Dhika berlari kecil menerobos kerumunan antrian manusia yang sedang bergiliran untuk masuk ke toilet dan mushola, Dirinya dan Nas sudah berjanji akan bertemu kembali di depan pintu keluar, tapi sayangnya wanita itu tidak terlihat di mana-mana, baik di dalam mushola, maupun di antrian toilet.
Dengan tergesa, dirinya menerobos kerumunan sambil mengedarkan mata.
Tidak ada.
Kepanikan menguasainya. Ada rasa takut yang terselip dan semakin membesar setiap detiknya. Dhika tidak mau wanita itu mengulang lagi apa yang telah dilakukannya dimasa lalu.
Pergi dan menghilang.
Tidak, jangan seperti itu lagi. Sudah cukup!
Dulu wanita itu melarikan diri ketika dikejar dengan agresif, sedangkan kini ketika dirinya datang lagi ke dalam hidup Nas dan mencoba mendekatinya dengan perlahan, apakah wanita itu juga akan melarikan diri lagi?
Tidak boleh.
Wanita itu tidak boleh lepas dari pandangannya. Selama ini, dirinya sudah mentoleransi Nas dengan begitu tinggi, dengan tidak terlalu tersinggung ketika Nas tidak mengenalinya sama sekali dalam penyamaran ini, tidak marah ketika Nas justru dengan mudahnya tertarik pada Dhika si cupu dan kere, bukan pada Dhika yang menawan dan mapan.
Dirinya menerima semua kenyataan itu dengan lapang, tapi pasti tidak akan sanggup menerima jika wanita itu melarikan diri setelah mendengar ungkapan cintanya.
Entah cara apa lagi yang harus Dhika lakukan agar wanita itu mau berada di sisinya, menculik dan mengurungnya, begitu?
Tidak mungkin, dirinya tidak setega itu pada wanita yang terlanjur dia sayang. Dhika ingin memulai semuanya dengan cara baik-baik, cara normal yang dilakukan banyak orang.
Berkenalan – berteman – berpasangan.
Begitu alur yang diaturnya dengan sempurna.
Tapi sayangnya, alur itu masih jauh untuk diselesaikannya. Wanita itu bergeming dalam kebisuan dan tidak menjawab pernyataan cintanya sama sekali. Tidak mengiyakan ajakan tulusnya untuk memulai sebuah hubungan dan memiliki masa depan bersama.
Wanita itu… menolaknya lagi.
***
Nas terdiam di antara kerumunan penonton, kedua lengannya memeluk perut dengan posesif, mencoba menghalau dingin yang menyerbu malam ini. Walau begitu, hembusan angin dingin itu cukup mampu menyegarkan pikirannya yang sempat kusut masai dan kalut akibat obrolannya bersama Dhika beberapa saat yang lalu.
Pria itu mengajaknya untuk memulai proses berkenalan yang memiliki tujuan untuk melaju ke jenjang pernikahan. Dhika tidak mempermasalahkan pengakuannya sama sekali, dan justru mengatakan kalimat-kalimat penghiburan baginya. Bahwa Nas bukanlah satu-satunya manusia dengan masa lalu buruk, bahwa yang terpenting untuk saat ini adalah belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Mungkinkah ada kesempatan kedua baginya?
Kalaupun Nas bisa memberi kesempatan kedua untuk sebuah hubungan yang baru, maka itu semata-mata dia lakukan untuk menenangkan perasaan Abah dan Ambu.
Tapi… benarkah?
Nas memutar kenangan selama mengenal Dhika, ternyata kenangan tersebut mampu mengoreksi tujuan dari kesempatan keduanya. Dalam kenangan itu, Dhika terlihat sangat menarik, memiliki banyak faktor plus dan yang paling utama adalah kejujurannya dalam mengungkap tujuan pribadinya kepada Nas.
Dhika telah datang ke rumah dan dengan baik-baik pria itu mengatakan pada Abah secara langsung tentang rencananya menikahi Nas dan keinginannya untuk memperkenalkan kedua keluarga mereka.
Dhika mengajaknya menikah dan bukan berpacaran. Lelaki itu bahkan menawarkan proses berkenalan yang tujuan utamanya adalah pernikahan jika Nas belum merasa yakin padanya. Bahkan bersedia menambah masa penantiannya jika Nas belum siap juga. Kesungguhan dan keseriusannya itu mampu meluluhkan hati Nas yang terlanjur keras.
Sebenarnya, hati Nas sudah merasa tertarik pada Dhika sejak lama, tapi dirinya tidak berani membayangkan segala kemungkinan tentang mereka terlalu jauh. Dhika layaknya air di tengah ladang yang kering. Menyegarkan dan menyuburkan perasaanya yang kering. Kenyataan itu membuat Nas menyadari bahwa kesempatan kedua ini bukan hanya untuk Ambu dan Abah saja, tetapi juga untuk dirinya.
Entah kenapa, kini dirinya merasa seyakin itu pada Dhika, apa wudu dan salat mampu meredakan ketakutannya pada sebuah komitmen, mampu meluluhkan hatinya yang tertutup pintu baja nan keras dan kokoh?
“Saya bilang tunggu di depan pintu, kenapa kamu tidak menurut!” Tegur Dhika sesampainya di samping Nas. Nafas pria itu tersengal-sengal akibat berlari menaiki undakan dengan begitu cepat.
“Mas?” sahut Nas yang terkejut dengan kehadiran Dhika yang tiba-tiba.
“Saya khawatir kamu pergi…”
Pergi?
Nas tertegun mendengar jawaban Dhika, sepenting itukah dirinya bagi Dhika sampai khawatir kalau dirinya memutuskan untuk pergi tanpa kata?
Tempat yang mereka duduki sudah penuh terisi oleh banyak orang dan mereka berada di tengah-tengah barisan. Dhika menarik pundak Nas untuk duduk merapat padanya ketika melihat seorang pria muda sedang duduk di sebelah kanan Nas dengan sangat rapat. Dan pada saat itulah Dhika menyadari kalau kedua lengan Nas sedang memeluk tubuh mungilnya dengan erat karena suhu dingin yang menerpa.
Dhika mengernyit tidak suka, lalu mengeluarkan ponsel dan berbicara pada seseorang di sebarang sana. “Sekarang!” perintanya, entah pada siapa dan tentang apa.
Perhatian pria itu kembali pada Nas, matanya menatap tajam, menuntut penjelasan. Sementara lengan kanannya merangkul Nas dengan posesif dan mengabaikan reaksi Nas yang terkejut hingga tubuhnya berjengit saat menerima rangkulannya yang erat.
“Tadi saya tunggu Mas di depan pintu, tapi di sana ramai sekali dan saya khawatir menghalangi jalan orang yang mau masuk, jadi lebih baik saya duluan kesini. Maaf ya…” Jelas Nas sedikit terbata. Nas mencoba menggerakan pundaknya, meminta Dhika melepaskannya. Wajahnya bahkan terlihat sedikit panik karena itu.
“Kamu tidak bawa hape?”
“Mas menelepon?” Nas mengeluarkan ponselnya dan mengecek beberapa panggilan Dhika yang tidak terangkat. “Maaf, saya engga tahu Mas menelepon.”
“Ya, sudah. Tidak apa-apa, yang penting kamu baik-baik saja. Jangan diulangi ya!”
Nas mengangguk, lalu menggerak-gerakan pundaknya semakin kencang, “Mas tolong dilepas...”
Dhika menoleh ke samping kirinya dan mendapati seorang wanita duduk disana. “Boleh tapi kita tukeran tempat duduk.”
Tanpa berpikir dua kali, Nas langsung bangkit dari duduknya dan mereka berdua pun bertukar tempat duduk saat itu juga, “Lebih aman begini.” ujar Dhika.
Dhika seolah teringat sesuatu saat matanya menangkap sebuah area penonton yang kosong, “Apa kamu mau pindah ke tempat VIP?” tanya Dhika sambil menunjuk sebuah ruangan yang beratap dengan dinding terbuka, dan terdapat barisan tempat duduk di sana. Tapi tempat itu kosong dan tidak ditempati. “Di sana lebih nyaman dan aman.”
“Tempat VIP? Jangan deh, nanti ada big boss. Saya malu…”
“Kenapa malu?” Kali ini Dhika yang berjengit mendengar Nas.
“Ya, itu ‘kan tempat VIP, masa kita yang udah dapat jatah nonton gratis, mau ngelunjak nempatin wilayah privasi beliau.”
“Jadi nggak mau?” tanya Dhika sekali lagi.
“Enggak, di sini saja. Enak rame-rame, hehe”
“Pak…”
Dhika dan Nas menoleh serempak pada panggilan Pak Lek itu. Dhika berdiri, lalu menyambut barang-barang pemberian Pak Lek dengan kedua tangannya. Sebuah keranjang rotan yang ditutup kain putih, lalu setumpuk kain rajut yang tebal.
“Terimakasih, Pak Lek.”
Pak Lek mengangguk, kemudian berlalu tanpa kata.
Dhika menyimpan Keranjang rotan itu di atas rumput di dekat kakinya. Lalu meletakkan tumpukan kain rajut di atas pangkuan ketika duduk kembali. Dari tumpukan kain itu, Dhika menarik salah satu yang berwarna putih, lalu memasangkannya di pundak Nas.
Sebuah sweater rajut cantik dan terbuat dari benang wool yang berkualitas tinggi hingga dapat terasa kelembutannya saat disentuh. Jaket itu disampirkan dipundak Nas dan wanita itu menerimanya dengan senang hati. Dengan bantuan Dhika yang telaten, Nas berhasil mengenakan sweater rajut itu dengan sempurna. Sebuah sweater putih yang ternyata memiliki ukuran yang sangat pas dengan tubuh Nas.
Kehangatan mulai menyapa tubuhnya yang sudah hampir beku kedinginan. Malam sudah di depan mata, kabut-kabut sudah mulai turun di sekitarnya. Dinginnya malam di pegunungan dan alam terbuka akan menumbangkan siapapun yang tidak terbiasa hidup dengan suhu pengunungan. Bagi Nas dan Dhika yang terbiasa tinggal di daerah perkotaan yang panas, menggunakan pakaian berkain tipis di sana sama saja dengan mencari penyakit!
Belum cukup sweater rajut tebal itu, Dhika mengeluarkan topi rajut tipis yang kemudian dia pakaikan di kepala Nas dan juga sebuah syal yang dia lilitkan di leher Nas.
“Terimakasih…” bisik Nas
Dhika mengangguk.
“Seharusnya saya juga mengucapkan terimakasih pada Pak Lek, tapi beliau keburu pergi.”
“Lain kali saja.” jawab Dhika sambil menyampirkan sebuah selimut rajut tebal berwarna hitam ke pundak Nas. Selimut itu cukup besar untuk melilit di tubuh Nas yang kecil. Bahkan mungkin cukup untuk menampung dua orang di dalamnya.
Nas mendesah lega merasakan kehangatan yang sangat nyaman itu. Sebuah asap putih keluar dari mulutnya ketika mendesah, menandakan dinginnya malam ini tidaklah main-main. Dirinya lalu memperhatikan Dhika yang sedang memakai jaket dan topi rajutnya yang berwarna hitam pekat.
“Sudah lebih hangat?” senyuman pertama Dhika setelah percakapan berat tadi sore.
Nas membalas senyumannya dan mengangguk kecil.
Musik jazz yang mengalun, udara malam yang dingin dan perhatian Dhika yang sangat intens memiliki kesan tersendiri dihati Nas. Rasanya ia tidak ingin malam ini berlalu begitu saja. Dirinya pasti akan mengenang malam ini selamanya.
Ternyata hatinya tidaklah sekokoh itu, diberi kebaikan dan perhatian sebegininya mampu membuatnya luluh semudah itu.
Suasana romantis ini mengaburkan segala kewaspadaanya dan membiarkan Dhika mengatur segala sesuatu untuknya. Termasuk makanan yang terlihat dari keranjang rotan yang kain penutupnya sudah dibuka oleh Dhika. Didalamnya ada roti lapis yang dikemas dengan foil sehingga ketika foil itu dibuka, maka roti itu pun masih menyimpan suhu hangat hasil dari proses memanggang yang dilakukan sebelumnya, tidak hanya itu, Nas juga menemukan keberadaan minuman teh dan kopi panas yang dikemas pada botol tumbler yang bertuliskan Tea dan Coffee pada masing-masing botolnya.
Mereka berdua makan roti lapis sambil menikmati musik jazz yang dimainkan oleh para musisi luar negeri yang tidak Nas ketahui namanya, tapi musiknya cukup asik juga, semua penonton menggerakan tubuhnya ke kanan dan kiri mengikuti irama. Bahkan mereka mengikuti nyanyian itu dengan lancar. Mungkin penyanyi itu cukup terkenal sampai-sampai semua orang hafal dengan lagunya.
“Lagunya enak ya, Mas. Ini kayaknya musisi terkenal ya?”
Dhika tersedak ketika mendengarnya, menoleh dan memelototi Nas yang memasang wajah tanpa dosa.
“Kamu tidak tahu mereka siapa?”
Nas menggeleng. Sementara Dhika membatin, lalu berkata, “Ya sudah, tidak apa-apa kalau tidak tahu.”
Dhika pasrah. Sudah keluar uang banyak tapi malah tidak berhasil membuat wanita ini terkesan. Sudahlah!
“Tapi saya pengen tahu, pengen denger lagunya lagi…”
“Mana hapenya?”
Nas memberikan ponselnya pada Dhika, dan membiarkan pria itu memakainya.
“Lagunya sudah ada di hapemu.” ujarnya beberapa saat kemudian sambil menyerahkan ponsel itu kembali pada pemiliknya.
Nas menatap dalam diam pada layar ponsel itu hingga lama kelamaan cahayanya padam. “Mas Dhika terbiasa seperti ini ya, dengan wanita-wanita sebelumnya, memberikan apapun tanpa perlu diminta?”
Dhika terkejut dengan pertanyaan yang tidak pernah diduganya keluar dari mulut Nas, “Itu yang disebut dengan cinta, Dek Nas.” jawab Dhika singkat. “Sudah, ayo dihabiskan makanannya. Jangan sampai sakit setelah nonton konser ini!”
***