Tempat pemancingan Pakde Har sangat luas, terdapat satu kolam besar yang ditumbuhi Eichhornia crassipes alias eceng gondok yang sedang berbunga dan mekar begitu indah di atas permukaan airnya. Daunnya berwarna hijau sementara bunganya berwarna ungu, mempercantik pemandangan kolam yang terdapat banyak ikan di dalamnya.
Selain eceng gondok, ada pula beberapa jenis bunga teratai yang menghiasinya, bunga itu terdiri dari berbagai warna yaitu merah jambu, putih, ungu dan lain-lain. Bunga-bunga itu hampir menutupi sebagian besar kolam dan berisiko mengganggu orang-orang yang memancing. Tapi rupanya Pakde sengaja membiarkannya tumbuh apa adanya karena beberapa hari ke depan beliau akan melakukan panen besar sekaligus merapikan kondisi permukaan kolam yang ramai itu.
Sebenarnya ini adalah kolam pemancingan pribadi milik Pakde Har dan tidak digunakan secara umum, hanya digunakan sebagai tempat beliau memancing dan berkumpul bersama kerabat juga sahabat. Tempat ini digunakan beliau untuk membudidaya ikan dan udang air tawar secara natural. Dalam setahun, Pakde bisa melakukan beberapa kali panen ikan dan udangnya yang sangat melimpah.
Ambu dan para Bude sedang duduk di saung yang ada di sana, saung rendah yang menempel ke tanah. Sementara bagi yang tidak kebagian duduk di bawah naungan saung, maka mereka menempati tikar yang digelar di bawah pepohonan rindang. Nas beserta Teh Arina dan dua putranyalah duduk di tikar itu.
Ambu berkumpul bersama Bude Aisyah –istri Pakde Har, dan beberapa Bude lainnya di saung sambil asyik membahas arisan bulanan dan lain sebagainya. Sedangkan Abah, Pakde, Dhika dan beberapa bapak-bapak lainnya sedang asyik memancing sambil berbincang-bincang.
Mereka adalah sahabat dekat yang berjumpa berpuluh tahun lalu di Jakarta saat menempuh pendidikan keguruan bersama. Tidak hanya para sahabat itu saja yang menjadi semakin dekat, tapi para istrinya pun menjadi akrab, mereka bahkan melakukan arisan kecil-kecilan yang tujuan utamanya adalah sebagai alasan untuk berkumpul-kumpul seperti hari ini.
Beberapa pekerja Pakde berseliweran, mereka sedang memanen pisang, durian, mangga dan beberapa buah lainnya.
“Nak Dhika… Nak Dhika…” Panggil Ambu yang sudah keluar dari naungan saung.
Dhika yang dipanggil menjawab sambil menoleh, lalu bergerak cepat meletakkan alat pancingnya dan segera berjalan menuju Ambu. Terlihat bersemangat dan sangat sumringah. Senyum lebar terpampang diwajahnya.
“Ini loh, Nak, tolong Ambu buka durian ini, ya. Semuanya baru dipanen oleh Paklik - Paklik disini Kalau sudah, nanti sebagian diantar ke saung dan sebagian lainnya disimpan di tikar, ini buah kesukaan Dek Nas ‘loh, Nak… dia pasti habis banyak…” Ambu nyerocos begitu cepat seperti dikejar debtcolector.
“Baik, Ambu…” jawab lelaki manut itu.
“Terima kasih banyak, Nak Dhika…”
Ambu berlalu, kembali berkumpul bersama Bude, meninggalkan Dhika yang termenung melihat gelondongan buah durian yang berkulit tajam di atas permukaan tanah dekat kakinya berpijak.
Otak sang pemuda sedang menerka, berapa banyak energi dan konsentrasi yang dibutuhkan untuk membuka buah yang rumit ini?
Tangannya mengelus leher bagian belakang dan matanya menatap buah durian dari ujung tangkai hingga badan buahnya. Tatapannya begitu tajam penuh penilaian, andai mata coklat itu bisa mengeluarkan laser ala superman, mungkin sang buah sudah terbuka tanpa perlu repot-repot mengeluarkan energy lainnya.
Dhika berlutut, lalu jemarinya yang lentik, indah dan panjang itu menyentuh permukaan tebal bersudut tajam sang raja buah. Dengan hati-hati, Ia menggeser-geser buah durian demi memperhatikan morfologi bentuk dari buah ini. Dhika merasa sedang berada di kelas biologi yang membosankan dan harus melakukan penelitian terhadap suatu objek buah dengan tampilan berbahaya ini.
Semua tingkah Dhika itu tidak lepas dari pengamatan Nas yang memang sudah menantikan buah durian kesukaannya. Bahkan matanya tidak pernah lepas mengamati dan menarget pada buah yang satu itu sejak salah seorang paklik meletakkannya di sana.
Walau ini adalah buah durian yang baru berbunga pada musim kemarau, tapi Nas tetap menantikannya. Ia tidak peduli jika rasa manisnya tidak sama dengan buah yang berbunga di musim penghujan dan baru di panen pada musim kemarau.
Durian tetaplah durian!
Mata Nas membelalak ketika dilihatnya Dhika meraih pisau dan menggesekkannya pada badan buah seolah sedang memotong kayu dengan gergaji. Apalagi posisi durian itu terletak horizontal.
Lelaki itu membelah dua durian seolah sedang memotong semangka!
Bergegas Nas menuju tempat Dhika berada, “Mas, pinjam pisaunya.” pinta Nas dengan tergesa sebelum buah durian itu berantakan, lebih baik ia saja yang mengupasnya!
Dhika menaikkan pandangannya dan menemukan wajah khawatir milik Nas sedang memandangnya. Ia menghembus nafas lega atas pertolongan yang datang, jika tidak, mungkin dia akan mengacaukan buah-buah sialan ini!
“Maaf, saya belum pernah mengupas buah durian sebelumnya…”
“Engga apa-apa, Mas. Biar saya saja…”
Nas mengambil bagian bawah durian itu, terdapat belahan kecil karena durian tersebut sudah cukup matang. Nas menggunakan pisau untuk memperpanjang belahan di sana. Setelah selesai memperpanjang sulur yang terbuka, Nas menarik dua bagian durian dengan tangannya hingga buah itu terbelah menjadi dua. Dengan serius, Dhika pun mengikuti setiap gerakan Nas dengan menggunakan media durian yang ada. Ia enggan berdiam diri dan hanya menonton bagaimana seorang wanita melakukan tugas yang seharusnya dia kerjakan.
Tugas ini sudah diberikan padanya, bukan diberikan pada Nas!
Durian yang ada di tangan Nas dan Dhika pun terbelah, menampilkan isinya yang berkulit putih dan daging buahnya yang kekuningan.
Segera saja harum buah itu menguarkan semerbak aroma yang memenuhi udara yang mereka hirup.
“Nah, begini caranya…” Nas menekan ujung-ujung dari salah satu durian yang sudah terbelah dua dengan kekuatan kedua telapak tangannya, hingga durian itu kembali membelah dan menampakkan daging buah lainnya yang tersembunyi. “Harus dibuka semua lapisannya, Mas.”
Masing-masing dari mereka telah berhasil membuka satu durian dengan sangat baik, semua buahnya masih menempel pada kulitnya dan tidak berjatuhan.
Ketika tangan Nas terulur untuk membuka durian yang lain, Dhika menahannya.
“Biar Saya saja.” ujar Dhika. “Adek coba makan durian ini… enak tidak?” Dhika menunjuk pada durian yang terbuka untuk mengalihkan perhatian Nas dari keinginannya untuk mengambil alih tugas Dhika.
Saat Nas berpaling untuk sesaat, Dhika segera menarik durian yang lainnya pada posisi yang tepat seperti yang diajarkan Nas sebelumnya.
Nas kembali menoleh pada Dhika dan mengangguk, lalu mengambil salah satu daging buah berwarna kekuningan nan gemuk. Saat memakannya, lidah Nas menyambut tekstur lembut dan creamy yang terasa manis dari daging buah tebal yang sedang dinikmatinya. “Hmn.. Manis, Mas!” Dhika mencuri pandang disela-sela konsentrasinya mengupas durian. Ia tersenyum melihat wajah puas Nas.
Nas bolak-balik membawa buah yang sudah terbuka itu ke saung dan meletakkannya di sana untuk disantap oleh Ambu dan para Bude, lalu saat kembali ke tempat Dhika mengupas durian, Nas memperhatikan Dhika yang sedang mencoba daging buah yang baru dibukanya.
Kening Dhika mengernyit dalam.
“Kenapa? Tidak suka?” tanya Nas.
“Suka, tapi yang ini kurang manis…”
“Kalau begitu buah yang ini disimpan di sini saja..”
“Kenapa?”
“Untuk bapak-bapak, yang ini saja, ini manis buahnya…”
Nas mengambil buah yang manis dan membawanya menuju tempat Abah memancing. Dhika termenung, apa wanita itu akan memakan buah hambar yang satu ini? kenapa dia memberikan buah dengan tingkat kemanisan terbaik itu kepada orang lain, kenapa bukan untuk dirinya sendiri?
Dhika kembali melumat buah durian yang ada di tangannya.
Hambar… benar-benar hambar!
Buah-buah lainnya sudah dibagikan kepada seluruh penghuni yang ada di saung, Teh Arina dan putranya, lalu Abah dan kawan-kawan. Hanya buah ini yang tersisa untuk Nas, buah dengan kemanisan yang minim dan cenderung hambar, dagingnya agak keras karena masih setengah matang.
Ambu bilang, anak putrinya itu sangat menyukai durian dan bisa menghabiskan banyak buahnya, bukan?
Dhika mengangkat kepala dan melihat ke sekeliling, matanya menemukan salah satu paklik yang berdiri di bawah pohon mangga sambil merokok. Ia bangkit, berjalan menuju paklik itu dan menyapanya basa-basi.
“Paklik, Maaf mengganggu waktunya, tapi apa buah duriannya masih ada? Sepertinya buah yang disediakan barusan kurang, Paklik.”
“Oalah! Sudah diangkut ke atas mobil, Mas… Ya sudah, Paklik periksa dulu, apa mobilnya sudah berangkat atau belum…”
“Saya boleh ikut, Paklik?”
“Oh, tentu. Ayo ikut paklik, sekalian Mas bisa pilih sendiri buahnya…”
***
Nas kembali dari mengantar buah dan tidak menemukan Dhika dimana-mana, hanya terdapat buah durian setengah matang yang sudah selesai dikupas.
“Nak Dhika mana, Dek?” tanya Ambu.
“Enggak tahu, Mbu…”
“Tadi ikut sama salah satu Paklik, enggak tahu ke mana…” sambung Teh Arina.
“Ya sudah, nanti Dek Nas antar Nak Dhika ke tempat salat ya… Ambu dan Bude ke sana duluan.”
“Iya, Mbu…”
Sambil menunggu Dhika yang pergi entah ke mana, Nas duduk sendirian di area saung sambil menikmati duriannya yang hambar dan hampir tak berasa. Ia melirik sedih pada durian Teh Arina yang sudah habis dimakan oleh Restu dan Rama, putra Teh Arina.
Ya sudah, nanti saat pulang minta Abah untuk mampir ke penjual durian dulu, pikirnya.
“Dek Nas!” suara yang Nas kenal dan sangat Nas hindari terdengar dari samping.
“Bude Susmiyati!!!!”
Belum apa-apa hatinya sudah terasa berat dan dongkol. Perasaan negative yang entah dari mana itu mampir ke dalam jiwanya sekonyong-konyong!
“Bude…” sambut Nas.
“Yang lain ke mana, Dek? Kok Sepi begini?”
“Sedang dhuhur, Bude…”
“Seharusnya tadi ikut Ambu ke surau daripada terjebak di sini dengan bude Sus!”
“Dek Nas tidak salat seperti lainnya?” Bude mengambil duduk di samping Nas dan meletakkan tas mahal yang terkenal terbuat dari kulit buaya itu di depan Nas. Seolah dengan sengaja melakukannya untuk mempertontonkan tas itu kepada Nas.
“Sangat typical Bude Sus!”
“Sedang tidak salat, Bude.”
Bude Sus adalah istri Pakde Rohiyat, salah satu teman Abah yang bisa dibilang sangat sukses hingga menjabat sebagai petinggi dunia pendidikan di provinsi ini. Bahkan mungkin tahun depan, Pakde akan mencalonkan diri sebagai gubernur ataupun wakil gubernur, entahlah, Nas kurang tahu, karena ia tidak mendengar selentingan para Bude secara penuh.
Pakde Rohiyat dan Bude Sus sering absen dari reuni ini dan sering datang terlambat karena kesibukan Pakde yang sangat tinggi, sehingga Nas tidak kenal begitu dekat dengan keduanya, yang Nas tahu, Bude Sus adalah tipe ibu-ibu yang mesti kamu hindari di setiap acara reuni.
Mulutnya tajam, suka menyindir dan sulit untuk memahami ketersinggungan orang lain. Dulu, saat Nas terlambat lulus kuliah hingga baru bisa menyelesaikannya ditahun ke enam, sang bude selalu mempertanyakan dan menyindir-nyindirnya, menjabarkan berbagai jenis contoh manusia-manusia yang mampu menyelesaikan skripsi dengan cepat. Nas yang saat itu sedang malu, tertekan dan depresi akibat ketidakmampuannya lulus tepat waktu harus menahan batinnya yang bergejolak dan meraung ingin mencakar wajah Bude Sus yang penuh dengan make up. Beruntung Ambu meraih dan mengelus tangannya, mencoba menenangkan Nas dari kesusahan hatinya.
Bahkan saat Nas sudah berhasil lulus kuliah pun, Bude selalu memiliki cara untuk membuatnya merasa “kecil”, merasa bodoh dan tidak berharga. Pertanyaan seperti, sudah bekerja belum? Sudah melamar kerja ke mana saja? Sudah pernah interview? Sudah jangan pilih-pilih, mending ikut honor di sekolah Abah, mengajar agama atau apa… atau di tata usaha. Lalu beliau akan menyebutkan sederet contoh manusia-manusia yang mampu mendapatkan pekerjaan di tempat yang bagus sebagai perbandingan untuk Nas yang selalu gagal dalam hidupnya.
Andai pertanyaan-pertanyaan itu dikeluarkan mulut lain, rasanya pasti akan berbeda. Tapi kalimat itu keluar dari mulut pedas dan nyinyir ala Bude Sus. Jadi sulit bagi Nas untuk menerimanya dengan baik.
“Oh iya, mumpung saya ingat dan ada Dek Nas di sini, saya sudah rencana mau bahas hal ini dengan Dek Nas, Ambu dan juga Abah sejak dari rumah loh…”
“Tuh, ‘kan!
Detik-detik penyiksaan baru saja dimulai!
Ya Tuhan… kuatkan Hamba…”
“Dek Nas jangan merasa terbebani ya, ini kalau cocok saja, kalau tidak ya, tidak apa-apa…”
Bude mengambil kembali tas kulit buaya berwarna terang benderang itu, lalu mengeluarkan selembar kertas poto dari dalamnya.
Wanita menor itu pun menyodorkan poto di depan Nas. Poto yang menggambarkan seorang pria yang sedang duduk di sebuah halaman hijau yang berlatar kan menara Eiffel di belakangnya.
“Mas ini namanya Raditya, salah satu anak teman Bude di perkumpulan arisan ibu-ibu partai itu loh! Nah, Mas ini Usianya tiga puluh delapan tahun, lulusan S2 dari Prancis loh, Dek!” Bude begitu antusias menjelaskan pada Nas sampai-sampai tidak menyadari wajah Nas yang terlihat masam. “Sekarang dia sudah bekerja sebagai dosen di Institut Teknologi Kota ini juga!”
“Wah pokoknya, Nak Radit ini dek, sangat saleh, lalu berbakti pada Ummi dan Abinya. Dulu dia nyantren di Gontor juga. Sudah cerdas, saleh dan tampan juga, Dek. Andai anak gadis Bude belum menikah, pasti sudah Bude jodohkan dengan anak Bude!” jelasnya. “Saat Bude dikenalkan dengan Nak Radit, Bude langsung teringat pada Dek Nas, bukan pada yang lainnya. Bude berpikir, kenapa Dek Nas yang terlintas dalam benak Bude, langsung saja bude berkesimpulan, wah, mungkinkah ini pertanda dari Gusti Allah kalau sesungguhnya Nak Radit ini berjodoh dengan Dek Nas!?”
Mulut Nas menganga lebar-lebar sambil menatap Budenya.
“Wah makasih ‘loh bude, yang pertama bude ingat justru Nas begitu…” sebenarnya ini sarkasme, tapi Nas menyembunyikannya dengan baik dibalik suara lembut dan sopan santunnya.
“Iya, dong! Bude ini sangat peduli dengan Dek Nas, kasihan sudah dua puluh tujuh tahun belum juga bertemu jodoh dan menikah... Bude Heran, Anak gadis semanis Dek Nas kok tidak laku-laku, kalah dengan anak terakhir bude yang berusia dua puluh lima tahun saja anaknya sudah bisa jalan…”
JLEB!
Nas meringis merasakan tajamnya anak panah yang menancap di dadanya itu.
“Iya, Bude. Heheh” Nas mentok, tidak tahu harus bagaimana membalas ucapan Bude.
“Pokoknya, Bude sangat berharap kalau Dek Nas dapat suami terbaik, terutama sudah mapan dan sayang sama Dek Nas. Kasihan Abah sama Ambu yang terus ketar ketir memikirkan anak gadisnya belum nikah-nikah begini…”
“Iya, Bude. Heheh… Tapi Bude, ada tidak anak kenalan Bude yang masih di bawah tiga puluh tahun, supaya beda usianya tidak jauh dari Nas, heheh…” Nas mencoba mencari celah untuk mengalihkan topik yang sedang Bude tekankan itu, sekaligus membuat Bude lupa pada Radit kebanggaannya.
“Loh, jangan terlalu pemilih soal usia Dek… kenapa Adek tidak mau dengan lelaki yang usianya di atas tiga puluh tahun, padahal lelaki di atas tiga puluh tahun pasti sudah mapan!”
“Nas mau sama yang usianya beda dua sampai tiga tahun saja, Bude. Biar lebih gampang penyesuaiannya!” Nas memperhatikan ketidak setujuan di wajah Budenya, tapi ia terus melanjutkan, “Pokoknya, nanti kalau Bude punya kenalan yang usianya di bawah tiga puluh tahun, wajib dikenalin ke saya ya, Bude!”
“Dek Nas, kita itu mencari jodoh, tidak boleh mengatur usia begitu, Kalau Gusti Allah memberi kita jodoh dengan usia yang jauh, ‘yo mosok mau kamu tolak, toh!”
“Begitu ya, Bude?”
“Loh, Iya! Apalagi ada calon sehebat Nak Raditya ini, tidak boleh sembarangan menolak loh, Dek, nanti jodohmu semakin jauh kalau kebanyakan nolak!”
“Wes, pokoknya, Dek Nas kenalan dulu saja dengan Nak Raditya, nanti Bude minta izin sama Abah dan Ambu mu supaya Bude bisa ngajak Nak Raditya mampir ke rumah, piye?” Belum sempat Nas menjawab, Bude melanjutkan, “Sekalian kamu juga nanti kenalan dengan anaknya Nak Radit!”
“Anaknya, Bude?”
“Loh, iya! Biar kamu kenal dekat dengan Anak perempuan Nak Radit dengan istri sebelumnya…”
Nas terbengong-bengong, kenapa kenyataan se-krusial ini baru disampaikan sekarang!
Buggg… Buggg…
Suara dua buah durian yang dijatuhkan ke atas tanah dengan kasar itu menyadarkan Nas dari keterkejutannya.
Di sana, di depannya, berdiri menjulang dalam balutan cahaya matahari yang menerjang, seorang pria berwajah dingin dengan pesona yang tak terbantahkan, sedang menatapnya dengan tajam, menusuk dan merasuk hingga hatinya berdenyut.
“Ambu dan Abah ke mana?” tanya pria itu dingin dan tajam.
Sikap tubuh Dhika yang sebelumnya terlihat santai dan menguarkan aura positif yang membuatnya terlihat ramah dan cenderung membumi menghilang entah ke mana, pria itu kini terlihat sangat dingin dengan sikap tubuh yang seolah tak bisa sembarangan disentuh oleh siapa pun.
“Ke surau, salat dhuhur…” jawab Nas spontan. Entah kenapa sikap dingin pria itu membuatnya tidak bisa berkutik.
“Temani saya ke sana.” Pria itu memuntahkan perintah yang tidak bisa dibantah.
Dengan sedikit keterkejutan yang masih menguasainya, Nas menoleh pada Bude. “Saya pamit dulu Bude…”
Ternyata Bude Sus sedang melongo dengan mulut menganga melihat pria semulus porselen yang berdiri dengan sikap angkuh nan dingin di depannya. Pria itu menjulang tinggi, berbahu lebar dan berdada bidang.
Tentu saja Dhika bukanlah sejenis keindahan yang bisa ditemui di kebun durian apalagi tempat pemancingan yang panas terbakar matahari begini, kan?
Apakah dia peri hutan yang menyasar?
“Ayo!” panggil Dhika pada Nas yang masih memperhatikan Bude Sus.
Nas mengangguk dan segera berjalan beriringan dengan lelaki itu.
Mereka menempuh perjalanan yang sangat canggung dipenuhi keheningan yang membuat gelisah. Terlalu hening hingga rasanya tidak nyaman sama sekali.
Nas melirik takut-takut pada Dhika. Pikirannya melayang, mulai menerka-nerka. Kira-kira, kenapa pria ini berubah sebegitu cepatnya, padahal tadi saat membelah durian dia terlihat baik-baik saja. Apa terjadi sesuatu selama dia pergi sampai-sampai membuatnya berubah dingin begini?
Lelaki itu tidak menampakkan ekspresi apa pun, wajahnya seolah terpahat sempurna dan seperti tidak pernah menggerakkan otot-otot wajahnya. Dhika sangat amat tampan, tapi sikap dinginnya yang muncul tiba-tiba berhasil membuat Nas mereguk ludah berkali-kali. Ada rasa takut, ada getar gelisah yang muncul di dalam d**a. Perasaan macam apakah ini?
Takut atau jatuh cinta?
***