14. NAS! - Ketika Ambu Merasa Cocok

1360 Kata
Seorang wanita terlihat membungkuk di halaman rumah sambil menggerakkan tangan ke kiri dan kanan, salah satu tangannya menggenggam gagang sapu lidi yang dia gunakan untuk membersihkan sisa-sisa sampah yang tak sempat dibersihkan semalam. Sampah tisu, plastik dan lainnya bertebaran dimana-mana, membuat paginya yang cerah ceria dipenuhi kesibukan untuk membersihkan semuanya. Dari halaman samping, halaman depan sampai keluar gerbang, semua Nas bersihkan sampai tuntas dan sebentar lagi akan selesai dan halaman rumah kembali bersih seperti semula. Inilah risiko menjadi tuan rumah, sudah repot mengurus semua persiapan sebelum acara, repot pula membersihkan pasca acara. Tapi bagi Abah dan Ambunya, ini adalah sebuah kesenangan. Menurut mereka semakin sering rumah ini dikunjungi tamu, semakin banyak berkah yang diterima keluarganya. Nas sudah terbiasa dengan prinsip orang tuanya itu hingga ia pun berpikiran hal yang sama. Ia tidak memprotes semua kerepotan ini dan malah rajin ikut serta membantu orang tuanya. “Assalamualaikum…” Suara salam terdengar sangat tiba-tiba dari arah belakang hingga berhasil mengaburkan Nas dari lamunan paginya. Nas yang terkaget langsung berbalik dengan sangat waspada. Kedua tangan Nas menggenggam sapu lidi di depan tubuhnya erat-erat, matanya membelalak nyalang dan nafasnya terengah keras. Mata Nas yang nanar berserobok dengan mata Dhika, hingga pada satu detik yang sama, sebuah kelegaan datang dan membanjiri seluruh syaraf tegangnya. Syaraf-syaraf itu mulai melentur saat melihat kehadiran sosok yang dikenal Nas. Nafasnya yang memburu pun mulai mereda dan genggaman erat tangannya pada sapu langsung melemah begitu saja. Ia mengelus dadaa perlahan-lahan sambil berusaha menormalkan keadaan paniknya. Kenapa laki-laki ini hobi sekali mengejutkannya? “W –Wa 'alaikumsalam, Mas Dhika…” Di hari minggu pagi yang tenang ini, apa yang dia lakukan di sini dengan penampilan supernya itu? Wajahnya cerah, poni kembali menutupi keningnya, kacamata yang masih setia bertengger di sana, dan kemeja dengan cardigan kekinian berwarna abu yang terlihat keren di badannya. “Ck! Pesonamu, Mas…” Melihat Dhika yang terlihat sangat wangi, segar dan rapi itu membuat Nas menunduk, memperhatikan penampilannya sendiri. Ia masih mengenakan piama kotak-kotaknya dan kerudung instan apa adanya. Masih kumal, kusam dan ya ampun... semoga dia mencuci wajah dengan benar tadi. “Mas Dhika, ada apa pagi-pagi kemari? Apa semalam ada yang ketinggalan?”  tanya Nas tanpa basa-basi. Semalam Dhika pulang jam Sembilan setelah selesai membantu membereskan tikar dan mengangkut sofa kembali ke dalam rumah. Saat itu Abah bersikeras mengantar Dhika sampai ke tempat tinggalnya, tetapi Dhika menolak dan  berkata bahwa temannya sudah menjemput di depan gerbang. Ternyata Pak Lek lah yang datang menjemput Dhika dengan motornya. Pak Lek menyapa Nas dan mengobrol seolah tak terjadi apa-apa. Nas dan Dhika sudah sepakat untuk tidak membahas hal itu lebih lanjut karena Nas tidak berani ikut campur dalam tugas Dhika untuk menyelidiki urusan keuangan perusahaan. Terlalu bahaya bagi Nas untuk ikut campur dan Dhika tidak menghendaki Nas untuk terlibat dalam hal ini. “Nak Dhika, sudah datang?” Ambu berseru dari dalam, lalu berjalan cepat menuju gerbang. Dhika menyalami Ambu dan menyapa dengan senyum ceria yang membuat Ambu semakin kesengsem bukan main. “Ayo, Nak. Masuk. Tunggu di dalam saja, kami masih siap-siap…” Ambu menggiring Dhika ke dalam, sambil mengomel. “Ambu bilang apa, mandi dulu... sana cepat Adek mandi…” Omel Ambu pada Nas yang cemberut. “Iya, Ambu sebentar lagi selesai kok…” “Ya sudah, cepat...” Dhika dan Ambu menghilang masuk ke dalam ruang tamu, mungkin sekarang Ambu sedang menyuguhi Dhika dengan teh hangat dan kue-kue kering spesial yang hanya disediakan untuk Dhika seorang. Nas mendengus pada bayangan itu. Semua orang di keluarganya memperlakukan Dhika dengan sangat spesial. Semua berlagak akrab dengan pria itu. Sementara Nas berkaca pada dirinya sendiri, Dhika baru dikenalnya satu bulan yang lalu. Pada saat itu Dhika sedang dirundung oleh Ardi dan Gank nya. Tidak banyak informasi mengenai Dhika yang Nas tahu. Walau memiliki kemampuan memikat yang begitu kuat hingga berhasil menarik perhatian Nas dalam waktu yang relatif singkat, tapi Dhika tetaplah pria baru yang belum dikenal baik oleh dirinya. Nas merunduk, melipat plastik sampah berukuran besar dan mengikatnya rapat sehingga tidak ada kesempatan bagi kucing liar untuk mengacak-acak hasil kerja kerasnya. Lalu dia mengangkat plastik itu untuk diletakkan di samping tempat pembuangan sampah terdekat. Setelah selesai, Nas menepuk kedua telapak tangan, menghilangkan debu yang menempel di sana. Lalu masuk kembali ke dalam gerbang dan menutupnya. Nas meletakkan pengki dan sapu lidi di pojok kebun Ambu dan memasuki rumah dari teras samping. Ia langsung menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua tanpa memedulikan apa yang sedang Dhika lakukan di ruang tamu. *** Usai mandi dan berganti pakaian, Nas merapikan penampilannya di depan kaca, sejak tadi pikirannya berputar-putar pada kejadian semalam. Dhika mengatakan sesuatu yang membuatnya terbungkam begitu lama hingga lelaki itu harus mencari topik baru untuk dibicarakan. “Saya tidak perlu bertanya, karena saya berlayar di kapal yang sama dengan mereka.” Kalimat itu terngiang begitu jelas dalam benaknya. Dhika tahu. Ya, Dhika tahu tentang harapan orang tuanya, dan pria itu pun memiliki harapan yang sama dengan mereka. Pria itu dengan gamblang dan terbuka menyatakan tujuannya. Tidak seperti para lelaki sebelumnya yang hanya memberikan alasan berkabut dan tak diucapkan dengan lantang demi memperjelas tujuan kedatangan mereka ke rumah ini. Tapi Dhika begitu berbeda, Pria itu sangat terbuka dengan maksud hatinya.   Kejujuran Dhika membuat Nas bisa bernafas lebih ringan. Membuatnya tidak lagi menerka-nerka dan waspada pada tujuan utamanya. Lelaki dengan tujuan tersembunyi dan tak terbaca adalah sebuah mimpi yang buruk. Sangat buruk! Berkat kejujuran itu, Ada setitik rasa lega yang berhasil menghentikan tanya di dalam benak Nas. Kini Nas bisa mengerti tentang alasan mengapa Dhika begitu bersemangat mengenai undangan Abah. Mengapa lelaki itu bisa mentolerir kehebohan keluarganya, terutama Ambunya. Dan justru sepertinya Dhika cukup senang dengan semua penerimaan itu. Nas meletakkan telapak tangan kanannya di daada, berusaha merabaa hatinya. Apa yang ia rasakan di sana? Tidak ada. Tidak ada yang dia rasakan terkecuali jantung yang berdebar kencang. Tapi Nas tidak tahu, apa penyebab jantungnya berdebar kencang seperti ini, apakah ini rasa senang? Ataukah waspada yang menyaru? Nas benar-benar tidak tahu. Oleh sebab itu, ia hanya bisa terdiam mendengar ucapan Dhika semalam. Kebersamaan mereka dikuasai oleh keheningan yang memekakkan hingga menimbulkan kecanggungan. Tapi beruntung, lelaki itu berhasil membawa percakapan lain dan kembali mencairkan suasana. Jika tidak, mungkin Nas tidak akan bisa bersikap seperti tadi padanya. “Nas, Jangan lama-lama, kita mau berangkat!” Teh Arina mengetuk pintu, lalu terdengar langkah terburu-buru menuruni tangga. Dirinya tidak tahu agenda apalagi yang dimiliki keluarganya hari ini. Seingat Nas, Abah memiliki rencana memancing dengan Pakde Haryanto di kolam pemancingan milik beliau. Tapi, kenapa dirinya dan semua orang di rumah ini harus ikut? Dengan  malas-malasan, Nas menuruni tangga, dan menemukan rumahnya sudah kosong. Semua orang berada di luar gerbang dan bersiap-siap masuk ke dalam mobil kijang tua milik Abah. Nas mendesah pasrah, lalu mengunci pintu depan, dan juga gerbang. Dilihatnya Dhika duduk di samping Abah yang mengemudi, Teh Arina dan kedua putranya duduk di belakang, sedangkan Ambu di tengah sendirian. Nas masuk ke dalam mobil, duduk di samping Ambu dan menutup pintu. Di depan, Abah dan Dhika sedang membahas pengalaman mereka memancing. Begitu serius bagai membahas kasus korupsi para petinggi negeri. Nas mencolek-colek Ambunya agar berhenti menelepon asistennya yang sedang berjaga di toko. Ketika Ambu selesai menelepon Nas langsung berbisik. “Mau ke mana sih, Mbu?” “Mancing di tempat Pakde Har.” Bisik Ambu. “Terus kenapa kita harus ikut, ‘kan biasanya Abah sendirian atau sama A Ehsan?” “Sesekali anak Abah ini keluar, menghirup udara segar dan memandang yang hijau-hijau. Masa, mau di rumah terus, Dek!” Sambung Abah dari kursi depan, rupanya semua orang mendengarkan acara bisik-bisik Nas dengan Ambu. “Iya, Abah…” manut Nas sambil cemberut. Ambu tersenyum hangat saat melihat bibir putrinya mengerucut, lalu merangkul dan mendekap, meletakkan kepala Nas di atas bahu Ambu sambil mengelusnya penuh sayang. “Dasar anak manja. Sudah besar masih gelendotan sama Ambu, malu itu ada Masnya di depan.” Nas mengernyit dan memelototi kakaknya. Kelakuannya itu justru membuat Ambu dan Teh Arina semakin menertawakannya. Melihat tawa Teh Arina yang heboh itu membuat Nas semakin mengkerut dan mempererat pelukannya pada Ambu. Terlalu malas memperpanjang godaan Teh Arina, karena pasti tidak akan ada habisnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN