13. NAS! - Berlayar Di Kapal Yang Sama

2492 Kata
Nas keluar dari kamarnya setelah membersihkan badan dan berganti pakaian. Mereka berdua berhasil sampai di rumah setengah jam yang lalu, saat itu terlihat beberapa orang yang sedang menggelar tikar di teras rumah Nas  yang cukup luas dan kehadiran keduanya langsung disambut oleh Abah yang gembira tak kepalang melihat kehadiran mereka. Abah pun langsung memperkenalkan Dhika pada semua orang yang ada di sana. Semua orang begitu terperangah saat melihat kehadiran pemuda yang datang berdampingan dengan anak bungsu keluarga Susilo. Kehadiran Dhika terasa seperti sesuatu yang langka atau mungkin bisa disamakan dengan penyambutan Kepala Desa. Mungkin jika Nas masih bertahan menyendiri hingga usia 30 tahun lebih, warga rumah ini akan menyambut siapa pun lelaki yang datang dengannya seperti menyambut kehadiran Presiden. Nas menggeleng kecil, Pemikiran itu berhasil membuatnya malu sendiri.   Ia mengedarkan pandangan ke seluruh rumah. Semua persiapan sudah selesai dan tamu-tamu mulai berdatangan. Nas duduk bersimpuh di atas karpet, berdempetan dengan Ambu yang duduk berdampingan dengan Abah. Paklik Nurdin –salah satu jamaah- yang bertugas sebagai MC mulai membuka acara pengajian dan disambung oleh bacaan Ayat suci Al-Qur’an. Nas terdiam dan matanya membulat ketika mendengar nama orang yang disebutkan oleh Pak Lek. Orang itu duduk di sana, di seberang Nas, tepat di samping Paklik yang baru saja duduk setelah melakukan pembukaan. Nas tahu seharusnya ia menundukkan pandangan, tapi matanya seperti terpaku pada sosoknya yang seolah bersinar dalam baju kokoh putih dan kopiah hitam polos yang dikenakannya. Pria itu mengucap salam lalu menunduk pada Kitab yang ada di tangannya, Nas memperhatikan keningnya yang terbuka, menampilkan pemandangan wajah Dhika yang terkesan berbeda. Wajah itu lebih cerah dan terang benderang. Wajah cerah yang sering Nas lihat setiap kali Dhika selesai berwudu, wajah sejuk yang menenangkan saat dilihat mata. Mulut Dhika yang dikelilingi kumis dan jenggot mulai terbuka, mengeluarkan suara bernada rendah yang lembut di dengar telinga. Bacaannya mungkin tak seindah para tahfiz atau ulama, tapi kedisiplinannya dalam setiap kata yang terucap dan juga kesungguhannya dalam membaca, terlihat begitu tulus hingga berhasil membuatnya menyimak begitu  khidmat. Dhika berhasil menutup bagiannya dengan salam, lalu wajahnya terangkat dan matanya langsung menemukan wajah Nas di seberangnya. Wanita itu terdiam memandangnya tanpa berkedip. Kenyataan itu berhasil membuat seluruh leher dan wajahnya merona begitu merah. Ini adalah pertama kalinya bagi Dhika mengambil bagian dalam acara seperti ini, apalagi tugasnya adalah sebagai pembaca kitab suci dalam pembukaan acara, sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Ketika dirinya menelepon Abah tadi pagi, Abah bercerita bahwa beliau kebingungan mencari pemuda yang akan menjadi pembaca kitab suci karena pemuda yang biasanya menjalankan tugas ini tidak bisa hadir sama sekali,  oleh karena itu, Abah menawarkan posisi itu padanya, dan akhirnya –dengan sedikit ragu Dhika pun menerima penawaran Abah tersebut. Sejak pagi Dhika terus mengulang dan melatih bacaannya tersebut agar tidak mempermalukan diri sendiri sekaligus keluarga Abah. Tapi entah bagaimana hasilnya barusan, Dhika tidak tahu standar mana yang akan disukai dan tidak disukai, yang terpenting ia sudah berusaha. Dan ternyata, usahanya membuahkan bonus sebuah tatapan kekaguman dari putri bungsu Abah itu. Tatapan yang membuatnya merasa malu tak tertahankan. Sementara itu, Nas merasakan sebuah cengkeraman keras pada pergelangan tangan ditengah keterpanaannya. Ia menunduk dan menemukan tangan Ambu sedang menggenggamnya di sana, dilihatnya Ambu tengah tersenyum begitu senang dengan kedua mata penuh harapan. Hal itu justru berhasil mengembalikan kesadaran Nas dan membuatnya menundukkan kepala sepanjang acara. Dhika begitu berbahaya. Dengan mudahnya Dhika berhasil membuat Ambu tersenyum penuh harapan seperti itu. “Tapi… Bagaimana jika pada akhirnya, aku tidak bisa memenuhi harapan itu dan hanya akan mengecewakan Ambu untuk ke sekian kalinya?” *** “Dek, Nak Dhika ke mana ya, Ambu belum lihat dia ambil makanan?” tanya Ambu sambil memasuki pintu dapur. Sesudah Bada magrib, sebagian tamu berpamitan setelah salat berjamaah yang dilakukan di masjid yang terletak di dekat rumah, dan sebagian lainnya masih mengobrol di ruang tengah. Sejak ceramah Ustad Abdul yang adalah pembimbing KBIH selesai, Nas tidak lagi mengikuti rangkaian acara dan memilih berkumpul dengan kakak-kakak perempuannya di dapur untuk menghindari pesona Dhika sekaligus memastikan stok makanan masih ada. Ternyata banyak tamu yang belum sempat makan karena antrean yang begitu panjang. Oleh karena itu, Nas hanya berfokus di dapur dan tidak mengetahui keberadaan Dhika sama sekali. Nas menggeleng tidak tahu, “Nas enggak tahu, Mbu.” jawabnya sambil lalu, berpura-pura tidak peduli. “Kalau tidak salah, tadi Ehsan ngajak Dhika keluar, coba kamu susulin, terus ajakin makan. Kasihan pasti sudah lapar.” Ujar Teh Arina, Kakak pertama Nas. “Teteh aja deh, Nas lagi ngurus ini nih…” Nas menunjuk pada kue-kue kering yang sedang dia persiapkan untuk mengisi ulang stok camilan. “Sudah, itu biar teteh kamu mu saja. Lebih baik Nas keluar, ajak Nak Dhika makan.. Ayo!” Ambu menarik bahu Nas, lalu mendorongnya keluar dapur. “Tapi, Mbu…” Nas merengek ogah-ogahan. Bibirnya mengerucut tak suka. “Sudah, Cepat!” Dengan sikap malas-malasan, akhirnya Nas menuruti pinta Ambu. Diintipnya ruang tengah dan tidak menemukan keberadaan Dhika di sana. Lalu ia berbelok, melewati pintu samping agar tidak perlu melewati para tamu untuk mencari Dhika. Ternyata lelaki itu sedang duduk di kursi yang diletakkan di dekat gerbang. A Ehsan dan kawan-kawan sedang asyik mengobrol, sedangkan Dhika seolah mengucilkan diri dari dunia, ia tidak terlibat dalam keseruan obrolan para pemuda yang ada dan malah sibuk menyuapi Rasya di pangkuannya. Dengan telaten, Dhika menyuapkan bubur bayi pada putra A Ehsan yang berumur dua tahun itu. Nas menghela nafas kaget dan lelah disaat bersamaan, bagaimana mungkin semua keluarganya se-jatuh cinta itu pada Dhika? Bahkan Rasya yang masih dua tahun, anak ayah dan bunda yang pasti menangis saat dipangku Ate Nas itu terlihat begitu nyaman dalam pangkuan Dhika! Ada apa dengan seluruh keluarganya!!!! Tidak boleh. Ini tidak boleh dilanjutkan. Nas tidak mau semuanya berharap yang tidak-tidak padanya dan terutama… pada Dhika!!! “Mas Dhika!” seru Nas, tanpa sadar suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan. Dhika menoleh, “Ya?” Pria itu terkejut oleh panggilannya, membuat Nas merasa bersalah saat melihat raut kaget yang muncul di wajahnya. “Uhm… Anu… I-itu… Ambu bertanya, kenapa Mas Dhika belum makan?” “Oh, Saya tunggu prasmanannya sepi saja, Mbak…” sahut Dhika. “Mbak… Mbak… Nas ini lebih muda, Mas Dhika. Panggil saja Dek Nas…” Dhika bergeser, merangkul pundak Dhika dengan sikap sok akrab yang menyebalkan. “Aa!!” tegur Nas pada A Ehsan yang sedang berusaha mengambil Rasya dari pangkuan Dhika. Kakaknya itu pasti iseng menggodanya! “Loh, emang toh, Dek! Mas Dhika ini bahkan lebih dewasa dari Aa…”   Nas memelototi kakaknya. “Sudah, Ayo, Mas Dhika makan, antreannya pasti sudah sepi, sudah banyak yang pulang.”             Dhika mengangguk dan berdiri, “Mari, A…” “Iya, silakan, duluan, saya selesaikan makan Rasya dulu, kasihan baru bangun tidur sore.” A Ehsan menoleh pada Nas, “Ayo, Dek. Temani Mas-nya makan.” Nas mengangguk, “Mari, Mas...”  Gadis itu mengajak Dhika ke tempat prasmanan. Di sana sudah tersedia nasi rawon, nasi pecel, dan makanan lainnya. “Mas Dhika pasti tahu ini ‘kan, rawon… di kantin sering menyediakan menu ini, Mas.” “Iya, Dek Nas… H-hmn… Gak apa-apa saya panggil Adek?” Sikap Dhika yang terlihat canggung dan malu-malu itu menular dengan cepat pada Nas, membuat gadis itu langsung menundukkan kepala dan mengangguk, “Iya, Tidak apa-apa, Mas…” “Nak Dhika, apa tidak suka dengan makanan Ambu? Kenapa ambil nasinya sedikit sekali?” suara Ambu yang keras dan heboh mengagetkan keduanya, Ambu ternyata sudah berdiri di samping Dhika dan menunjuk pada piring yang baru saja diisi sedikit nasi. “Bukan begitu, Ambu, saya gampang lah, nanti bisa tambah lagi kalau kurang...” “Sejak kapan Ambu dan Mas Dhika seakrab ini?” pikir Nas.   “Pokoknya, Nak Dhika tidak boleh pulang sebelum kenyang… Ayo ditambah nasinya, itu ada Rawon, Soto atau bisa dibuat Pecel seperti kesukaan Adek…Ayo, Nak!” “Ambu…” Nas menegur dengan bisikan, dirinya merasa tidak enak pada Dhika yang dipaksa Ambu seperti ini. “Shh.. Sudah tidak apa-apa, tidak usah malu-malu, ayo, Nak Dhika…” “Iya, Ambu…” “Sini biar Ambu bantu…” Ambu mengambil piring yang ada di tangan Dhika, membuat Nas mengeluarkan suara protes yang tertahan.   “Ambu, biar Mas Dhika ambil sendiri saja…” “Ambu bantu, Nak Dhika tidak keberatan, ‘kan?” Sesaat Dhika kebingungan di antara ibu dan anak itu, tapi kemudian senyumnya melebar hingga gigi-gigi putihnya terlihat dan matanya bersinar menatap Ambu, “Tidak, Ambu. Saya senang Ambu bantu seperti ini.” Ambu tersenyum senang, wajahnya puas sekali, “Nak Dhika tidak usah sungkan. Sering-sering main ke sini, Nanti Ambu masakkan untuk Nak Dhika. Oh iya, Nak Dhika suka makanan apa, Bilang sama Ambu?” Ambu menambah nasi di piring Dhika sebanyak dua centong penuh. “Nak Dhika suka rawon?” “Suka, Ambu.” “Mau sama Rawon?” “Boleh Ambu, rawon saja…” Ambu menyendokkan kuah rawon dengan banyak daging di dalamnya, Nas sampai bengong melihat nasi Dhika yang sebagian besar telah tertutupi daging. Lalu Ambu menyendokkan sedikit sambal, bawang goreng, toge dan menambahkan kerupuk di atasnya. “Rawon masakan Ambu enak loh, Nak Dhika. Nanti kalau mau tambah, Nak Dhika minta tolong Adek saja ya?” “Baik, Ambu. Nanti Dhika bisa ambil sendiri saja…” “Nggih, enggak apa-apa. Ngomong-ngomong, Nak Dhika besok ada acara? Besok Ambu…” “Ambu… Mas Dhika lapar, belum makan.” tegur Nas sekali lagi. Entah berapa banyak kesabaran yang harus dia keluarkan saat ini, tapi Ambu dan yang lainnya menanggapi Dhika secara berlebihan. Benar-benar berlebihan! Seolah Dhika adalah pacarnya…atau calon suaminya… Padahal sebenarnya ‘kan… “Oh iya, ya sudah, Ayo! Ambu antar Nak Dhika. Adek, ambilkan Mas Dhika teh manis hangat ya, itu sudah dibuatkan Teteh di dapur… Antar ke meja yang ada di teras samping. Ayo, Nak Dhika ikut Ambu.” “Ambu bawel sekali, sudah sejak lama tidak melihat beliau sebawel ini!” Dhika mengikuti Ambu, meninggalkan Nas yang menghembus nafas pasrah melihat keagresifan ibunya itu. Perasaan, dulu Ambu tidak sebegininya pada Riyadi, Adam dan kawan-kawan. Bahkan Ambu cenderung pasif, membiarkan Abah yang mengurus semuanya. “Dek, Mas Dhikanya mana?” Teh Arina muncul dari arah dapur sambil membawa teko teh yang masih mengepul panas di atas nampan, ditemani dua cangkir yang masih tertelungkup di atas pisin. “Itu, di teras samping sama Ambu.” Jawabnya sambil cemberut. “Nih…” Teh Arina menyodorkan nampannya pada Nas, “Kamu bawa ke sana, teteh masih banyak kerjaan.” Nas menerima teko itu dan wajahnya semakin masam. Padahal masih ada teh hangat yang tersedia untuk tamu, tapi kenapa harus membuat yang baru seperti ini! “Ambu, ini teh nya…” Ambu mengangguk, mempersilahkan Nas mendekat. Nas meletakkan nampan itu di meja, membuka cangkir dan meletakkannya di atas pisin. Aroma teh mulai mengudara di tengah malam yang semakin dingin, asapnya mengepul bergelombang-gelombang, melepaskan diri dari cangkir yang diperciki cairan panas kesukaan banyak orang itu. Satu cangkir diletakkan di depan Dhika, satunya lagi di depan Ambu. “Nah, sudah tehnya, Ambu tinggal dulu ya, Nak Dhika. Abah pasti sudah mencari Ambu lagi… Nak Dhika kalau kurang apa-apa, ambil saja di prasmanan ya…” “Iya, Ambu. Terima kasih banyak…” Ambu bangkit dari kursinya, lalu merangkul Nas dan bertukar posisi dengan anaknya, “Adek di sini, ya, temani Mas Dhika makan.” “Tapi, Mbu…”  Nas hendak memprotes. “Sudah, tugas di dalam sudah selesai… Mari, Nak Dhika…” Dengan enggan, Nas akhirnya duduk di kursi sepeninggal Ambu. Dia terdiam di sana, memperhatikan cangkir teh yang masih mengepul dan menikmati keheningan yang tercipta akibat kediaman canggung di antara keduanya. “Dek Nas, tidak ingin bertanya?” Dhika tiba-tiba membuka topik pembicaraan. Perhatian Nas beralih dari cangkir menuju Dhika yang menatapnya. “Bertanya?” “Tadi siang di kantor... di ruang divisi keuangan…” Sebuah pemahaman merasuk ke dalam benak Nas. “Di antara semua waktu yang berlalu, kenapa lelaki ini harus membahasnya sekarang?” “Mas Dhika habiskan makanannya dulu, ya. Kita bahas ini setelah itu…” Sebenarnya, Dhika sudah ingin membahas hal ini sejak sore, tapi persiapan dan grogi yang dia hadapi sebelum tugas membaca kitab suci itu telah menyita segala perhatian Dhika. Baru setelah tugasnya selesai, dan duduk tenang sambil menyuapi Rasya, ia berhasil diingatkan pada kejadian siang tadi. Dia ingin tahu, apa pendapat Nas mengenai hal itu. Dhika mengangguk dan melanjutkan makannya. *** Alasan Nas yang sebenarnya saat menyuruh Dhika menyelesaikan makannya adalah karena dia membutuhkan waktu. Waktu untuk berpikir. Waktu untuk menyusun jawaban. Sebenarnya, Nas cukup kaget jika ternyata Dhika mengetahui keberadaannya di ruang divisi pada saat pria itu menyelipkan dokumen tersebut. Rencana Nas untuk berpura-pura tidak tahu ternyata gagal dengan mudah. Nas sudah menyimpulkan untuk tidak ikut campur dan mengabaikannya. Nas yakin lelaki ini memiliki alasan tersendiri yang tak bisa sembarangan diungkapkan. Dhika datang tiba-tiba ke dalam perusahaan yang sedang diambang kebangkrutan, berdalih untuk menggantikan posisi pegawai cuti hamil dan bergabung dalam tim yang memiliki tukang bully paling ulung yang sangat menyebalkan. Kehadiran Dhika tidak disukai hampir sebagian besar anggota divisinya. Mengundang banyak tanya para karyawan yang tidak tahu apa-apa dan hanya ikut-ikutan membencinya. Lagi pula, Lelaki ini bertubuh fit dan kokoh tapi bagaimana mungkin dia membiarkan dirinya dirundung setiap hari seperti pecundang. Dan Lelaki ini pun, diam-diam mencuri dokumen perusahaan dan menyerahkannya pada bapak tua yang bertugas di kebun belakang yang sebelumnya diurus oleh vendor kebersihan.   Semuanya terjadi secara kebetulan dan tiba-tiba. Tangan Dhika terulur dan mengambil cangkir teh lalu menyeruputnya dengan perlahan. Nas melirik isi piring Dhika yang sudah tandas. Nas rupanya berpikir terlalu dalam hingga tidak menyadari waktu yang telah berlalu. “Jadi?”  tanya Dhika sambil meletakkan cangkirnya kembali. “Tadi siang Mas melihat saya di divisi keuangan?” “Ya, kaca partisinya transparan, jadi saya bisa melihat Dek Nas berlalu meninggalkan ruangan.” “Kenapa Mas baru tanya sekarang?” “Tadinya saya ingin mengikuti Dek Nas dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Tapi saya pikir, itu hanya akan menimbulkan kesalahpahaman lebih dalam…” Nas mengangguk menyetujui, “Karena saya pikir, Mas Dhika pasti memiliki alasan tersendiri jadi saya tidak ingin ikut campur.” “Saya ingin memastikan kalau Adek paham bahwa yang saya dan Pak Lek lakukan tidak akan membahayakan perusahaan. Kami melakukannya demi kebaikan semuanya.” Nas menemukan kesungguhan dalam ucapan dan raut wajah Dhika, Nas mengangguk dan menerima penjelasan itu dengan lapang, lalu ia teringat akan sesuatu… “Apa Mas Dhika juga tidak ingin bertanya?” “Tentang?” “Ambu dan Abah…” “Yang telah berlebihan sekali dalam memperlakukanmu?” Lanjut Nas dalam hati. Ia tak bernyali untuk melanjutkan kalimatnya sendiri.    Dhika berkedip, ada sepercik pemakluman yang terlihat dari reaksi wajahnya, “Saya tidak perlu bertanya, karena saya berlayar di kapal yang sama dengan mereka.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN