Wanita berkerudung merah jambu itu mengembuskan nafas keras untuk ke sekian kali.
Ia lapar, tapi tidak berencana untuk hengkang barang sejengkal dari meja kerjanya.
Biarlah Nas tidak makan siang dan kelaparan, asal tidak bertemu lagi dengannya!!!
Kejadian kemarin malam dan pagi ini sudah cukup membuatnya merasa tidak punya muka untuk menghadapi dunia.
“Betapa tidak tahu malu dirimu!” Maki Nas pada dirinya sendiri.
Mau tidak mau, bayangan rintik hujan yang tetesan airnya tidak hanya membasahi genting tetapi juga kebun bunga milik ambu itu terputar kembali di kepala Nas. Suara benturan air yang mengenai atap, tanah, dan jalanan yang bergemericik. Ditambah angin dingin yang menerpa keduanya.
Semua terlintas begitu jelas dalam memorinya. Ia merasa berada di sana dan menyaksikan itu semua dengan kedua matanya.
Kemarin sore.
Gembok gerbang terbuka dan Nas segera mendorongnya. Wanita kikuk itu mulai berlari kecil, mencoba melarikan diri dari rasa malu yang mendera akibat dua kali tertangkap basah telah terpesona pada mata indah pria yang menaunginya dengan payung!
Sayangnya, pria itu menyamakan setiap langkah yang ia ambil. Mengikuti kemanapun ia berlari hingga mereka berhenti di teras rumah Nas.
Nas bingung harus berkata apa selain “Terima kasih”, tidak mungkin ‘kan ia menambahkan “matamu indah” dan “senyummu juga indah”. Nas sudah tidak mampu mengendalikan perasaan yang tiba-tiba bertumbuh dan mengganggu dirinya, perasaan baru yang mampu mendorong Nas hingga ingin berkata yang tidak-tidak.
Memuji keindahan fisik lelaki yang baru dikenal bukanlah hal yang wajar bagi Nas.
Kata Abah, rasa malu merupakan pakaian wajib untuk anak perempuannya. Jadi, malu lah Nas, turunkan matamu!
“Hmn… Payungnya hanya ada satu dan saya pasti akan membutuhkannya lagi, jadi…” penjelasan Dhika terhenti, mata lelaki itu seolah memohon pengertian dari Nas. “Saya mengantar Mbak Nas hingga kemari.”
Sebuah pengertian merasuk ke dalam benak Nas.
Dhika sedang mencoba menjelaskan semua situasi canggung ini!
Mata Nas berbinar, senyumnya terkembang. Penjelasan Dhika yang tanpa diminta itu membuat jantungnya berdebar lebih kencang. Pria ini sopan dan baik sekali.
Nas mengangguk, “Terimakasih banyak, Mas”.
Hari itu bukan hanya hujan yang menjatuhi bumi tapi juga hatinya telah jatuh pada pria bernama Dhika yang bermata indah dengan senyum yang manis. Perilakunya terpuji dan rupanya Dhika adalah pria penyabar. Sabar menghadapi gangguan Ardi dan segala rumor yang menerpanya sebulan belakangan.
Suatu hari Nas pernah menyaksikan sepatu Dhika disembunyikan oleh komplotan Ardi usai sholat jum’at. Saat itu Nas yang melihat Dhika dari kejauhan, menjadi saksi bagaimana pria itu tidak menunjukkan reaksi apapun selain kebingungan mencari sepatunya yang hilang, hingga kemudian pria itu berlalu meninggalkan masjid tanpa mengenakan alas kaki. Tidak ada raut kesal maupun marah. Bahkan tidak terlihat terganggu sedikit pun.
Setiap kali ada yang mencoba mengusiknya, Dhika benar-benar mengabaikan itu semua dan menganggapnya tidak ada. Kejadian di restoran bebek goreng itu adalah salah satunya. Dhika berlalu, membiarkan orang-orang merasa nyaman tanpanya dan tidak memperdulikan apa yang orang katakan tentangnya.
Entah memang dia sesabar itu atau terlalu malas meladeni mereka semua.
Malam harinya, Nas berguling ke kanan, lalu kiri, kemudian kanan dan kiri. Ia menggelengkan kepala untuk menghapus bayangan Dhika dari benaknya dan hal itu ia lakukan hampir sepanjang malam. Dadanya sesak, jantungnya berdebar-debar, dan mulutnya terus menyunggingkan senyum.
Apa ini yang disebut dengan jatuh cinta? Sesimpel ini? hanya karena senyuman dan mata indah?
Kalau jatuh cinta sesimpel ini, seharusnya Nas sudah jatuh cinta dengan banyak orang yang singgah dalam hidupnya, atau pada aktor yang sinetronnya selalu ditonton Teh Arina, atau pada pemain bola yang posternya hampir memenuhi kamar A Ehsan. Pada pria manapun yang bermata indah dengan senyum berlesung. Bukan hanya pada Dhika.
Tidak mungkin ini cinta!
Bayangan Dhika yang keluar dari tempat wudhu mulai berputar dalam ingatannya yang berkejar-kejaran. Rambut dan wajah yang basah itu menjadi pemandangan harian Nas, setidaknya siang ketika sholat duhur dan sore ketika sholat Ashar di masjid yang berada di tengah area perusahaan, tepat di seberang kantin dan ruang loker.
Lelaki yang rajin membasahi diri dengan air wudhu adalah lelaki kegemarannya.
Persis seperti Abah.
Lelaki yang penyabar dan pengertian.
Persis seperti Abah.
Lelaki sederhana yang pekerja keras.
Persis seperti Abah.
Astaga, Nas! Kenapa kamu menyamakan dia dengan Abah!
Nas bangkit dari baringnya, memeluk bantal tidak bersalah dengan gemas dan kencang. Pertanyaan yang sama berulang-ulang dalam benaknya, kenapa ia menyamakan pria itu dengan Abah?
Dhika di Masjid, Dhika baru selesai wudhu, Dhika di kantin, Dhika dijahili Ardi, Dhika di ruangannya, Dhika dan kacamatanya, Dhika dan reaksinya, Dhika si Nerd, Dhika sederhana, Dhika no neko-neko, dan Dhika-Dhika lainnya.
Rupanya Nas sudah memperhatikan Dhika sepanjang pria itu berada di perusahaan, bahkan tanpa Nas sadari, Nas sudah tertarik sejak jauh-jauh hari pada pria itu, bukan sejak sore ini!
Kini, ketika ia sudah tersadar, hati Nas bergemuruh semakin kencang saat ia memikirkannya!
“Bagaimana ini?! Aku harus bagaimana?” tanya Nas kebingungan.
Anak gadis Abah itu kembali berguling-guling sepanjang malam diatas kasur yang ukurannya tidak begitu besar, ditemani rintik hujan nan syahdu, diselimuti dinginnya malam dan, dipenuhi kegalauan akan perasaan yang baru pertama ia jumpai. Nas bingung dengan perasaannya hingga tak bisa terpejam sampai ayam mulai berkokok dan cahaya mentari mulai merekah di cakrawala.
Pagi harinya, Abah terus menasihatinya untuk tidak begadang hingga membuatnya terlambat selama perjalanan mereka, tidak lupa disisipkan nasihat bahwa begadang itu tidak ada gunanya, begadang akan membuatmu sakit dan lain sebagainya. Nas mengangguk, mengiyakan apapun yang Abah katakan, ia terlalu lelah untuk melakukan percakapan.
Mobil kijang tua Abah membelah kota yang mulai menggeliat. Ba’da subuh, Nas, Abah, dan Ambu memulai aktifitas di luar rumah. Mereka dalam perjalanan menuju toko Ambu yang terletak di salah satu pusat grosir kota ini.
Karena berangkat pagi-pagi, mereka terbebas dari macet dan sampai lebih cepat. Di depan gedung, mereka disambut oleh Mbak Dinda, salah satu pegawai Ambu yang akan membantu mengangkut barang-barang baru yang mereka bawa.
Ada mukenah yang sedang menjadi trend, gamis manis berwarna pastel kegemaran anak-anak muda dan daster untuk para ibu-ibu, juga tambahan stock kerudung.
Butuh beberapa waktu untuk mengangkut barang-barang itu dari parkiran menuju toko Ambu yang ada di lantai tiga. Beruntung mereka mengenal Pak Dodit, Satpam yang menjaga gedung ini, sehingga Pak Dodit berkenan membantu mereka.
Melewati pukul enam, Abah terburu-buru pergi ke sekolah yang berjarak 15 menit dari pusat grosir. Sebagai kepala Sekolah Menengah Pertama, Abah bersikeras mencontohkan kedisiplinan waktu pada anak didiknya. Ia harus sudah berdiri di depan gerbang sekolah untuk mengawasi murid yang datang. Ia akan menegur anak-anak yang tidak berpakaian rapih, melarang mereka masuk sebelum merapihkan tampilannya.
Para siswa akan mengantri memasuki gerbang dan bersalaman dengan jajaran guru Bimbingan Konseling, Kewarganegaraan dan kepala sekolahnya. Bagi anak yang datang tepat waktu akan diberi nilai plus pada kedua mata pelajaran diatas. Begitupula sebaliknya.
Saat Abah pamit pada Ambu, Nas menyusul dan ikut pamit. Ia akan menunggu angkot didepan untuk pergi ke kantornya. Perkiraan Nas, dirinya akan sampai pukul tujuh di perusahaan dan bisa memiliki waktu istirahat setidaknya satu jam.
Tapi perkiraan hanyalah perkiraan, pagi yang macet ditambah angkot yang ngetem membuat Nas sampai di kantor lewat pukul tujuh. Ia terburu-buru menuju ruang loker dan beristirahat sejenak di salah satu kursi yang disediakan untuk berganti sepatu. Nas akan mengganti pakaian dengan seragam tapi kemudian membatalkannya karena teringat bahwa pagi ini ada survey di luar bersama beberapa rekan untuk salah satu projek yang sedang mereka rencanakan.
Nas memijit pelipisnya yang berdenyut-denyut, tubuhnya juga terasa letih dan kelopak matanya berat bukan main. Efek buruk dari begadang dan gelisah sepanjang malam sudah menyerbunya tanpa ampun. Apalagi untuk wanita yang selalu tidur tepat waktu seperti Nas, efeknya jauh lebih tak tertahankan.
Nas menyandarkan badan dikursi. Ia merasa nyaman, tubuhnya rileks dan angin dingin yang bertiup membuat rasa kantuknya semakin memberati. Wanita itu akhirnya menyerah di ruang loker. Ia terlelap begitu nyenyak hingga lupa pada waktu yang terus bergulir.
Dalam lelapnya Nas bermimpi indah, sangat indah sampai ia tersipu-sipu bagai orang bodoh saat ada sepasang mata coklat yang tengah memandangnya, menatap begitu lembut dan lama. Mata itu dekat, sangat dekat hingga Nas bisa melihat pantulan dirinya pada mata yang jernih itu. Ia baru tahu, jika ia akan tercemin seindah itu dimata orang lain. Wajahnya yang biasa saja, terlihat begitu indah dimata coklat ini.
Nas mengerjap sambil berharap mimpi itu menghilang dan berhenti membuat jantungnya berdebar-debar. Tapi sayangnya, mata itu masih berada disana. Bulu mata panjang dan lentik bergerak dengan gerakan yang amat pelan, hingga seluruh mata coklat itu tertutup lalu terbuka dengan cepat. Tanpa disadarinya, Nas mengikuti gerakan itu beberapa kali hingga ia mulai tersadar dengan situasi yang sedang terjadi.
“D… D.. Mas Dhika?”
***