4. NAS! - Dangerous Man

2309 Kata
Pertama kalinya sepanjang hidup, Dhika merasakan betapa sulit menahan otot wajahnya untuk tidak membentuk seulas senyum kecil yang kini sudah terkembang malu-malu. Tapi biarlah, toh wanita yang membuatnya merona itu tengah sibuk menoleh ke sana kemari demi menghilangkan rasa canggung yang menyelimuti. “Dhika sudah berapa lama di kantor?” tanya Bu Santi yang tidak menyadari kecanggungan di antara Nas dan Dhika. Sejak tadi wanita itu fokus membalas pesan-pesan yang menumpuk di ponselnya karena belum sempat ia balas sepanjang hari yang sibuk. “Satu bulan, Bu” Pria itu memasang kembali kacamata yang tadi sempat dia lepas. Diam-diam, Nas menghembuskan nafas lega. “Baguslah, sekarang tidak perlu terkecoh oleh mata itu lagi!” keluh Nas dalam hati “Gimana di kantor, betah ‘kan? Ya selain karena gangguan dari Ardi...” “Lumayan betah, Bu, mungkin karena masih baru jadi harus menyesuaikan diri dengan yang lainnya.” “Betul juga, lama-kelamaan pasti terbiasa dengan lingkungan kantor yang baru. Oh iya kalau boleh tahu, Sebelumnya Dhika kerja dimana…” Bu Santi meletakkan ponsel di atas meja dan mulai menatap Dhika, tertarik menanti jawaban. Dhika terdiam sebentar, matanya berkedip dan pemandangan itu tertangkap oleh Bu Santi yang Jeli. Mungkin pria itu enggan membahas masa lalu, jadi lebih baik Bu Santi mengganti topik. “Dulu saya ditugaskan di Atmajaya Construction, Bu.” Jawab Dhika tiba-tiba, menggagalkan rencana Bu Santi untuk mengganti topik. “Atmajaya Construction? Maksudmu Engineering, Procurement and Construction nya Atmajaya yang itu?” Bu Santi terlihat kaget dan antusias disaat bersamaan, Nas yang tidak paham dengan apa yang terjadi dengan Atmajaya Construction memandang Bu Santi dan Dhika bergantian. Jika Bu Santi sampai sekaget ini, berarti ada sesuatu yang benar-benar mengagumkan di Perusahaan itu. Dhika tersenyum lebar, memamerkan lesung pipi yang tidak Nas ketahui keberadaanya sebelum ini. “Iya, Atmajaya yang itu.” “Ampun deh, indah banget lesung pipinya!” Nas terlanjur kagum dan mulai memarahi dirinya sendiri. “Hentikan, Nas! Milikilah malu walau sedikit!” “O. M. G!” Bu Santi mulai kehilangan kata-kata.   “Kenapa, sih, Bu?”  Akhirnya Nas membuka mulut, sambil berusah payah menahan kepalanya agar tetap memandang Bu Santi. Satu-satunya upaya yang bisa dia lakukan untuk mengalihkan perhatian dari pria nerd yang entah kenapa sejak tadi selalu berhasil menarik perhatiannya. “Itu loh, Nas. Atmajaya yang jenius itu. Sudah terkenal desas-desusnya kalau Atmajaya Construction bisa besar seperti sekarang karena tangan dinginnya dalam mengelola perusahaan. Hebat banget sampai bisa membuat perusahaan itu menjadi salah satu perusahaan konstruksi terbesar di negeri ini!” Bu Santi menjelaskan dengan menggebu-gebu. Seperti pejuang kemerdekaan yang menjelaskan bagaimana mereka mengalahkan tentara musuh dengan pengorbanan darah dan keringat. Nas mengangguk-angguk, “Big boss Atmajaya emang sekeren itu sih...” Bu Santi memutar mata, “Bukan Big boss Atmajaya yang itu, Nas!” “Loh, emang ada berapa Big boss Atmajaya di dunia ini?” “Ada 4, Big boss Atmajaya senior dan 3 Atmajaya juniorr. Nah yang megang perusahaan konstruksi itu anak pertamanya, saya lupa namanya, yang jelas semua anak Big boss itu namanya Atmajaya” Nas mengelus dagunya dan tersenyum sok tahu, “Klasik banget ya...” komentar Nas berkaitan dengan penamaan anak-anak Big boss. “Iya ‘lah, harus, biar sekali sebut, orang-orang langsung ngasih jalan kepada Yang Mulia Atmajaya...” seloroh Bu Santi. “Nanti kalau aku punya anak, aku gak mau deh ngasih nama bapaknya.” Nas mulai melantur. “Loh kenapa, bukannya biar enak ya, bisa langsung ketahuan anaknya siapa?” “Repot aja, Bu. Contohnya anak-anak Big Boss kita, pasti nanti pas ijab qabul bakal jadi Atmajaya binti Atmajaya, atau Atmajaya bin Atmajaya, ‘kan bingung siapa yang nikah, bapaknya, anaknya atau kakeknya. Ya ‘kan?” “Ya, engga gitu juga dong, Nas. Mereka pasti punya lebih dari satu nama. Kamu nih, ada-ada aja!” Nas memamerkan senyum jahil dan mulai menggigit daging bebek goreng yang baru saja mendarat di meja makan mereka. Aroma bebek goreng menguar di udara, gurih dan lezat, dicocol ke sambal tomat mentah yang segar dan pedas, ditemani nasi yang masih panas. Obrolan tentang Atmajaya tidak lebih menarik daripada apa yang tersaji di atas piringnya. “Kalau kamu bisa lolos seleksi dan kerja di Atmajaya Construction, kenapa mau pindah ke F&B, kabarnya disana lebih oke “segala sesuatunya”?” rupanya Bu Santi belum selesai, rasa penasaran sudah terlanjur bercokol di ubun-ubun karena konon katanya, tidak mudah untuk bisa lolos tahap seleksi kerja di Atmajaya Construction. Kabar ini tersebar ke seantero negeri dan siapapun yang bisa bekerja di sana hanyalah orang-orang terpilih saja. “Saya tidak punya pilihan, Kata mereka F&B butuh orang sementara untuk menggantikan pegawai yang cuti hamil dan melahirkan selama 3 bulan. Jadi, daripada merekrut karyawan baru, mereka memindahkan saya kesini.” Sebuah pengertian yang sama merasuk ke dalam benak Nas dan Bu Santi, “Kalau begitu kenyataanya, kenapa kamu tidak menjelaskan pada semua orang?” “Tidak ada yang bertanya, jadi tidak mungkin saya jelaskan, Bu.” “Tapi pihak HR tahu tentang hal ini, ‘kan?” “Mereka tahu, tapi saya minta untuk tidak repot-repot menjelaskan pada yang lain. Toh saya hanya tiga bulan disini.” Nas tidak setuju mendengar kalimat bernada negatif milik Dhika, “Tiga bulan mu penting loh untuk kami, tenagamu menggantikan karyawan yang cuti benar-benar dibutuhkan oleh kami yang sedang di ujung tanduk. Jadi seharusnya kamu membuat dirimu nyaman di lingkungan perusahaan dengan menjelaskan tentang tujuan kedatanganmu pada pegawai yang lain, supaya tidak ada fitnah!” “Nas betul, Dhika. Supaya tidak ada fitnah, lebih baik kamu jelaskan saja pada mereka.” Dhika meminum teh nya dengan anggun lalu menyimpan cangkirnya kembali di atas meja. “Graceful banget nih lelaki!”  Nas menggerutu sebal karena telah terpesona oleh hal sekecil ‘drinking tea with grace and attitude!’ yang dilakukan Dhika.  “Saya akan mencobanya, terimakasih atas saran Ibu Santi dan Mbak Nas…” *** Mobil melaju membawa tiga orang itu membelah macetnya malam di kota ini. Sebagian besar jalanan dipenuhi oleh kendaraan yang mengangkut manusia yang baru pulang beraktivitas. Saling menyerobot, saling menikung adalah pemandangan biasa. Semua terburu-buru ingin sampai di rumah secepat mungkin, barangkali sedang ditunggu istri, anak atau setumpuk pekerjaan lainnya yang menanti untuk dijamah. Semua orang telah mengalami hari yang panjang, termasuk mereka bertiga yang terdiam menikmati alunan musik dan tidak ingin dipusingkan urusan rumah, berencana untuk istirahat sepuasnya malam ini dan kembali mengurus pekerjaanya esok pagi. Toh mereka sudah siap untuk proses audit yang akan dilakukan nanti. Mobil terhenti di lampu merah, pengamen bertebaran dimana-mana. Pedagang asongan menjajakan dagangannya. Sementara langit mulai menitikkan air sedikit demi sedikit hingga menderas, membuat siapapun yang ada diluar sana mulai berlarian mencari tempat berteduh untuk berlindung dari serbuan tetesan air yang tak kunjung reda. “Dhika di sana bagian keuangan juga?” Bu Santi memulai percakapan lagi. Topik tetang Atmajaya Construction sesekali diungkit tapi kemudian teredam dan terlupakan karena nikmatnya makanan yang telah mereka santap atau indahnya alunan musik. “Iya, saya dibagian keuangan juga, Bu.” “Pernah ketemu sama Big boss Atmajaya Pertama? gosipnya dia itu ganteng ya , Dhik?” Tawa kecil muncul dari mulut Dhika, “Itu tergantung selera orang yang melihatnya, Bu.” Tawa itu menulari Bu Santi, “Benar juga, tapi gosip hanyalah gosip, entah bagaimana kebenarannya.” “Ibu belum pernah melihatnya?” tanya Nas penasaran. “Pendiam, dingin, dan jarang muncul di depan banyak orang. Cuma orang jajaran tertinggi aja yang pernah masuk ke ruangannya, katanya ‘loh ya… katanya aja.” “Kayaknya Bu Santi ngefans berat ya, sama Atmajaya pertama?”  Nas memajukan tubuhnya untuk menatap wajah Bu Santi  dengan penasaran, “Inget sama doi mu, bu!” Goda Nas cekikikan. “Eh, Ya inget lah, masa lupa!” Bu Santi salah tingkah, dicap sebagai fans berat salah satu bos besar mereka cukup membuatnya malu, apalagi mengingat perbedaan usia Atmajaya pertama yang lebih muda darinya. “Saya nggak ngefans kok!” “Nggak ngefans tapi kok tahu semua gosipnya?” Nas mencolek lengan Bu Santi, semakin menggoda wanita yang sedang mengemudi itu. “Kamu lupa ya, kalau saya sudah bekerja dibawah naungan Atmajaya Group selama 10 tahun, cukup lama untuk mengenal banyak orang dan mendengar banyak gosip. Sepanjang 10 tahun saya kerja, belum pernah sekalipun saya lihat Atmajaya pertama muncul di berita, website perusahaan, koran, infotaimen...” “Hah, lagian ngapain coba big boss di infotaimen?” potong Nas sambil memutar matanya. “Having scandalous affair or plain relationship sama pemain sinetron kek, penyanyi dangdut kek, anyone ‘lah yang cakep-cakep ditivi, kan banyak tu konglomerat wara-wiri diinfotaiment gandengan tangan sama artis.” (memiliki hubungan skandal, atau hubungan biasa) “Dan dia gak pernah?” Nas memastikan, Bu Santi menggeleng, “Sama sekali?” “Sama sekali. Beda banget sama adik bungsunya, Atmajaya ketiga yang hobi muncul diinfotaiment, gonta ganti pacar artis.” “Serius?” Nas kaget dengan informasi yang baru didengarnya, “Anak big boss ada yang begitu?” Seingatnya, Atmajaya senior adalah pimpinan yang tidak hanya terkenal dengan kedermawanannya, tapi juga kebaikannya. Nas yang memiliki pandangan tradisional selalu meyakini jika buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Entah apa yang terjadi pada si anak bungsu itu, mungkin dia jatuh menggelinding dengan penuh semangat atau mungkin, semua berita diinfotaimen dilebih-lebihkan saja. Who knows? “Ada, Nas, si bungsu itu sudah seperti magnet yang berlawanan dengan kakak pertamanya. Makanya saya penasaran dengan si kakak, karena dia benar-benar jarang terlihat. Hanya kabarnya saja yang terdengar, itupun sekedar kabar mengenai pekerjaan…” “Maybe he has something to hide?” tiba-tiba suara Nas berubah rendah dan berlagak penuh misteri. (Mungkin dia punya sesuatu yang disembunyikan?) “Apa ‘tuh kira-kira?”  Bu Santi menoleh pada Nas. Yang dibalas Nas dengan menoleh pada Dhika, “Apa ‘tuh kira-kira?” Dhika terbatuk-batuk melihat dua wanita itu menoleh mendadak dengan serempak, menatapnya intens, menunggu jawaban yang sebenarnya enggan ia berikan. Ia tidak tahu harus menjawab apa, “Mungkin… ehm… karena terlalu sibuk?” Jawab Dhika sekenanya. Bu Santi mengangguk-angguk sambil memutar kemudinya, berbelok masuk ke dalam perumahan sepi yang juga masih diguyur hujan dimalam hari. Petir terdengar menyambar-nyambar. Udara dingin menguasai lingkungan, terutama di dalam mobil Bu Santi dengan AC yang menyala total. “Ya, mungkin saja. Big boss Atmajaya senior juga sepertinya sibuk sekali. Beliau tidak hadir di rapat hari ini.” “Aku pikir beliau datang.” jawab Nas. “No. Cancelled in the last minutes. Nah, Alhamdulillah kita sudah sampai.” (Tidak, dibatalkan di menit-menit terakhir) Nas memutar kepalanya, ternyata benar, mereka sudah sampai di depan pagar rumahnya. Mengobrol dengan Bu Santi selalu bisa mengalihkan perhatian dari waktu yang sedang berlalu. “Wah, makasih banyak ya, Bu.” ujar Nas, “Makasi atas tumpangan dan traktirannya.” “Sama-sama, tapi tadi itu Dhika yang bersikeras traktir pas mau bayar dikasir.” “Oh gitu? Makasih ya, Mas Dhika.” “Sama-sama, Mbak.” “Nas bawa payung? Payung saya ketinggalan di kantor.” ujar Bu Santi. Nas mencari-cari ke dalam tas ransel yang ia bawa, biasanya Nas selalu membawa payung untuk segala situasi dan kondisi. Tapi sayangnya, benda penting itu tak kunjung ia temukan. Nas mendesah kesal, sepertinya ia harus mandi hujan kali ini. Wanita itu mengangkat wajahnya dan mendapati Dhika sedang memperhatikannya. Keduanya saling menatap selama beberapa saat dan sekelebat pengertian terpancarkan dari mata pria itu. Dhika berbalik untuk membuka tas ransel dan mengambil payung lipat dari dalamnya. Nas fikir Dhika akan memberikan payung itu padanya, tapi lelaki itu malah membuka pintu mobil dan payung dengan gerakan yang sangat gesit. Pintu mobil kembali tertutup dan setelah beberapa langkah, pria itu berdiri di sisi pintu mobil Nas yang sudah dia buka. Kata “Hati-hati” terdengar samar akibat lebatnya hujan yang turun. Nas gamang, entah ia harus menyambut tawaran Dhika atau menolaknya. Tapi lelaki itu kini sudah setengah basah, air hujan menetesi sebagian sisi tubuhnya yang tak terlindungi payung. Semakin lama dirinya gamang, semakin basah Dhika dibuatnya. Mau tidak mau, Nas turun dan sedikit mundur tiba-tiba. Merasa ragu saat Dhika mengulurkan tangannya ke atas kepala Nas. Ternyata tujuan lelaki itu adalah melindungi kepala Nas dari langit-langit mobil dengan menggunakan telapak tangannya. “Baik sekali, Mas Dhika…” Hati Nas berdesir. “Terima kasih.” Bisik Nas yang kini berdiri cukup dekat dengan Dhika. Payung lipat itu terlalu kecil untuk menampung dua manusia dewasa dari rintik basah yang sejak tadi menjatuhi bumi. Nas yang enggan terlalu dekat dengan Dhika menjaga jarak aman dan membiarkan bahu kirinya terkena tetesan hujan. Sepanjang 27 tahun usianya, tak pernah sekalipun Nas membiarkan seorang pria asing berdiri terlalu dekat dengannya. Tapi kini, rekan kerja yang baru ia kenal sebulan yang lalu itu berdiri terlalu dekat di bawah payung bersamanya. Ingin rasanya Nas menolak, tapi tubuhnya kaku, mulutnya katup dan pipinya terasa terbakar. Ia bahkan tidak sanggup mengangkat  wajahnya. “Gerbangnya digembok.” kalimat itu diucapkan dengan nada rendah, terdengar begitu dekat di sisi Nas, mengagetkan Nas dari lamunannya. Spontan Nas menoleh dan matanya bertemu kembali dengan mata coklat yang sama dengan yang membuatnya berdebar-debar beberapa waktu lalu. Tapi kini warna coklatnya sudah tak semuda sebelumnya, cenderung gelap dan lebih tajam. Seharusnya langit tidak mendung dan gelap agar Nas bisa melihat pantulan coklat muda itu kembali. Sesalnya. “Gerbangnya digembok.” Dhika mengulang kalimatnya dengan senyum merekah bijaksana, mengingatkan Nas yang melamun kalau mereka terjebak di bawah hujan dan tak bisa masuk rumah karena gembok itu tak bisa dibuka tanpa kuncinya. Nas mengerjap, lalu merutuk dirinya sendiri yang begitu bodoh telah terjebak di lubang yang sama. Di lubang pesona Mas Dhika… Ingin rasanya ditelan bumi saja daripada terus menerus mempermalukan diri sendiri seperti ini. Tapi sayangnya, bumi tidak jua menelannya, membuat Nas merogoh saku tergesa-gesa agar segera mendapatkan kunci gerbang dan melepaskan diri dari pria dengan pesona yang berbahaya ini.  Sangat bahaya berada di sekitarnya karena kamu tidak  tahu kapan kamu akan terjatuh.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN