10. Abah! - Ketika Abah Merasa Cocok

1871 Kata
Abah Susilo duduk di kursi depan, tepat di samping Dhika. Lelaki paruh baya itu tidak melepaskan pandangan matanya dari pemuda berwajah tampan dan berkulit pucat yang sedang mengemudi mobil Ibu Santi yang dia kenal sebagai pimpinan divisi tempat anaknya bekerja. Mata tuanya melihat pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Dhika ini dengan mata bersinar terang bagai bulan di tengah gelapnya malam. Bagaimana mungkin tidak, ini adalah pertama kalinya Abah melihat putri bungsunya berduaan dengan seorang pria. Walau hanya rekan kerja, tapi ini adalah kemajuan positif yang membuatnya bungah. Anak gadis yang selama ini menunjukkan sikap antipati pada pria yang silih berganti ia perkenalkan itu, kini mulai terbuka dan mau keluar berdua –walau hanya untuk melakukan pekerjaan dan makan siang bersama di warung pecel langganann keluarganya. Abah teringat pada Riyadi, seorang guru muda yang sudah lolos seleksi CPNS dan ditugaskan di sekolah tempat abah bertugas. Riyadi seusia dengan Nas dan bahkan dulu teman satu SMA Nas. Saat abah mengadakan pengajian rutin bulanan di rumahnya, Riyadi terlihat tertarik dan mendekati Nas, tapi Nas justru menganggap itu sebagai bentuk pertemanan saja dan tidak lebih. Lalu ada anak muda bernama Adam yang merupakan tetangga –lumayan jauh mereka. Rumahnya ada di blok sebelah, Abah mengenal Adam sebagai pengusaha muda, pemilik berbagai kedai kopi, rajin terlihat di masjid dan juga baik. Tapi sayang, Nas bergeming ketika didekati. List pria yang mendekati anak gadisnya itu pun semakin memanjang, tapi belum ada satupun yang berhasil membuat Nas tergugah hatinya bahkan hanya sekedar untuk melirik saja. Semakin minim reaksi Nas pada pria-pria itu, semakin khawatir Abah dibuatnya. Sebagai seorang ayah tradisional yang melihat anak gadisnya sudah berusia 27 tahun itu masih menyendiri, dan bahkan tidak memiliki tanda-tanda menuju pernikahan sama sekali, telah berhasil membuat Abah ketar-ketir, tidak jarang Abah menyampaikan kekhawatirannya ini kepada Ambu yang juga ternyata memiliki kekhawatiran yang sama tetapi selalu disimpannya di dalam hati. Sepanjang masa remajanya, Abah tahu –dari hasil bisik-bisik dengan ambu- kalau Nas pernah naksir pada teman sekolahnya. Saat itu Abah khawatir kalau Nas akan berpacaran dan bisa mengganggu konsentrasi Nas pada pendidikannya, tapi saat itu Abah sangat bersyukur karena tidak ada tanda-tanda jika Nas berpacaran dengan siapapun. Waktu pun berlalu, selepas SMA, Nas yang memang berwatak gigih dalam mengejar cita-cita akhirnya berhasil diterima di salah satu perguruan tinggi yang terkenal di Jawa Barat. Dengan berat hati, Abah dan Ambu merelakan Nas pergi mengejar cita-citanya. Dulu, Nas tinggal di rumah kos di dekat kampusnya tapi sesekali mampir dan menginap di rumah keluarga mereka yang terdekat. Sejak saat itu abah dan ambu tidak tahu riwayat percintaan anak gadisnya. Tapi abah dan ambu percaya dan yakin jika anak gadisnya mampu menjaga diri dengan sangat baik. Ya, Abah akan bertahan pada keyakinannya ini. Walau Ambu sedikit meragu. Empat bulan ke depan Nas akan berulang tahun yang ke 28. Waktu akan terus bergulir, hari akan terus bertambah, usia akan terus menua, karena itulah selama beberapa bulan terakhir ini, abah semakin gencar mencarikan calon suami untuk putrinya yang sudah cukup matang untuk membangun rumah tangga. Lalu ditengah upayanya yang tak kunjung membuahkan hasil ini, tiba-tiba muncul sosok Nak Dhika yang dengan sekali lihat saja bisa langsung Abah ketahui adalah selera Nas. Mutlak. Terlihat Kutu buku, tidak banyak neko-neko, dan sangat sopan. Nak Dhika ini –bagi Abah-, bagaikan air yang dia temukan di tengah gurun sahara. Menyegarkan dan memberikan harapan. Abah mesti memberikan pengumuman ini setibanya di rumah nanti. Wajib! Ya, Nanti. Karena sekarang dirinya akan menemani Nas dan Dhika menuju rumah seorang penerima dana bantuan usaha dari Atmajaya F&B. Saat melihat bagaimana Pak Sukardi dan kedua pemuda ini kesulitan mengangkut etalase, karena anak buah Pak Sukardi tiba-tiba ijin pamit karena sakit. Akhirnya Abah mengajukan diri untuk membantu mengangkut etalase itu menuju mobil pick up Pak Sukardi dan bersikeras untuk ikut mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Itulah awal mula mengapa Abah bisa berada di dalam mobil yang sama dengan Dhika dan Nas. Nak Dhika adalah anak muda yang sangat sopan, bahkan dia mencium tangan Abah ketika Nas memperkenalkan mereka. Sikap yang sudah jarang Abah temui ketika bertemu dengan anak muda perkotaan seperti Dhika. Kesan kutu buku nan esklusif dan metroseksual memancar keras dari pemuda ini. Walaupun terlihat culun, tapi Abah tahu Dhika adalah lelaki yang spesial. Abah memiliki firasat baik pada lelaki ini. Nak Dhika memiliki kulit seputih s**u –cenderung pucat-, yang sedikit memerah akibat terbakar sinar matahari. Hidung tinggi, alis tebal, bibir tipis dan walaupun sikap tubuhnya seperti selalu kelelahan, tapi bahunya lebar dan urat-urat di tangannya terlihat kuat. “Nak Dhika, Aslinya dari mana?” Abah memulai sesi interogasinya. “Ibu saya Sunda, tapi kami tinggal di Jakarta, Abah.” “Oh, Jadi Ayah Nak Dhika dari Jakarta?” Abah yang persisten bertahan dalam mode menelusuri bibit, bebet, bobot pemuda ini. “Bisa dibilang begitu, Abah.” Dhika menggaruk leher belakangnya, hal yang lelaki itu lakukan ketika merasa malu atau grogi. “Nak Dhika, tiasa nyarios sunda?” Abah yang merupakan perantau berdarah Sunda bertanya apakah Dhika bisa berbicara bahasa Sunda. “Sedikit saya mengerti, Abah. Tapi karena keluarga kami percampuran berbagai ras dan suku jadi lebih sering berbahasa Indonesia.” Abah mengangguk, “Tidak apa-apa. Anak-anak Abah juga tidak bisa berbahasa Sunda dengan baik dan benar, karena mereka tumbuh besar diluar wilayah Sunda.” Abah melihat jam tangan tua yang ia kenakan di lengan kirinya, berdeham beberapa kali. “Sudah jam segini, apa Nas dan Nak Dhika sudah duhur? Sebentar lagi Ashar, loh.” “Sudah, Abah.” Jawab Dhika. Jawaban yang sangat memuaskan Abah hingga membuat Abah mengangguk-angguk bersemangat. Cocok. Cocok dihati Abah. “Nas?” “Sedang libur, Abah.” Jawab Nas. Abah mengangguk mengerti. “Nah ini, Mas Dhika, belok ke gang yang ada di depan itu dan lurus sampai ketemu balai desa.” “Baik, Mbak.”Dhika mengikuti petunjuk Nas hingga mobil berhenti tepat di depan balai desa. Rumah Ibu Kusuma terletak beberapa rumah sebelum balai desa sehingga mobil pick up Pak Sukardi yang melaju di belakang mereka berhenti lebih dekat dengan rumah Ibu Kusuma. Abah, Nas dan Dhika langsung menuju rumah Ibu Kusuma, beliau terlihat sudah menanti di depan rumah sederhananya yang dihuni oleh banyak anggota keluarga. Suami Ibu Kusuma yang terkena struk pun ikut menyambut sambil duduk di kursi. Lima orang anaknya berjajar rapi di samping sang Ibu yang sedang menggendong si bungsu yang terlelap di pelukannya. Astuti, keponakan Ibu Kusuma menyapa Nas terlebih dahulu. Astuti ini orang yang memberikan ide pada Ibu Kusuma untuk mengajukan bantuan dana usaha Atmajaya F&B. Salah seorang pemuda yang aktif disetiap kegiatan karang taruna desa ini. “Assalamualaikum.” Nas menjulurkan tangan untuk bersalaman dan bercipika-cipi ria dengan Astuti yang manis itu. “Waalaikumsalam, Mbak Nas… Mari, mari, silahkan. Selamat datang di rumah kami yang sederhana.” Astuti menyambut sapaan Nas dengan antusias sambil menghela Nas lebih dekat dengan keluarga Ibu dan Bapak Kusuma. “Iya, terimakasih banyak. Ibu, Bapak…” Nas menyalami Ibu Kusuma dan mengangguk pada Bapak Kusuma sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dadaa. Bermaksud memberikan salam pada pria yang separuh tubuhnya lumpuh itu. “Mbak Nas dan tim, selamat datang lagi di rumah kami, ya.” ujar Ibu Kusuma. “Enggih, bu. Terimakasih. Oh iya, Sebelumnya, saya ingin menyampaikan permohonan maaf dari saya dan ibu Santi, karena hari ini sudah telat dan bahkan hampir kesorean mengantarkan etalasenya. Di kantor sedang banyak pekerjaan jadi waktu kami tersita sehingga Ibu Santi tidak bisa mengantarkan ini secara pribadi. Beliau menitipkan salam untuk Ibu Sekeluarga.” Tutur Nas penuh kelembutan dan sopan santun. “Oh, Nda apa-apa, Mbak Nas tidak perlu repot-repot dan terburu-buru. Sudah mendapat bantuan saja saya sangat bersyukur, Mbak.” Bu Santi menitipkan anak bungsunya pada gendongan anak tertua. “Saya juga menitip salam untuk Bu Santi, Mbak Renata dan semuanya ya, Mbak.” “Iya, Bu. InsyaAllah saya sampaikan. Bu, ini perkenalkan, Mas Dhika. Rekan kerja yang hari ini menolong saya.” Tangan Nas menjulur ke samping, ke tempat dimana Dhika berada. Dhika menyalami Ibu, Bapak dan Astuti yang matanya langsung bersinar cerah melihat kehadiran Dhika. Nas baru menyadari kalau ternyata lelaki ini memiliki pesona yang memang sulit ditolak oleh siapapun. Dibalik poninya yang hampir menutupi mata, pakaian rajut yang kuno dan kebesaran. Tapi Dhika selalu berhasil mengambil perhatian orang dengan seluruh pembawaan dirinya. Dhika memiliki kharisma kuat yang mungkin selama ini disembunyikan hingga Nas terlambat menyadarinya. Dhika menyapa mereka satu per satu, termasuk anak-anak keluarga Kusuma. Anak-anak itu menyukai Dhika sedetik setelah Dhika memberikan senyumannya. “Dan ini Abah saya, Bu. Beliau ingin ikut membantu kami.” “Bapak…” Anak tertua Ibu Kusuma maju lebih dulu, menyalami Abah Susilo. “Ini, Bu. Kepala sekolahku.” Ibu Kusuma yang baru mengetahui informasi itu langsung menyalami Abah dengan lebih heboh lagi. “Oalah, jadi Mbak Nas ini anak Bapak kepala sekolah, toh! Selamat datang di rumah kami, Pak!” “Enggih, Bu. Selamat sudah mendapatkan bantuan keluarga, semoga usahanya nanti lancar dan laris, nggih, Bu.” Ibu Kusuma mengamini harapan Abah, “Kamu kelas berapa, dek?” tanya Abah pada anak tertua Bu Kusuma. “Tujuh B, Pak.” “Namamu siapa?” “Aisyah, Pak.” Setelah banyak mengobrol mengenai rencana pendidikan anaknya di SMP bersama Abah, akhirnya ibu Kusuma kembali fokus pada Nas dan Dhika yang sedang bergotong royong bersama Astuti dan Pak Sukardi membopong etalase bakso. Abah menyusul kemudian untuk membantu mereka. Etalase telah diletakkan diatas meja yang tersedia dengan presisi yang pas dan tidak miring sedikitpun. Pemuda yang bernama Dhika itu ternyata pekerja keras, detail, dan pegelut kesempurnaan. Cocok. Abah merasa cocok. Nas dan Dhika berpose bersama Ibu Kusuma sebagai penerima dana bantuan usaha di depan etalase sambil memegang papan kertas yang bertuliskan total sumbangan dana yang perusahaan keluarkan. Lalu setelah acara pemotretan itu, Nas kembali memastikan kepada Ibu Kusuma bahwa bantuan bahan-bahan kering yang dibutuhkan untuk berjualan bakso sudah dikirimkan dengan lengkap dan sesuai. Sebelum berpamitan, Nas memberikan sebuah amplop berisi uang sebagai modal yang bisa ibu Kusuma gunakan jika ada bahan-bahan yang kurang. Keluarga Ibu Kusuma mengantarkan Tim hingga sampai ke mobil dan sekali lagi mengucapkan terimakasih sebelum mereka berlalu. Sore hari yang sibuk itu pun terlalui dengan baik, hingga rombongan Nas bisa pergi setelah lewat pukul empat. Dhika mengantarkan Abah kembali ke warung pecel tempat beliau meninggalkan motor yang dikendarai sebelumnya. Lelaki tua itu terlihat enggan berpisah dengan Dhika dan Nas begitu saja. Hingga beliau mengikuti mobil pemuda itu dari belakang dengan alasan: Sekalian menjemput Nas pulang bekerja. Nas yang melihat determinasi Abah yang tak tanggung-tanggung itu hanya pasrah saja. Sementara Dhika merasa kagum saat melihat seorang ayah yang begitu melindungi dan perhatian pada putrinya. Akhirnya mereka sampai di kantor pukul 5.30 sore, cukup terlambat karena Abah, Pak Sukardi dan Dhika memutuskan untuk beribadah ashar di mushala yang mereka temui di dekat rumah ibu Kusuma. Setelah ibadah itu selesai, abah semakin dan semakin merasa cocok dengan Nak Dhika ini. Ambu juga pasti cocok. Semua pasti cocok. Abah semakin sumringah. Mungkin inilah jawaban Tuhan untuk setiap doanya! “Nak Dhika, besok malam ada pengajian bulanan, kebetulan giliran di rumah Abah. Kalau Nak Dhika berkenan dan ada waktu, silahkan hadir, ya?” Tanya Abah pada Dhika saat menemaninya menunggui Nas yang masih mengambil tas di dalam gedung kantor. Dhika terlihat terkejut mendengar permintaan Abah, tapi keterkejutan itu hanya bertahan sebentar dimatanya dan berubah menjadi senyuman senang. “Saya boleh datang, Abah?” “Tentu saja boleh. Datang ya, Nak Dhika. Supaya kita bisa mengobrol lagi.” “Baik, Abah. Saya pastikan akan datang besok malam. Terimakasih, Abah.” Jawab Dhika penuh antusias. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN