9. DHIKA! - Dari Mulut Ke Mulut

1387 Kata
Dhika terpaku pada isi piringnya. Ini pertama kalinya Dhika melihat bentuk rujak cingur yang telah dia pesan secara sembrono. Dhika tidak pernah tahu apa itu rujak cingur, apalagi memakannya. Pria itu mengabsen isi piringnya satu per satu, ada lontong, beberapa jenis sayur, bumbu kacang yang kehitaman, tahu,  dan tempe yang dia temukan di dalamnya atau setidaknya itu yang ia lihat sampai kemudian ia menyuap sesuatu yang kenyal, lengket dan menggelikan. “Damn it! What is it?” “Kenapa, Mas?”  Nas yang sedang asyik menikmati nasi pecelnya menoleh kaget saat mendengar umpatan Dhika. Tidak menyangka jika ternyata seorang Dhika bisa mengumpat begitu fasih. Dhika mengambil tisu dan memuntahkan potongan itu dari mulutnya. “Ini loh rasa dan teksturnya menggelikan!” lelaki itu langsung membuang tisu ke tempat sampah yang ada di pojokan. Kedua alis Nas terangkat, “Memang bagaimana teksturnya?” “Kenyal, lengket... rasanya gak enak.” Kening Dhika mengernyit tak suka. Mata gadis itu mengerjap, senyum lebar tertarik di kanan dan kiri sudut bibirnya, “Oh itu pasti cingur, Mas!” “Apa itu cingur?” Dhika memandang horror isi piringnya. Ada nama asing yang tidak dia kenali dan sadari keberadaannya di dalam sana. “Moncong atau mulut sapi.” Jawab Nas singkat, lalu menyuap nasi pecelnya dengan nikmat. “What… in… the world!” Dhika menahan diri untuk tidak mengumpat lagi.  Lelaki itu menyandarkan punggung dengan pasrah, mulutnya baru saja merasakan mulut sapi. Dari mulut ke mulut! Ugh! “Dari semua bagian sapi, kenapa harus moncong?” tanya Dhika sambil menatap Nas dengan bersungguh-sungguh.   Nas tertawa kecil melihat keseriusan Dhika, “Ya, why not?” “Why not?”  Dhika mengulang pertanyaan Nas. “Ya, karena selalu ada orang-orang yang punya selera khusus. Ada yang suka kikil, ada yang suka kulit, ada yang suka paru, jadi pasti ada juga yang suka moncong sapi.”  Jelas Nas. “Kamu suka semua itu?” sebagai orang yang anti terhadap semua yang Nas sebutkan, Dhika bergidik membayangkannya. “Tergantung pengolahannya. Kadang ada yang bau, sih!” “Saya tidak suka semuanya… apalagi moncong sapi ini, lebih baik saya pesan makanan lain saja.” Nas terdiam mendengarnya, lalu menatap isi piring itu penuh simpati. Piring Dhika masih penuh, pasti sayang kalau tidak dimakan dan terbuang begitu saja. Mubazir! “Mas Dhika gak suka lontong?” Dhika mengangguk, “Suka…” “Sayuran-sayuran ini?” “Suka.” “Tempe, Tahu, Bumbu petis dan kacang?” “Semua itu gak masalah.” “Ya sudah, tidak perlu pesan makanan baru, kita pisahkan di samping aja cingurnya supaya tidak termakan lagi, gimana? Mubazir loh, Mas, kalau makanan ini terbuang…” Nas mengambil sendok dan garpu yang ada di piring Dhika dan memilah-milah cingur yang ada di sana dengan hati-hati hingga semua terkumpul di sisi piring. “Nah, selesai.” Mata Dhika tak lepas dari isi piringnya yang baru saja diobrak-abrik Nas. Sepanjang hidupnya, tidak pernah ada satu orang pun yang Dhika biarkan menyentuh isi piringnya seperti ini, kecuali Mamah dan mbak yang dulu pernah mengasuhnya. Dhika mengalihkan pandangan pada Nas yang masih tersenyum ceria menatapnya. Senyuman yang sudah lama tidak dilihatnya. “Terima kasih…” Balas Dhika sambil membalas senyum Nas dengan sama cerianya. Ini adalah pertama kalinya Dhika makan di warung kecil yang memiliki berbagai menu seperti nasi pecel, rujak cingur, gado-gado dan lainnya. Dhika tidak begitu familiar dengan makanan yang ada di kota ini, sesering apa pun dia berkunjung ke suatu kota, ia akan memilih tempat makan yang sesuai dengan seleranya atau setidaknya mengenal bahan baku makanan itu. Sekitar setengah jam yang lalu, Dhika mengajak Nas untuk makan di restoran spesialis pasta dan steak yang sudah sering ia nikmati makanannya. Tapi Nas menyarankan mereka untuk makan di dekat toko tempat ia memesan etalase agar bisa lebih cepat sampai ke tujuan akhir mereka. Dan Benar saja, warung kecil ini hanya berbeda beberapa rumah saja dari tempat pembuatan etalase tersebut. Warung makan ini kecil, tapi di depannya berjajar mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan. Beberapa pelanggan memilih untuk makan di dalam mobil, beberapa di teras warung dan beberapa di dalam warung. Hal itu menunjukkan betapa orang-orang menikmati dan menggandrungi makanan yang dimasak di warung ini. Dhika menggeleng kecil, entahlah! Baginya, ia harus menyesuaikan lidahnya terlebih dahulu dengan rasa bumbu petis yang cenderung manis  ini. “Jadi etalase itu untuk diberikan kepada siapa Mbak Nas?” Tanya Dhika mencoba untuk membuka percakapan di antara keheningan mereka. “Etalase itu diberikan untuk Ibu Kusuma berjualan Bakso dan berbagai jenis minuman ringan. Jualan skala kecil sih. Itu pun dilakukan di depan rumahnya. Setelah ini kita akan mengantarkan etalase ke sana, ya.” Dhika mengangguk-angguk setelah menyimak penjelasan Nas. Matanya menatap lurus, sedang menghitung-hitung berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk setiap program CSR yang sejenis ini. Seingat Dhika, banyak sekali program CSR berskala besar yang menghabiskan dana perusahaan yang hampir collaps itu. Kalau ditambah yang kecil-kecil seperti ini, pasti semakin membengkak. “CSR Atmajaya F&B sangat royal ya, Mbak, dalam memberikan program bantuan?” Dhika tak bisa menahan nadanya yang sangsi dan agak sarkas itu. “Engga kok, Mas. Kita jalankan program sesuai budget yang sudah disetujui saja. Salah satunya program entrepreneurship seperti ini. Bagi saya, ini merupakan program paling realistis dan membantu masyarakat dari pada sekedar tunjangan uang…” Nas berhenti sebentar untuk menyeruput es teh manisnya dan memastikan Dhika masih menyimak penjelasannya. “Ini adalah program kesempatan membuka usaha bagi masyarakat supaya lebih produktif dan uang modal yang kita berikan tidak mandek dalam sekali penggunaan saja, alias bisa continue gitu…” “Tapi bagaimana kalau ternyata penerima bantuan dana usaha itu tidak memiliki kemampuan berbisnis atau berdagang? Bisa saja mereka kehabisan modal karena tidak bisa mengelolanya? Sama saja wasting dong, Mbak?” Dhika begitu bersemangat melemparkan pendapatnya. Rupanya panas gelora api pada proses audit masih tersisa di antara divisi CSR dan divisi keuangan. Dhika memperhatikan Nas meletakkan sendoknya, membuat sudut bibir Dhika tertarik ke atas secara diam-diam. Dhika suka respons Nas yang mulai terprovokasi olehnya ini. Karena hal itu menunjukkan bahwa Nas teguh pendirian dan tahu apa yang sedang dia kerjakan. “Mungkin karena Mas Dhika baru beberapa bulan di sini jadi Mas Dhika belum melihat bagaimana program ini berproses…”  balas Nas tak mau kalah. Wanita itu menjelaskan dengan seksama alur proses yang sebenarnya pernah Dhika baca dalam laporan mereka. Program wirausaha ini adalah program yang diadakan khusus untuk masyarakat kota ini. Diberikan hanya kepada orang-orang yang berada digaris kemiskinan dan memberi mereka kesempatan untuk memulai usaha dengan mentoring yang berkesinambungan. Masyarakat yang tertarik dan menyetujui syarat-syarat yang berlaku bisa mengajukan diri menjadi peserta dan memulai program pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan pengelolaan dana, perencanaan usaha hingga pelatihan pembuatan produk yang akan dijual –walau sebagian besar dari mereka sudah mampu membuat produk yang akan mereka jual. Selesai program pelatihan, maka masyarakat tersebut akan mendapatkan komponen-komponen yang diperlukan. Jika mereka ingin memiliki usaha jahit, maka mereka akan mendapatkan mesin jahit dan hal-hal terkait yang sesuai. Sedangkan untuk Ibu Kusuma yang berencana membuka kios Bakso di depan rumah mendapatkan etalase, panci, kompor dan bahan-bahan penunjang lainnya. Mendengar bagaimana Nas menjelaskan dengan logis, terperinci, panjang dan lebar tanpa kesan menggurui sama sekali itu membuat Dhika akhirnya setuju dengan ide tersebut. Sebenarnya Dhika pun merasa bahwa memberi bantuan yang bersifat dan memberi efek berkesinambungan untuk hajat masyarakat jauh lebih penting dan utama dari pada sekedar memberikan uang bantuan tunai yang mungkin akan habis dalam sekali pakai dan memiliki manfaat yang tidak maksimal dalam memberantas kemiskinan. Dhika berharap pelatihan yang dilakukan sebelum pemberian sejumlah dana atau fasilitas itu berhasil mencegah sia-sianya program yang perusahaan jalankan. “Minggu lalu saya dan Ibu manager sudah mengantarkan kebutuhan lainnya, hari ini kita hanya akan mengantarkan etalase. Dan oh, sebelum mas bertanya, jadi seharusnya etalase ini selesai minggu lalu tapi berhubung Pak Sukardi sakit, jadi agak mundur selesainya.” “Pak Sukardi itu yang tadi menyapa kita, ya Mbak?” “Iya, Mas.” Nas menyelesaikan suapan terakhirnya. “Sepertinya Mbak Nas kenal dekat dengan beliau?” Saat Nas belum sempat menjawab, terdengar suara bapak-bapak menyela sambil menepuk pundak Nas. “Nas?” Dhika dan Nas yang kaget serempak menoleh ke belakang, mereka mendapati seorang pria paruh baya berpakaian rapi seperti habis dari masjid, berpeci putih, dan wangi sekali. “Abah?” Seru Nas terkaget-kaget! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN