Dhika menggandeng pergelangan tangan Nas, menuntun wanita itu menaiki undakan-undakan tanah yang dilapisi keping bebatuan alam yang terpasang dengan aestetik dan kokoh di permukaannya. Mereka menaiki tempat itu hingga berada cukup tinggi dan memilih untuk duduk ditengah barisan yang masih kosong.
“Tunggu di sini sebentar.” perintah Dhika, kemudian berbalik dan bergegas turun kembali.
Nas mengedarkan pandangan, memperhatikan tempat konser musik jazz itu dengan seksama. Tempat yang indah, dikelilingi hutan pinus dengan pepohonan yang tinggi, dan di seberang sana, Nas bisa melihat gunung yang berbeda dengan yang kini dipijaknya. Gunung-gunung yang sangat hijau dan tinggi.
Dari tempatnya duduk, Nas bisa memandangi langit dipenuhi awan tebal yang membumbung tinggi menghiasi langit luas yang masih sangat biru dan cerah. Ia menatap keindahan itu tanpa menengadahkan kepala sekalipun, menandakan bahwa posisinya cukup tinggi di atas permukaan tanah untuk melihat semuanya dengan lebih jelas.
Panggung konser terbuka terlihat di bagian pelataran yang besar dipenuhi kursi kayu yang berjajar, lalu diujungnya terdapat panggung pendek yang berada di bawah naungan seni instalasi kayu yang menawan dan besar sebagai latar pemandangan yang sangat sedap dipandang.
Alat musik dan sound system sudah terpasang rapi dan berpencar-pencar. Drum dan berbagai jenis peralatan diletakkan diatas panggung pendek, sementara mikrofon, gitar dan lainnya diletakkan di atas pelataran berumput hijau yang ada.
Ini pertama kalinya Nas menonton konser, jadi ia baru tahu jika ada konser yang sebegini indahnya. Dulu, bayangan Nas tentang konser adalah selalu terhubung dengan kericuhan dan berdiri bersesak-desakan. Tapi konser Jazz di atas pelataran sebuah gunung ternyata cukup menarik untuk dinikmati juga.
Udara dingin khas pegunungan menyapanya, membuat Nas memeluk dirinya sendiri secara posesif.
Seharusnya tadi dia membawa jaket!
Saat sedang asik menelusuri keadaan sekitar yang mulai ramai dipenuhi penonton yang berpencar dan memilih tempat duduk sesuai tiket yang dipunya, sebuah tangan terulur di depannya, menyodorkan gelas bening berisi cairan berwarna coklat terang nan jernih.
“Teh manis hangat.”
Nas menerima teh manis hangat itu dan menghirup aromanya. Wanita itu tersenyum senang, ternyata aroma teh akan jauh lebih wangi jika dihirup disuhu dingin seperti ini.
“Terimakasih, Mas.” ujar Nas setelah selesai mencicipi kemanisan yang pas dari gelas teh nya.
Dhika duduk di samping Nas, agak berjarak sedikit sehingga bisa meletakkan gelas kopi hitam di antara jarak yang dia ciptakan dengan Nas. Pria itu menjawab Nas dengan anggukan, lalu mengeluarkan ponsel untuk mengambil beberapa view pemandangan yang tersaji di depan matanya.
“Pantas saja biaya pengadaannya mahal sekali, indah begini!” Gumam Dhika tanpa sadar.
“Ya?” sahut Nas pada gumaman samar itu, dirinya mengira Dhika telah mengatakan sesuatu padanya.
“Oh, tidak, Dek... itu, indah sekali ya pemandangannya.” dagu Dhika terangkat, menunjuk pada pemandangan di depan sana.
“Indah banget! pasti mahal ya, tiket masuknya? Nanti saya ganti uangnya ya, Mas…”
“Enggak kok, Enggak perlu ganti, tiket kita gratis!”
“Kok, bisa?”
“Iya, itu Pak Lek ‘kan kenal dengan polisinya, jadi gratis!”
Nas tercenung pada informasi yang didapatnya, lalu tiba-tiba dirinya merasa tidak enak karena bisa menikmati semua fasilitas ini walau tanpa usaha sedikitpun, hanya karena teman dari temannya itu “mengenal” pihak berwajib.
“Lagipula acara ini diselenggarakan oleh kenalan Pak Lek, jadi Pak Lek dapat jatah undangan yang bebas dia bagikan kepada siapa saja, oleh karena itu kita bisa menikmati konser ini secara gratis!” Jelas Dhika, pria itu memiliki kebiasaan menjelaskan segala sesuatunya tanpa perlu dirinya bertanya.
Mungkin segala perasaan dan pertentangan batinnya telah terpancar dengan jelas pada ekspresi wajahnya, sehingga membuat Dhika dengan mudah menjawab segala tanya yang ada dibenaknya.
Nas menerima penjelasan Dhika itu dan tidak ingin bertanya lebih jauh tentang barter keuntungan antara Pak Lek, Pihak Berwajib maupun kenalannya itu lebih jauh. Itu bukan urusannya dan lebih baik dia tidak tahu apa-apa tentang urusan dengan pihak berwajib.
“Kenapa Mas itu menahan orang yang akan naik kemari ya, Mas Dhika?” Tunjuk Nas pada seorang pria muda berjaket kulit hitam dan duduk di ujung undakan yang berada tepat di bawah mereka. Pria itu selalu mencegah orang yang hendak melangkah ke undakan yang berada di atas dan langsung mengarahkan mereka agar duduk dibawah atau dibarisannya.
“Mungkin dia petugas panitia yang mengatur tempat duduk agar di bagian depan terisi penuh terlebih dahulu, baru kemudian bagian belakang.”
“Loh, kok tadi dia tidak mencegah kita, Mas?”
“Mas itu juga kenalan Pak Lek jadi dia tidak akan mencegah kita…”
Nas mengangguk-angguk tanpa kecurigaan sama sekali pada penjelasan Dhika, lalu memutar pandangannya ke sekeliling. Para penonton sudah mulai memenuhi arena undakan bawah, sedangkan tempat Nas duduk masih sepi pengunjung.
“Jam berapa mulainya?”
“Seharusnya sebentar lagi, katanya acara ini biasa dimulai sejak siang, tapi khusus hari ini, acara dimulai sejak jam lima-an.”
“Kenapa hari ini pengecualian?” Tanya Nas penasaran.
Dhika menoleh dengan cepat, lalu pandangannya seolah menerawang jauh pada sesuatu yang tidak Nas ketahui apa itu. “Inilah resiko orang yang berbohong untuk menyembunyikan banyak hal, repot!” Batinnya.
“Jadi sebenarnya, ada seorang pria… hmn yang kaya raya, yang uangnya bertumpuk-tumpuk tidak terpakai... haha, enggak deh, ini berlebihan!” Dhika tertawa sendiri, sementara kedua alis Nas terangkat tinggi. Melihat reaksi Nas itu membuat Dhika berdeham untuk mengendalikan diri, “Maksud saya, Yah… pokoknya ada pria yang ingin memperbaiki hubungan masa lalunya dan memikat wanitanya kembali, makanya dia mengadakan event khusus ini, sampai-sampai mendatangkan penyanyi jazz dari luar negeri secara dadakan!” Akhirnya Dhika memutuskan untuk membuka sebagian dari kenyataan yang ada, daripada harus membuat cerita yang akan membuatnya terlihat blunder dan tidak konsisten di depan wanita ini.
“Wow! Niat sekali pria kaya itu!” sahut Nas, “Mas Dhika tahu dari mana informasi ini?”
“Dari Pak Lek.”
“Pak Lek hebat ya, bisa tahu informasi sedetail ini…”
“Iya lah, ‘kan ini acara untuk Bos nya…”
“Bos Pak Lek? Berarti Bos nya Mas Dhika juga ya? Jangan bilang…” Nas benar-benar dipenuhi keterkejutan dan menatap Dhika penuh penasaran. “Salah satu Big Boss Atmajaya ada di sini?”
Dhika tersenyum puas mendengar kesimpulan yang ia dengar.
“Di suatu tempat, di antara tempat duduk yang ada…” Dhika mengedarkan tatapannya ke sekitar, seolah benar-benar sedang mencari Big Boss nya.
“Pantas saja Pak Lek dapat jatah kursi gratis untuk kita, ternyata ini acara bos besar, jadi saya tidak perlu merasa bersalah karena masuk tanpa mengantri dan tanpa tiket. ya! Syukurlah!” ujar Nas bersemangat dan menggebu-gebu.
Dhika menoleh tak habis pikir, wanita ini justru menghebohkan tiket gratis daripada menghebohkan seorang big boss yang mungkin ada di sekitar mereka. Kalau orang lain, mungkin sudah mempertanyakan di mana posisi big boss berada dan segera meluncur kesana untuk mencari muka.
“Dek Nas, kalau ketemu Big boss mau ngomong apa?” tanya Dhika tiba-tiba penasaran.
“Hah? Salam kenal, mungkin? Hehe,” jawab Nas asal. “Atau, bos naik gajih, bos! Hehe.”
Dhika menatap Nas dengan geli, senyumnya muncul tertahan, “Gimana kalau Bos bilang, baiklah gadis manis, berapa banyak yang kau mau?”
“Kalau Bos bisa bikin acara begini untuk urusan pribadinya, pasti dia banyak uang banget ya, jadi saya jawab saja, tiga kali lipat Bos! Hehe.” jawab Nas sambil bergaya hormat pada Big Boss yang ada di imajinasinya.
Dhika tertawa begitu keras sampai-sampai membuat orang yang ada di sekitar menoleh pada mereka.
Nas melihatnya sambil tak habis fikir. Perasaan, dia hanya bercanda kecil saja, kenapa Dhika tertawa sepuas itu, ya?
“Mas dilihat banyak orang…” bisik Nas menegur Dhika.
Pria itu menepuk puncak kepala Nas dengan perlahan, “Sepuluh kali lipat pun akan kuberikan.” ujarnya.
“Ya, apa?”
“Jawab Bos besar, haha!”
Nas ikut tertawa keras bersama Dhika, “Sudah, Mas, Sudah halu nya, nanti saya halu beneran pingin naik gajih sepuluh kali lipat, ‘kan bahaya! Siapa yang mau merealisasikan kehaluan itu!”
Dhika terdiam, memandang wanita di depannya dengan penuh arti dan menggeleng kecil pada pemikiran yang ada di kepalanya.
Wanita ini tidak tahu saja, jika naik gajih sepuluh kali lipat semudah menjentikan jari jika itu dilakukan untuknya!
“Ya sudah. Mari kita bahas hal-hal yang tidak halu saja, Dek…”
“Contohnya?”
“Seperti… usia saya yang sudah tiga puluh tiga tahun…”
Nas menyeruput teh sambil menunggu Dhika melanjutkan kalimatnya, tetapi lelaki itu tidak juga melanjutkan dan malah ikut menyeruput kopinya.
“Kenapa dengan usia Mas?”
“Sudah tiga puluh tiga, dan sebentar lagi tiga puluh empat…” Pria itu terdiam, menunggu respon Nas, tapi justru Nas tidak terlihat berniat merespon apapun. “Walau begitu, saya mampu menyesuaikan diri dengan Dek Nas yang lebih muda dari saya. Kita bisa menertawakan hal-hal kecil bersama seperti barusan, dan kita bisa cocok mengobrol membahas apa pun. Dan yang terpenting adalah… Saya masih single, belum pernah menikah dan belum pernah membesarkan anak!”
Mengapa pembicaraan ini terasa tidak asing di telinga Nas…
Anak, belum menikah, usia di atas tiga puluh tahun, penyesuaian…
Apa Dhika mendengar percakapannya dengan Bude Sus saat itu?
Nas menoleh, rautnya sungguh menunjukkan perasaan tidak enak yang menjajah hatinya, “Mas Dhika…?”
“Ya, Saya mendengarnya. Dan… karena itulah saya mencoba menghindari Dek Nas sebelumnya...”
“Kenapa?”
“Karena saya tidak percaya diri…”
Terkadang Nas tidak tahu bagaimana cara bereaksi dengan baik pada setiap kejujuran dan fakta yang sering Dhika ungkapkan secara random. Seperti saat ini, pria itu mengungkapkan rasa tidak percaya dirinya akibat mendengar percakapan mengenai usia pria yang menjadi syarat yang Nas minta pada Bude Sus. Sebenarnya saat itu Nas mengucapkan syarat itu secara asal saja, demi membungkan mulut Bude Sus yang bersikeras menjodohkannya dengan duda anak satu yang berusia 38 tahun. Calon yang bahkan enggan Ambu dengarkan seluk beluknya.
“Lalu, apa yang membuat rasa percaya diri itu bangkit kembali?”
Berhari-hari belakangan Dhika sangat giat berkunjung ke rumah. Hampir setiap hari dia mengantar Nas pulang kerja, hampir setiap malam Abah mengajaknya berjamaah, dan setiap kali Ambu ingin melihatnya, maka Dhika akan hadir tanpa peduli hujan ataupun badai yang sedang bertahta. Dan bahkan tadi pagi, Dhika dengan gamblang menjelaskan agenda pribadinya pada Abah untuk meminang dirinya. Jadi, sudah bisa dipastikan jika rasa percaya diri pria ini sudah kembali, bukan?
Dhika menghela nafas, meluruskan kedua tangan ke belakang punggung dan menyanggah tubuh dengan telapak tangannya di atas lempengan batu alam, sementara kakinya menjulur ke depan dan menyilang, sedangkan kepalanya mendongak pada langit yang birunya mulai menggelap.
“Karena kata Ambu, saya tampan!” Dhika menertawakan jawabannya sendiri. “Biasanya selera ibu dan anak gadisnya tidak jauh beda, ‘kan?” Dhika menoleh pada Nas yang menatapnya sambil menganga tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Juga saya tidak neko-neko, kata Abah. Dan biasanya, pendapat Ayah dan Anak sering beriringan.”
“Terus, apa kata Teh Arina?”
“Bahwa adiknya tidak akan mungkin mau bersama duda beranak satu yang bercerai dengan skandal perselingkuhan?”
“Teh Arina bilang begitu?”
“Kata Teh Arina, mantan istri cowo itu adalah salah satu kenalannya.”
“Kalian sangat rumpi sekali ya di belakang saya…”
“Itu bukan rumpi, manis. Itu namanya mengobrol…” goda Dhika.
Dhika terlihat sangat santai dan mood sore ini terasa sangat ringan, ditambah lokasi dan situasi di tempat konser yang membuat nuansa nyaman dan romantis di saat bersamaan. Semua kondisi berhasil melenakannya, membuat Dhika berani menggombal dan menyebut Nas dengan sebutan manis seperti barusan.
Nas mengernyit mendengar panggilan itu, merasa malu hingga pipinya terasa panas, “Apaan sih, Mas!”
“Ya sudah, saya ganti pahit, mau?”
“Jangan dong!”
Perhatian Nas teralihkan ketika seorang pembawa acara mulai melakukan opening di bawah sana, laki-laki yang memperkenalkan diri sebagai Sony itu mengatakan bahwa Acara Jazz yang dilakukan secara mendadak dengan persiapan singkat ini disponsori oleh Keluarga Atmajaya.
“WOOOOO!!! Atmajayaaaaaa!” suara teriakan keras nan membahana beberapa orang sekaligus terdengar dari kejauhan, suara yang sangat Nas kenal, saat mencari-cari asal suara, ternyata ia menemukan Ibu Santi, Renita dan yang lainnya di kursi kayu terdepan.
“Mereka semua diundang dan dapat akses yang sama seperti kita barusan.” Jelas Dhika.
“Saya jadi makin kagum dengan Big Boss, bisa-bisanya beliau bikin acara pribadi untuk merebut hati kekasihnya, tapi sekaligus bisa mengundang anak buahnya, sekaligus jualan tiket konser seperti ini. Otak bisnisnya lancar jaya seperti namanya Amatjaya, hihi!”
“Atmajaya!” koreksi Dhika pada guyonan Nas, wanita itu menjawabnya dengan mengangkat bahu, dan kembali memperhatikan teman-temannya di depan sana, “Strategi bisnis dan strategi percintaan yang imbang, saya juga kagum padanya!” Sambung pria itu.
“Gimana kalau kita bergabung dengan teman-teman di bawah?” Ajak Nas antusias dengan idenya.
“Tapi percakapan kita belum selesai, Dek!” Protes Dhika.
Nas menoleh, memperhatikan pria yang keningnya sedang mengkerut dalam, “Tentang usia itu?”
Dhika mengangguk kecil.
“Sebenarnya saat itu saya mengatakannya agar Bude Sus berhenti menjodohkan saya dengan calon yang beliau tawarkan. Asal perbedaan usianya tidak terlalu jauh, saya tidak masalah. Tapi jika Mas ingin menyambungkan hal ini dengan obrolan Mas dan Abah tadi pagi…”
“Adek mendengarnya?” potong Dhika.
Nas tersenyum kikuk, ketahuan menguping adalah hal yang sangat memalukan.
“Tidak sengaja. Saat itu saya sedang bersiap-siap di ruang tamu…”
“Tidak apa-apa, saya memang berniat mengatakan hal itu padamu sekarang. Jadi?”
“Jadi, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Mas Dhika kalau saya belum bisa menerima tawaran Mas Dhika itu. Walaupun usia saya sudah 27 tahun, tapi saya belum siap untuk menikah, saya belum bisa, belum merasa yakin.”
“Dek Nas, tidak pernah ada orang yang benar-benar siap untuk urusan yang satu ini, pasti terbersit sedikit keraguan dalam diri mereka. Jadi berapa pun usia kita, masih muda atau sudah tua, pasti akan melalui keraguan pada kesiapan untuk melangkah ke jenjang pernikahan…”
“Saya takut, Mas.” Wanita itu menunduk, memperhatikan jari jemarinya yang saling terjalin.
“Bagaimana jika kita hadapi ketakutan itu bersama?”
Nas mengangkat kepalanya dan bertemu pandang dengan Dhika, keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing dan terjebak pada pesonanya tatapan yang saling mengikat erat itu. Sang wanita bersikeras mencari tahu mengapa pria ini begitu tertarik padanya, sedangkan sang pria bersikeras memikirkan jalan untuk meyakinkan wanitanya.
Ketika melihat Nas menggeleng dan hendak menjawab, kekhawatiran Dhika memuncak hingga membuatnya menghentikan Nas dengan cepat.
“Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dahulu?” dengan sedikit gugup Dhika melanjutkan, “Kita bisa melakukan proses berkenalan secara lebih dekat, lebih dalam. Proses pendekatan yang tujuan utamanya adalah pernikahan. Jika dalam waktu satu atau dua bulan kamu belum bisa membuka hati untuk saya, maka saya akan memperpanjang masa penantian saya…” Dhika menjelaskan dengan buru-buru hingga nafasnya sedikit tersengal. “Saya… tidak keberatan”.
“Kenapa kamu bersedia melakukannya? Mungkin penantian itu akan panjang…”
“Karena saya sudah menunggumu selama lebih dari empat tahun, 1-2 bulan tambahan bukanlah apa-apa!” Jerit hati Dhika. Sayangnya, dia belum bisa membuka kenyataan itu di depan wanitanya, jika ia nekat melakukannya, mungkin wanita ini akan kabur dari hadapannya secara kalang kabut pada detik itu juga.
“Karena saya jatuh cinta…” jawab Dhika pada akhirnya.
“Jatuh cinta?” Tenggorokan Nas tercekat, ia mencicit seperti burung yang terjepit. Wajahnya menampakkan kengerian yang menggambarkan isi hatinya.
“Tapi saya tidak akan memaksa, jadi Dek Nas tidak perlu khawatir. Saya hanya ingin mengatakan perasaan saya saja.” entah kenapa, membicarakan perasaan pada wanita ini seperti membicarakan kematian. Kamu seperti ditawarkan dua pintu, yaitu pintu surga ataupun pintu neraka. Tinggal tunggu keputusan yang akan dibuatnya, maka kamu akan tahu pintu mana yang akan kamu buka. Dan itu benar-benar menakutkan. Sudah cukup empat tahun ini ia terjebak oleh neraka hasil perbuatannya sendiri!
“Apa yang membuat Mas jatuh cinta pada saya?”
Dhika mengingat-ngingat bagaimana cara para pria diluaran sana menggombal dan meluluhkan hati wanita.
Sial! Dia memang miskin pengalaman dalam urusan merayu wanita begini!
“Kamu manis, apalagi senyummu…” Dhika mencoba peruntungannya.
“Ini hanya cangkang, Mas tidak tahu saya yang sebenarnya!!!” potong Nas cepat. Nadanya menegur keras.
“Saya tahu, saya sangat tahu!!!” Dhika membatin pada kenyataan betapa dia mengenal hampir sebagian besar diri wanita ini, sayangnya wanita ini melupakannya sama sekali.
Mata Nas berkaca-kaca, ia membuang muka dan menatap lurus ke depan dengan ekspresi keras yang menunjukkan keteguhan hati. “Fisik ini hanyalah cangkang, yang kemudian akan menua dan luntur semua pesonanya…” terselip emosi yang kentara dalam nada wanita itu. Seolah tidak terima telah dipuji keindahan rupanya.
“Kamu benar, oleh karena itu, jatuh cinta tidak memerlukan alasan. Fisik dan karakter hanyalah salah satu bahan bakar yang akan membesarkan api cinta itu.” Jelas Dhika. “Jadi ketika Kamu bertanya mengapa saya jatuh cinta, saya tidak tahu mengapa yang muncul dalam kepala saya hanyalah senyum bahagia kamu yang menentramkan hati saya dan kebaikan-kebaikanmu yang selama ini menolong saya.” tutur Dhika.
“Saya bukan wanita baik yang ada dipikiran Mas Dhika. Jadi saya mohon…”
“Kamu wanita baik, tidak ada yang bisa merubah penilaian saya!” Sergah Dhika tak kalah bersikeras.
“Saya wanita kotor, Mas!” Nada suara Nas meninggi, matanya menghujam Dhika dan berkaca-kaca, sekuat tenaga membendung derasnya air bah yang akan mengalir dari matanya.
“Bagaimana caranya untuk mengubah penilaianmu itu, sayang…” Dhika memandang Nas putus asa.
“Mas Dhika pria baik-baik, jadi tidak pantas untuk wanita dengan masa lalu buruk seperti saya!”
“Saya juga pria dengan masa lalu yang buruk, tapi saya belajar berubah menjadi lebih baik hingga Dhika yang kamu temui sekarang adalah Dhika yang berbeda dengan yang kamu temui di masa lalu…” Dhika terdengar emosional, ia bahkan menarik kedua pundak Nas hingga menghadap padanya, memaksa Nas untuk mendengar kesungguhannya. “Kamu bukan satu-satunya manusia di dunia ini dengan masa lalu yang buruk, Saya juga, dulu saya bukan pria yang baik, jadi kenapa kita tidak mencobanya?! Mencoba untuk memiliki masa depan bersama dan menjadi baik untuk satu sama lain?”
***