidak sempat merasa pusing saat harus bergerak cepat dengan tiba-tiba!!! Gerakan gesit Nas itu tak terlewatkan sedikit pun dari mata Dhika, jadi sebelum wanita itu sempat menuduhnya macam-macam, Dhika segera memamerkan senyum ramah dan berkata spontan, “Disini kamu rupanya, Bu Santi mencarimu sejak tadi.” Ujar Dhika dengan sikap seolah baru saja menemukan Nas satu detik yang lalu. Nas bergerak kikuk, matanya menunduk. “Ma…Ma.. Makasih sudah memberitahu saya. Saya permisi dulu, Mas.” *** Dhika termenung, memikirkan apa yang baru saja terjadi. Nas terbangun dan mendapatinya memandang  wanita itu begitu dekat dan intens, tidak salah jika Nas terkaget-kaget hingga gagap dalam setiap katanya dan langsung melarikan diri tanpa memberinya kesempatan untuk menyampaikan penjelasan. “Wanita naif tidak boleh didekati dengan cara brutal seperti ini!” Protesnya dalam hati. “You make her run away, boss.” Seorang pria muncul dari halaman belakang dan langkahnya terhenti tepat di samping Dhika. Pria itu mengenakan kaos putih belel yang dipenuhi noda lumpur, celana compang camping, dengan sebagian wajah ditutupi topi petani, dan tangan kanannya menggenggam pisau rumput yang kotor. (Anda membuatnya kabur, bos!) Beberapa orang memanggil pria itu dengan sebutan Pak Lek. Ya, hanya itu karena tidak ada yang tahu siapa pria misterius itu sebenarnya. “Ya, and this is not the first time.” desah Dhika. (Ya, dan ini bukanlah yang pertama kalinya) ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN